Artificial Intelligence dan Iman Kristen
by Yunie Sutanto
Pernahkah Pearlians menggunakan fitur asisten Google? Tanpa harus mengetik, fitur ini bisa merespon suara yang masuk ke gawai. Dalam sebuah perjalanan menuju pulang yang begitu macet, seorang anak praremaja meminta kakaknya menceritakan sebuah lelucon kepadanya. Dua jam lebih di mobil berimbas bosan. Sayangnya, si kakak terlalu letih dan memilih tidur saja ketimbang meladeni adiknya. Ah tanya Google saja. Sang adik pun membatin dan bersuara:
“Hey Google, tell us a joke!”
Ternyata ponsel cerdas yang berada di dalam tas mama itu segera merespons:
“Okay, Here you go. How do robots eat guacamole? With computer chips!”
Spontan gelak tawa sang adik pun membangunkan kakaknya. Padahal tak disentuhnya sama sekali ponsel itu. Ia semata bersuara lantang meminta asisten Google menceritakan sebuah lelucon. Sang mama yang sedang menyetir pun lantas merasa was-was: jangan-jangan semua pembicaraan di rumah terekam dan didengarkan oleh entah siapa yang berbisnis data. Seolah ada mata-mata terselubung yang menguping semua percakapan di setiap rumah. Paranoid-kah sang mama? Bisa jadi ia paranoid, tetapi bisa jadi kekuatiran itu ada benarnya. Mungkin sang mama memang penggemar novel-novel distopia[1]. No more privacy, seperti Telescreen dalam novel 1984 -nya George Orwell. Apakah Pearlians siap memasuki era di mana AI semakin merajalela?
Apakah selama ini semua percakapan kita sesungguhnya terdengar dan terekam? Apakah ada yang memantau semua chats kita? Entahlah. Yang jelas perkembangan AI sedang pesat-pesatnya. Aplikasi pengenalan wajah pun sudah cukup canggih sehingga bisa mengenali seseorang hanya dari rekaman gambar wajahnya. Tilang elektronik bisa dilakukan karena kamera mampu memindai wajah pengemudi dan nomor kendaraannya dengan jelas. Facebook pun memiliki fitur face recognition yang bisa mengenali wajah seseorang jika muncul di unggahan foto orang lain. Betapa semakin tidak adanya privasi dalam hidup manusia era digital!
Lain lagi pengalaman Darcey, seorang anak berusia lima tahun di Glasgow. Ia sudah dua kali menyelamatkan nyawa ibunya saat gawat jantung[2]. Ibunya mengajari Darcey bahwa dalam keadaan darurat, ia bisa meminta “Alexa[3]” menghubungi pihak medis untuk segera datang menolong. Teknologi AI dalam kasus ini bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. AI adalah sebuah tool atau alat. Baik atau buruk suatu tool tergantung tujuan penggunaannya.
Kehadiran AI dalam pelbagai bidang kehidupan sudah di depan mata. Lebih dari 300 jemaat di Bavaria, Jerman menghadiri gereja yang ibadahnya dipimpin oleh AI chat GPT[4]. Belum lama berselang, sebuah universitas di Lampung juga mengumumkan kehadiran dosen AI pertama di Indonesia[5]. AI bisa diprogram untuk menggantikan dosen mengajarkan mata kuliah statistika dan bahasa asing. AI juga bisa menggantikan pengkhotbah seperti yang terjadi di Bavaria. Fenomena uji coba ibadah di sebuah Gereja Protestan di Bavaria ini cukup viral diperbincangkan. Respons jemaat yang hadir pun pro dan kontra.
Banyak profesi yang tersaingi dan akan tergantikan oleh AI. Profesi penerjemah dan ilustrator sudah mulai bersaing dengan AI. Makin banyak daftar profesi yang siap bersaing dan digantikan AI. Mengutip Boden[6] dalam salah satu esainya, para pengguna dan perancang sistem AI harus mengingat perbedaan mendasar manusia dan AI, yang satu punya kepedulian, yang terakhir tidak punya. Manusia bisa memberikan kasih dan kepedulian karena ada gambar dan citra Allah dalam dirinya. AI tak akan bisa “meniru” kepedulian manusia. Bagaimanapun hebatnya AI, tetap tidak bisa menggantikan sentuhan kerja manusia.
Generasi X dan Y sudah cukup lama akrab dengan mesin pencarian Google, Yahoo dan Bing. Kelak penggunaan chatGPT diprediksi akan seperti penggunaan mesin pencarian. Semua pertanyaan akan diarahkan kepada mesin sehingga tugas berpikir manusia akan semakin berkurang. Apa dampaknya? Banyak profesi akan tergantikan oleh AI. Apakah manusia bisa bersaing dengan AI? Dalam bukunya yang berjudul 2084, John C. Lennox memaparkan hasil penelitian dari salah satu laporan PwC di mana diperkirakan sekitar 7 juta pekerjaan akan tergantikan pada tahun 2020. Namun demikian, akan ada 7,2 juta pekerjaan tercipta[7]. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah AI itu kawan ataukah lawan? Bagaimana seharusnya Pearlians menyikapinya dari sudut pandang iman Kristen?
