Secercah Damai Sejahtera di dalam Pergulatan Jiwa
by Aprilianna Gea
Dilahirkan dalam keadaan sehat dan bertumbuh aktif melayani di gereja dan komunitas Kristen adalah anugerah. Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa di usia 37 tahun, aku akan mengalami penyakit aneh yang setelah ditelusuri berhubungan dengan okultisme (ilmu sihir)—atau secara gamblang kita menyebutnya kuasa gelap. Di pagi hari akhir Desember 2021, aku mulai mendengar suara-suara asing yang berbicara dalam bahasa daerahku, bahasa Nias. Mereka seolah ingin berkomunikasi padaku, dan sebenarnya ini bukan pengalaman pertama kalinya.
Semua bermula dari tahun 2012. Aku tidak ingat bulannya, tetapi di tahun itulah aku mulai diganggu oleh suara-suara klakson kendaraan dan merasa bahwa semua orang membaca pikiranku. Hal itu berlangsung cukup lama, hingga tahun 2021 yang lalu. Selama sembilan tahun, aku berada dalam pengawasan psikiater dan secara medis didiagnosa mengalami gangguan jiwa. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, pengalamanku menjadi lebih dramatis. Aku tidak lagi mendengar suara klakson kendaraan, akan tetapi berubah menjadi suara-suara seperti suara manusia, tapi tidak ada wujudnya. Hal ini tidak bisa dijelaskan dengan hukum alam atau berada di atas dan di luar alam. Aku pernah menuliskan pengalaman ini dalam artikelku di bulan Januari awal tahun ini https://majalahpearl.org/posts/melatih-iman-melalui-diamnya-tuhan.
Pengalaman ini sangat menggelisahkan dan menggangguku. Suara-suara itu mengintimidasi dan membuatku marah saat mendengarnya. Aku sulit beristirahat tidur di malam hari, akibatnya tidak bisa beraktivitas di pagi hari. Oleh sebab itu, obat-obat anti depresan yang telah kukonsumsi sejak lama, harus terus kumakan hingga kini. Aku bergumul menemukan damai sejahtera. Hampir setiap hari aku meledak marah pada semua hal di sekitarku. Terkadang, aku bicara sendiri dan berdoa pelan-pelan karena tidak ingin kegelisahanku mengganggu yang lain. Namun, ada kalanya emosiku tidak terbendung dan aku berteriak cukup kencang.
“Di mana damai sejahtera itu!?”
Yah, kata ini mungkin sering kita baca dan imani sebagai salah satu bagian perjalanan iman kita bersama Tuhan. Namun, dalam situasi seperti ini, apakah Tuhan sama sekali tidak hadir memberikan damai sejahtera-Nya pada kita—khususnya aku dan Pearlians yang mengalami case serupa? Mari kita menelisik lebih jauh soal ini.
KBBI mendefinisikan damai sebagai “tidak ada perang”; “tidak ada kerusuhan”; “aman”; “tenteram”; “tenang”; “keadaan tidak bermusuhan”; “rukun”, sementara sejahtera diartikan sebagai “aman sentosa dan makmur”; “selamat (terlepas dari segala macam gangguan)”. Dikutip dari Agama dan Kerukunan, Andreas A. Yewangoe, menjelaskan bahwa “damai sejahtera menurut Alkitab adalah sesuatu yang mengajarkan manusia untuk hidup dalam harmoni dengan Tuhan, sesama manusia, lingkungan, serta dalam kesejahteraan fisik, mental, maupun sosial.” Oh, ya. Alkitab menggunakan dua kata yang berbeda, lho, untuk menyebutkan istilah ini. Simak terus, ya.
Alkitab menyebutkan damai sejahtera dalam dua bahasa, yaitu shalom dari bahasa Ibrani dan eirene dari bahasa Yunani (mungkin kita lebih familiar dengan kata peace yang berakar dari bahasa Latin, pax). Eirene merupakan terjemahan kata dari shalom yang merupakan ekspresi dari kepenuhan, kesempurnaan atau ketenangan jiwa yang tidak dipengaruhi oleh keadaan ataupun tekanan dari luar. Plus, eirene menegaskan kekuatan keteraturan yang berlawanan dengan kekacaubalauan. Salah satu bagian dari Firman Tuhan yang menegaskan pentingnya damai sejahtera ada dalam Galatia 5:22-23, “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” Buah Roh Kudus adalah istilah Alkitab yang merangkum sifat nyata dari hidup Kristen yang sejati menurut Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia. Nah, damai sejahtera ini adalah keadaan istirahat yang tenang dan berlawanan dengan keadaan kacau-balau. Dengan definisi demikian, kita belajar bahwa damai sejahtera tidak akan bisa ditemukan selain dari hasil pengenalan kita dengan Allah.
