Zero Waste Lebih dari Sekadar Ego

by Lidya Anna S.

“Lebih dari sekadar ego?” Kok, mirip judul lagunya Mawar Eva de Jongh, ya…

Bukan, kita tidak sedang memperbincangkan lagu, melainkan tentang zero waste. Pernah dengar? Mungkin beberapa di antara kita sudah tidak asing, bahkan sudah melakukannya. Namun, buat yang lebih ingin tahu lagi, yuk, kita sama-sama belajar memahami istilah ini. 

Zero waste adalah istilah yang digaungkan oleh Paul Parmer pada tahun 1970. Sebagai seorang doktor kimia, beliau melihat limbah kimia masih bisa diolah lagi untuk fungsi yang berbeda. Tentunya hal ini menarik perhatian di beberapa negara yang produktif dan konsumtif yang sedang berupaya membuat sampah tidak terlalu menumpuk. Wah, ide zero waste dari Palmer adalah solusi yang baik untuk memikirkan bagaimana mengolah limbah rumah tangga menjadi sesuatu yang bisa digunakan untuk fungsi lain. 

Wait… Kalau zero waste sudah muncul sejak tahun 1970 dan sekarang sudah tahun 2023, berarti sudah setengah abad lebih dari sejak ide ini muncul! Lalu, gimana sekarang perkembangannya? Organisasi non-profit di berbagai negara yang mengusung ide dan nama zero waste sudah mulai berkembang dan memberi ruang bagi masyarakat yang sadar akan menjaga lingkungan hidup. Indonesia sendiri mendirikan Zero Waste Indonesia pada tahun 2018 (lihat lebih lengkap di sini). Negara tetangga, yaitu Singapura, sudah mendirikan lembaga serupa pada tahun 2015, diikuti Malaysia pada tahun 2016. Tujuannya adalah mengajak masyarakat menjalani gaya hidup untuk meminimalisasi sampah dengan kiat 6R (Rethink, Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, and Rot).

Tujuannya tidak main-main, ya, sampai menjadi gaya hidup! Betul, gaya hidup itu artinya pola hidup yang menggambarkan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya terlihat dari tindakan, minat, dan opini. Terus, ini gaya hidup yang tidak menghasilkan sampah di kehidupan sehari-hari? Mana bisaaaaa! Masak di rumah, eh, ada sampah sayuran. Mau beli makanan siap santap? Ada bungkusnya: ada kertas, plastik, atau mungkin masih pakai daun pisang (tapi daun juga jadi sampah). Duh, berat kaliii!

Apakah Pearlians pernah mendengar film dokumenter berjudul “Semes7a”? Kedua produsernya, Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin, merilis film ini pada Januari 2020 (masih bisa ditonton di Netflix). Film ini unik karena tujuh kisah menjaga alam lingkungan hidup diikat dalam konteks keberagaman daerah Indonesia, dari segi geografis, kekayaan alam, termasuk agama dan suku. Ada satu kisah yang mengusung konsep zero waste. Kehidupan yang dijalani bermula di Imogiri, lahan tandus yang dibangun menjadi Bumi Langit Institute. Hasil limbah seperti sampah sisa makanan, kotoran hewan, bahkan air pembuangan toilet diolah untuk menjadi biogas atau pupuk untuk lahan kebun (Hanina, 2022). Namanya adalah permakultur, sistem yang berdasarkan sains dengan cara kreatif mengembalikan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam. Satu hal yang ditekankan dari pendiri Bumi Langit tertuang dalam kutipan ini:

Kalau kita mau membangun sebuah kebaikan, niatnya tidak boleh cari keuntungan uang. Tapi jika kita memang mau menghasilkan barang yang baik untuk alam, tapi bisa bermanfaat juga untuk manusia… Sebab di mana ada kebaikan, pasti orang akan mencarinya.

–Iskandar Waworuntu (Pendiri Bumi Langit)

Kutipan itu mengingatkanku pada kisah penciptaan–yang kemudian terdistorsi akibat dosa. Ya, hubungan manusia dengan alam ikut terputus sejak manusia memilih untuk tidak taat kepada Allah. Padahal mandat budaya yang Allah berikan pertama sangat berkaitan dengan lingkungan hidupnya. 