Teknologi hadir sebagai hasil usaha manusia mengerjakan mandat budaya dalam Kejadian 1:26-28. Mandat ini diawali dengan pernyataan bahwa Allah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan Allah dengan tujuan supaya mereka berkuasa atas seluruh bumi. Manusia memiliki akal budi atau rasio, perasaan, dan kehendak sehingga hasil pekerjaannya tentu tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan hasil kerja robot yang tidak memiliki seluruh perangkat gambar dan rupa Allah tersebut. Perintah mandat budaya ini memiliki satu aspek yang sangat penting yaitu bahwa segala sesuatu harus ditaklukkan di bawah Kaki Sang Penguasa Agung itu sendiri, yaitu Allah. Jadi yang menjadi tujuan akhir dan puncak tertinggi dari ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kemuliaan Allah. Namun tugas kultural atau mandat budaya ini menjadi semakin sulit karena manusia telah jatuh dalam dosa. Bagaimanapun juga, Allah tidak pernah membatalkan tugas ini sekalipun dosa telah masuk. Dia akan memastikan sasaran mandat budaya itu tercapai. (H. Henry Meeter: Pandangan-pandangan Dasar Calvinisme).
Pearlians, sebagai murid Kristus kita harus mengerjakan panggilan kita untuk menundukkan segala sesuatu, termasuk AI dan perkembangan teknologi lainnya di bawah salib Kristus. Hal ini mendorong kita tidak apatis atau menghindari kemajuan teknologi, tetapi justru terjun untuk turut bekerja membangun peradaban dengan teknologi dan mengerjakannya seturut tuntunan Roh Kudus. Dengan demikian, anak-anak Tuhan akan mengarahkan setiap perkembangan teknologi bagi kemuliaan Allah.
Penggemar mitologi Yunani pastilah tak asing lagi dengan Pythia yang merupakan wanita “bijak” yang dijuluki Oracle at Delphi. Ia sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan sesulit apa pun. Banyak tokoh dalam kisah-kisah Yunani kuno yang jauh-jauh datang untuk menanyakan kepada Pythia aneka masalah kehidupan yang pelik. Banyak orang kekurangan hikmat dan mencari hikmat. Mereka berharap Oracle at Delphi akan memberikan hikmat yang mereka cari. Hal yang sama pun terjadi pada generasi X dan Y yang mencari jawaban kepada mesin pencarian. Oracle at Delphi versi kekinian mungkin adalah chatGPT dan teknologi AI lainnya.
Banyak orang kekurangan hikmat dan mencarinya dengan segala cara. Penggunaan AI ChatGPT adalah salah satu upaya. Padahal hikmat tersembunyi di dalam Kristus. Kolose 2:3 berkata Sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan. Firman Tuhan dalam Amsal 1:20-33 menyatakan dengan jelas bahwa Sang Hikmat itu berseru-seru memanggil namun kita tidak mau dengar. Oleh karena mereka benci kepada pengetahuan dan tidak memilih takut akan TUHAN (ayat 29). Hikmat yang sejati kita temukan dalam Firman-Nya yang menuntun pada kebenaran.
Perkembangan teknologi memang pasti terjadi. Ilmu pengetahuan akan terus berkembang di akhir zaman. Kemajuan teknologi seperti koin yang di satu sisi memberikan efek positif dan sisi lain efek negatif. Teknologi bisa menjadi sarana untuk semakin giat bekerja di ladang-Nya. Teknologi ruang pertemuan virtual seperti Zoom memungkinkan adanya ibadah, bible study, komsel untuk dilakukan secara daring. Teknologi juga memungkinkan berita kebenaran ditabur di media online seperti Majalah Pearl ini.
Meski perkembangan teknologi AI menimbulkan kekhawatiran akan masa depan, marilah kita meletakkan pengharapan kepada Allah yang tidak pernah mngecewakan. Mari terus membuka telinga kepada hikmat dan tuntunan Allah dalam menyikapi serta memanfaatkan kemajuan teknologi bagi kemuliaan Tuhan.
Firman-Nya mengingatkan untuk terus menghidupi iman dan percaya bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang percaya kepada-Nya (Roma 8:28). Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia akan mendapati iman di bumi? Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatan kita. God is in control.
[1] Distopia biasanya bercerita mengenai kehidupan fiksi masyarakat dalam situasi di masa depan, di mana seringkali digambarkan sebagai dunia yang kacau.
[2] https://uk.news.yahoo.com/five-old-saves-mothers-life-043000299.html
[3] Alexa adalah perangkat lunak voice recognition yang dikembangkan Amazon.
[6] Boden, “Robot Says: Whatever,” Aeon, 13 Agustus 2018, https://aeon.co/essays/the-robots-wont-take-over-because-they-couldnt-care-less
[7] Lennox, 2084: Pandangan Kristen tentang Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Umat Manusia, Hal 58