Aging Gracefully: Menerima Usia Tua dengan Damai

by Rebecca Evelyn Laiya

“Hiasan orang muda ialah kekuatan dan keindahan orang tua ialah uban.”
(Amsal 20:29) 

Berdasarkan pengalaman pribadi, ada perasaan gamang saat memasuki usia pra senja. Saya takut menghadapi kehidupan yang semakin ‘tinggi’. Secara fisik, saya takut sakit. Bila fisik saya semakin renta, bagaimana saya menjalani hidup? Bukan hanya kelemahan fisik yang dirisaukan, namun juga ketidaksiapan finansial. Saat memasuki usia senja tanpa memiliki tabungan yang cukup untuk hari tua, hati jadi dipenuhi rasa khawatir. Saya gelisah memikirkan tentang pendidikan anak saya, biaya kesehatan serta tempat tinggal untuk menghabiskan usia senja. Kegelisahan-kegelisahan ini bila tidak ditangani dengan benar dapat berujung pada kondisi depresi atau stress. Pernahkah Pearlians mengalaminya? 

Hidup adalah pilihan. Kita memiliki dua pilihan untuk menghadapi masa senja. Pilihan pertama adalah bersyukur dan melanjutkan hidup dengan lebih sehat secara fisik, mental dan spiritual. Rasa syukur membuat hati menjadi tenang, rileks serta mampu menghadapi setiap kerisauan hidup bersama Tuhan. Pilihan kedua adalah tetap khawatir dan mengendalikan segala sesuatu dengan kekuatan sendiri. Pikiran manusia lebih banyak mengacaukan diri kita sendiri. Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (Matius 6:27). Oleh sebab itu kita butuh Tuhan. 

Bila kita memilih untuk menyongsong usia senja dengan bersyukur, Salomo memberikan kita penghiburan dalam Amsal 20:29, “Hiasan orang muda ialah kekuatannya, dan keindahan orang tua ialah uban.” Ketika seseorang masih muda, mereka sangat kuat secara fisik. Begitu pun dalam hal memori, orang muda biasanya memiliki ingatan yang lebih kuat daripada orang lanjut usia. Namun, bukan berarti orang lanjut usia tidak lagi memiliki kelebihan. Kelebihan orang tua adalah ubannya yang bermakna spesial. 

“Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran.”
(Amsal 16:31) 

Uban adalah mahkota kehormatan, loh! Maksud dari frasa ‘didapat pada jalan kebenaran’ adalah bahwa rambut yang telah memutih itu hadir seiring dengan perjuangan pemiliknya menjalani hidup yang benar di hadapan Tuhan. Dengan kata lain, rambut putih adalah lambang kebijaksanaan, tanda seseorang telah menikmati asam garam dunia. Apakah setiap orang tua akan otomatis menjadi bijaksana dengan hadirnya uban pada rambutnya? Tentu saja tidak. Hanya orang-orang yang bergaul karib dengan Tuhan pada jalan kebenaran yang akan mendapatkan hikmat Allah. Uban adalah metafora bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka semakin panjang pula suka duka kehidupan yang telah dilalui bersama Tuhan, yang menjadikannya semakin bijaksana. 

Dengan demikian, seharusnya kita tidak perlu malu memiliki uban. Sayangnya, banyak orang menolak memiliki rambut putih. Saya tidak ingin menghakimi orang yang mengecat rambut mereka. Itu adalah pilihan masing-masing pribadi. Namun saya memilih untuk membiarkan rambut putih saya tetap terlihat. Bukan karena ingin disebut bijaksana (hehe… saya masih harus banyak belajar), tetapi saya ingin terus berefleksi menuju usia senja. Rambut putih sebagai pengingat bagi saya untuk semakin bersyukur dan mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Daud yang sejak masa mudanya mengandalkan Tuhan untuk menopang hidupnya pun demikian; pada masa tuanya menaikkan permohonan kepada Tuhan, “Janganlah Kaubuang aku di masa tuaku jangan tinggalkan aku bila kekuatanku sudah habis.” (Mazmur 71:9) Sungguh bersyukur Tuhan memberikan janji-Nya dalam Yesaya 46:4, “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.” Inilah sukacita kita menyongsong masa senja: Allah yang telah setia memelihara kita selama masa muda akan terus menopang dan menyelamatkan kita di masa tua. 

Masing-masing generasi memiliki masanya. Ada masa muda, ada juga masa kita menjadi tua. Kita tidak bisa hanya menikmati masa muda lalu menghindari masa tua. Masa muda dan masa tua sama indahnya ketika kita menghadirkan Tuhan dalam hidup kita. Bukan hanya itu, kita harus memiliki cara pandang yang baik tentang masa tua. Masa tua harus dipertanggungjawabkan. Memang kita tidak pernah tahu kapan waktu Tuhan memanggil kita. Namun, sebelum waktu itu tiba, kita harus bersiap untuk mempertanggungjawabkannya. Dengan cara apa? Menjalani hidup yang sehat, baik secara jasmani maupun rohani. Secara jasmani kita perlu menjaga apa yang kita makan dan minum, serta rutin berolahraga. Secara rohani, kita terus menjalin relasi yang semakin intim dengan Tuhan melalui Firman dan doa setiap hari. Kita juga berjuang untuk hidup bukan hanya bagi diri sendiri, melainkan juga berkontribusi untuk orang lain—bahkan dalam lingkup yang lebih luas seperti negara dan dunia. 

Salomo membuka Kitab Pengkhotbah dengan menulis, “Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.” Meskipun manusia berjerih payah mengumpulkan harta, hikmat dan pencapaian semasa mudanya, Salomo mengatakan bahwa semua itu pada akhirnya adalah kesia-siaan belaka. Kalau semua sia-sia, apakah yang harus kita lakukan? Salomo menutup Kitab Pengkhotbah dengan menuliskan, “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang… dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.” (Pengkhotbah 12:1&7) Kiranya Tuhan berkenan menolong kita untuk mensyukuri setiap napas kehidupan melalui apa pun yang bisa kita lakukan bagi kemuliaan-Nya, dan memberkati siapa pun yang Dia perkenan hadir dalam perjalanan iman kita. 

Previous
Previous

Pemuridan Era Digital

Next
Next

Saat Teduh: Amunisi “Peperangan” Tiap Hari