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:28)

Sebagai anak-anak Allah yang sudah ditebus-Nya dari dosa, kita dipanggil untuk kembali mengerjakan mandat yang Tuhan berikan bagi kita tanpa mengulur waktu. Bukankah Tuhan Yesus pernah berkata dalam Matius 6:33, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”? Kerajaan Allah tergenapi jika ada shalom dalam empat relasi hidup mendasar: damai dengan Allah, diri sendiri, sesama, dan ciptaan Allah.

Saat ini, kita memang sedang menantikan penggenapan sepenuhnya dari Kerajaan Allah saat Yesus datang kembali. Namun, menantikan di sini bukan berarti kita menjadi pasif, melainkan bekerja aktif–melakukan dan berpartisipasi dalam pekerjaan pemulihan-Nya (Sherman, 2020). Bukankah pusat dari hidup kita setelah ditebus adalah bekerja sama dengan-Nya? Ya, kali ini akan fokus dengan relasi damai dengan ciptaan selain manusia.

Sesuai kapasitas masing-masing dari keseharian yang kita hidupi, mari kita mulai belajar untuk mengolah ciptaan yang lain dengan hikmat surgawi. Bukan hal yang sulit, jika kita memulai satu-satu dengan kiat dari zero waste:

1. Rethink

Jika tinggal di kota, akan jauh lebih mudah untuk menemukan event yang mengusung konsep barter atau menjual barang second hand. Beberapa akun yang sering menggelar event barter baju adalah @tukarbaju_  dan @sayapilhbumi.

Challenge untuk diri sendiri: Mulailah membeli barang sesuai kebutuhan bukan keinginan.

2. Refuse dan Reduce

Loh, kok, digabung? Tentu karena keduanya saling berkaitan. Saat kita ada di restoran atau di tempat belanja, pilihan ada di tangan konsumen untuk tetap membiasakan diri menggunakan plastik sekali pakai atau menolak menggunakan kemasan yang diberikan dan membawa sendiri wadah/tas sesuai apa yang kita beli. 

Challenge untuk diri sendiri: Konsisten menggunakan tempat minum/tempat makan/tas belanja yang bisa digunakan berulang saat jajan/belanja.

Satu pengalaman sekitar akhir September 2023, saya bertemu dengan siswa di kantin sekolah yang menggunakan botol minum sendiri saat membeli minuman es. Lalu saya apresiasi, “Wah, kamu mengurangi sampah plastik, loh.” Lalu dengan antusias, dia dan temannya menjawab, “Iya, kan, kata Ibu harus kurangi penggunaan plastik, Bu.” Meskipun belum semuanya, setidaknya ada satu, dua orang yang sadar dan menjadikan gaya hidup, bukan hanya mengikuti challenge yang saya berikan di Februari 2023.

3. Reuse

Ada banyak kemasan yang rutin kita pakai, lalu setelah isinya habis, maka kemasan hanya berakhir di tempat sampah. Sayang sekali jika kita membiarkan diri untuk terus melakukan kebiasaan ini, karena semakin memperbanyak jumlah sampah yang dihasilkan Indonesia (Baca: Indonesia Darurat Sampah Plastik). Sejauh ini, yang sudah menerapkan kiat reuse ada Sociolla (botol kaca bekas kosmetik yang tidak terpakai), Ace Hardware/IKEA (barang elektronik yang sudah tidak bisa digunakan) untuk dikumpulkan dalam box mereka. Kita bahkan bisa mendapat keuntungan dari barang yang dikumpulkan saat belanja di toko mereka.

Challenge untuk diri sendiri: Konsisten memilah barang sebelum dibuang berdasarkan jenisnya dan ikut mengumpulkan di bank sampah, tempat seperti Sociolla/Ace Hardware, atau tempat lainnya.