Di dalam Alkitab, kita bisa menemukan banyak hal yang merujuk kepada damai sejahtera. Ada banyak ayat yang mengingatkan kita betapa indahnya damai sejahtera itu dan beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” —Filipi 4:6-7
“Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.” —Kolose 3:15
Semua orang menginginkan damai sejahtera. Namun, adakalanya damai itu seolah-olah bersembunyi, atau hilang tanpa permisi. Meski dari luar tampak baik-baik saja, hati kecil kita yang gelisah pun mulai bertanya-tanya, “Apa yang menyebabkan damai sejahteraku hilang, ya?” Pertanyaan itu bisa menghampiri semua orang, tanpa terkecuali.
Di masa lalu, Adam dan Hawa juga pernah mengalami hal yang sama. Sebelum jatuh dalam dosa, Adam bekerja di Taman Eden (Kejadian 2:15) dan dengan bebas berjalan di antara hewan, memberi nama kepadanya (Kejadian 2:19-20). Hubungan antara Adam dengan Allah, sesama (alias Hawa, istrinya), dan lingkungannya terjalin dengan baik. Namun, sejak Adam dan Hawa memilih memberontak di hadapan Allah, mereka pun mendengarkan suara ular dan memakan buah terlarang—buah pengetahuan yang baik dan jahat—untuk jadi sama seperti Allah (Kejadian 3:1-7). Tanpa menunggu waktu, ketidaktaatan mereka mengakibatkan rusaknya relasi manusia dengan Allah, sesama, dan mengacaukan harmoni ciptaan-Nya. Sejak dosa muncul pula, manusia punya kecenderungan untuk saling menyakiti tanpa pandang bulu—mulai dari keluarga sendiri, bahkan hingga tingkat dunia (peperangan demi peperangan terjadi). Sungguh tidak main-main akibat dosa ini, karena damai sejahtera—yang sebenarnya sudah Tuhan hadirkan pada mulanya—kini tidak lagi bisa jadi seperti demikian.
Apakah benar tidak ada kemungkinan damai sejahtera itu dialami kembali, bahkan meskipun kita sudah jadi orang percaya?
Kabar baiknya, ada.
Hanya oleh anugerah-Nya, Allah berinisiatif memulihkan shalom melalui pengurbanan Tuhan kita, Yesus Kristus, di kayu salib. Tanpa karya penebusan-Nya itu, mustahil kita bisa mengalami pemulihan relasi antara kita dengan Allah dan sesama, serta rindu menjadi bagian dalam pemulihan dunia saat ini. Rasul Paulus menulis demikian dalam Roma 3:25-26:
Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya. Maksud-Nya ialah untuk menunjukkan keadilan-Nya pada masa ini, supaya nyata, bahwa Ia benar dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus.
Usaha untuk memahami kebenaran ini dan menjadikannya salah satu “amunisi” dalam rangka mengalami damai sejahtera dari Allah tidaklah semudah itu, Pearlians. Adakalanya, damai sejahtera itu seolah-olah tidak kunjung datang walaupun kita sudah berdoa tanpa henti, bahkan menangis dan berseru pada Tuhan saking putus asanya. Meskipun sulit dipahami, justru dalam momen seperti inilah yang bisa Allah pakai untuk menuntun kita pada diri-Nya, Sang Sumber damai sejahtera itu. Paulus pun menulis kalimat ini menjelang akhir kehidupannya:
Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. —Filipi 4:7
Bayangkan, Paulus saat itu berada di dalam penjara menanti detik-detik kematian karena iman kepada Kristus dan Injil yang diberitakannya! Secara akal manusia, orang setangguh apa pun akan takut jika mengalami yang Paulus alami. Mungkin saja di balik penulisan suratnya, Paulus juga mengalami ketakutan luar biasa akan dirinya. Paulus juga memikirkan setiap jemaat yang dilayaninya, karena mereka sedang bergumul mengenai tekanan sosial akibat iman kepada Kristus yang disebut satu-satunya Tuhan di tengah-tengah masyarakat banyak dewa. Namun, di tengah-tengah kemelut jiwanya, Paulus sadar bahwa dia sudah melakukan hal yang tepat: bersikukuh memberitakan Injil meskipun nyawa bayarannya (lihat Filipi 2:12-18). Hanya oleh anugerah Allah, Paulus pun menguatkan jemaat melalui sapaan dan doa seperti ini di dalam surat-suratnya:
Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan. —Roma 15:13
Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu. —Filipi 1:2
Dari Paulus, rasul Kristus Yesus, oleh kehendak Allah, dan Timotius saudara kita, kepada saudara-saudara yang kudus dan yang percaya dalam Kristus di Kolose. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, menyertai kamu. —Kolose 1:1-2
Berkaca dari pengalamanku yang kutuliskan di awal artikel ini, kerinduanku untuk menemukan damai sejahtera yang sejati mendorongku untuk belajar mengoreksi diri sendiri, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mungkinkah Tuhan sedang membentuk aku? Jujur saja, selama proses ini hari-hariku diwarnai keluhan dan gerutuan sama Tuhan. Aku tidak sabar untuk segera dipulihkan. Namun, di lain sisi, aku percaya bahwa hal-hal yang kualami hari-hari ini bukanlah suatu kebetulan. Tuhan tahu semuanya, hal ini tidak luput dari pandangan-Nya. Meskipun sakit dan menguras pikiran, peristiwa ini menolongku bersandar dan bergantung sepenuhnya sama kedaulatan-Nya. Di tengah tantangan ini, tangan kasih-Nya terus memeliharaku. Dia mengirim orang-orang baik untuk hadir mendoakan dan memberikan bantuan yang kubutuhkan. Suara-suara itu masih ada (bahkan saat menulis artikel ini), tetapi aku tidak mau memberi Iblis kesempatan untuk mengintimidasiku lagi.
Pearlians, tanpa disadari, kita sering kali berusaha mendapatkan damai sejahtera dengan kekuatan sendiri. Kita lupa bahwa damai sejahtera adalah karunia Allah. Seharusnya kita datang kepada-Nya dan memohon damai sejahtera itu turun. Hal yang lebih menggelikan, tidak jarang kita mengatur Allah untuk memberikannya sesuai gambaran dan keinginan kita, pada waktu yang kita tentukan. Tentu boleh memohon, tetapi memaksakan kehendak kepada Tuhan? Sepertinya kita sudah melewati batas kita sebagai ciptaan.
Aku mau sembuh secepatnya! Aku sudah berdoa dan makan obat secara teratur! Hanya satu harapanku: detik ini juga aku sembuh!!
Semua hal itu pernah kuinginkan, tetapi hasilnya aku kecewa karena kesembuhan tidak kunjung menghampiriku. Pada akhirnya, aku belajar berdoa dengan tulus dan rendah hati. Tuhan melihatku dan aku percaya Dia tidak sedang bercanda membiarkanku susah untuk waktu yang cukup lama. Dia pasti punya alasan ketika mengizinkanku mengalami gangguan ini. Mungkin… itu untuk menolong orang lain yang sedang berkutat dengan hal serupa? Aku belum tahu saat ini, tetapi perlahan-lahan aku mulai menyadari ada damai sejahtera yang Allah anugerahkan kepadaku. Pearlians, apakah kita mau tetap beriman kepada Allah melalui diri Putra-Nya Yesus, meskipun itu tidak menjadi jaminan kita akan pulih sempurna selama hidup di dunia ini (baca: tanpa hal-hal yang memicu gangguan mental atau apa pun yang bisa terjadi)? Apakah kita mau tetap mengasihi Yesus, sekalipun ancaman menekan kita setiap hari?
Setiap orang memiliki persoalannya masing-masing, karena itu kita tidak perlu cemburu atau iri hati melihat kehidupan sesama kita. Bila kita melihat sepertinya kehidupan si A begitu tenang dan bahagia, kita tidak pernah tahu persoalan dan derita yang dialaminya. Seseorang yang tidak pernah mengalami penderitaan mungkin akan memandang enteng kehidupan. Sebaliknya, mereka yang sudah sering menderita lebih besar kemungkinannya untuk menghargai hadiah kehidupan yang diterimanya. Perjalanan “menemukan damai sejahtera yang sejati” terlalu indah jika dilewatkan hanya dengan bersungut-sungut, dan di sinilah kita sungguh membutuhkan Allah dan melekat pada-Nya seperti ranting anggur pada pokoknya (Yohanes 15:1-8). Mari belajar mempercayai Allah Sang Gembala—baik ketika melalui padang rumput dan sungai yang segar maupun lembah kekelaman (Mazmur 23). Kiranya hanya oleh anugerah dan damai sejahtera Allah, kita dimampukan-Nya menaruh iman yang rapuh ini pada-Nya, bahwa Bapa kita di surga tahu yang terbaik untuk kehidupan anak-anak-Nya.