4. Rot

Kiat ini tampaknya jarang sekali terdengar. Pengolahan sampah organik untuk menjadi kompos. Wah, ini susah, dong, kalau tidak punya lahan luas. Kalau tidak punya kebun juga buat apa? Jangka pendeknya memang akan lebih mudah jika kita buang ke tempat sampah. Ternyata, sampah makanan di Indonesia mencapai 40 persen dari total yang dihasilkan masyarakat (Data KHLK tahun 2020, baca: Sampah Makanan di Indonesia). Dampak buruk sampah organik ini menghasilkan gas metana yang berbahaya bagi lingkungan TPA. Salah satu contohnya di TPA Sarimukti Bandung

Jadi tergantung kasusnya, misal sampah di dapur bisa diolah jadi kompos dan ecoenzyme. Bisa coba belajar dari @kertabumirecyclingcenter dan @kebunkumara . Jika sisa makanan masih layak untuk makan, mungkin bisa belajar dari Food Bank yang digiatkan oleh Dennis Guido (@naktekpang) .

Challenge untuk diri sendiri: Minimal tidak ada sisa nasi saat makan. Cukupkan diri dan berbagi jika lebih.

Satu cerita ketika sedang makan dengan satu keluarga penggiling padi di desa Lampung Timur, tempat saya mengajar. Beliau bercerita, “Saya memerhatikan dari keluarga yang kaya dan punya lumbung padi sangat besar. Mereka itu, kan, kaya, ya, Bu, tapi punya kebiasaan baik saat sedang makan. Tidak pernah menyisakan nasi di piring. Sedangkan keluarga saya, masak nasi selalu berlebih, terus sisanya dibuang begitu saja. Saya jadi belajar kalau ternyata menyisakan nasi itu tidak baik.”

5. Recycle

Paling sering terdengar dan dilakukan, yaitu mendaur ulang sampah menjadi barang yang bisa difungsikan lagi. Ide kreatif untuk mendaur ulang sampah selalu ada jika kita memang berniat dan memiliki waktu berkreasi. Namun, kita bisa juga memanfaatkan bank sampah yang ada di sekitar rumah kita. Partisipasi dalam membawa sampah ke bank sampah tentu sangat mendukung pekerjaan mereka. Beberapa rumah produksi recylcle yang sudah menjadi penggiat ada: @armadakemasan, @duitin_id, @projectbindonesia, dan masih banyak lainnya (Kepoin banyak-banyak dari @zerowaste.id_official dan @kertabumirecyclingcenter).

Kok, sepertinya hanya ada di bagian Pulau Jawa saja, ya? Tentu di wilayah Indonesia yang lain juga sama-sama mengembangkan, lho. Contohnya @econusa.id yang punya fokus untuk meningkatkan berbagai inisiatif dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah Maluku dan Papua. So, dengan giat yang mau berdamai dengan ciptaan, kita perlu bergerak mencari komunitas yang peduli dengan lingkungan. Jika tempatmu belum ada, mengapa tidak memulai dari belajar untuk diri sendiri lalu mencari teman kolaborasi? 

Memulai dari belajar untuk diri sendiri adalah langkah penting untuk melakukan kiat zero waste. Kiat ini harus lebih dari sekadar ego. Bukan karena ikut-ikutan challenge tapi karena kita mau berdamai dengan ciptaan Allah. Kita lakukan satu-satu sampai menjadi gaya hidup, menjalankan gaya hidup yang mencerminkan bahwa kita rekan kerja Allah dan mengusahakan hidup berdamai dengan ciptaan-Nya.

Daftar Referensi:

Hanina, T. (2022, Januari 15). Pelajaran Hidup yang Dipetik dari Film Semes7a, Semua Wajib Jaga Alam. Retrieved from IDN Times: https://www.idntimes.com/life/inspiration/tyas-hanina-1/pelajaran-hidup-yang-dipetik-dari-film-semes7a-1?page=all

H.S, Sri Magfirah. (2023). Tantangan Penerapan Gaya Hidup Zero Waste Skala Rumah Tangga di Indonesia. Jurnal Multidisiplin West Science, Vol 2 No 07, 511-522. doi:https://doi.org/10.58812/jmws.v2i07.491

Sherman, A. L. (2020). Kingdom Calling: Penatalayanan Vokasi untuk Kebaikan Bersama. Jakarta: Literatur Perkantas.

Tambahan referensi:

Gaya Hidup Zero Waste untuk Kehidupan yang Lebih Baik 

Next
Next

Masak Sendiri SaTe-mu