Bersinar selama Masih Lajang, Apa Bisa?
by Lidya Anna Supriyadi
Masalah relasi dalam rumah tangga yang mengalami guncangan, akhir-akhir ini di Indonesia dikemas oleh media berita dengan judul yang membuat pembaca (khususnya perempuan lajang) menjadi penasaran sampai ketakutan. Tak mau diam, pada 16 Mei 2023, Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin, turut menggemparkan saat mengeluarkan permintaan agar Generasi Z tidak menunda pernikahan. Kemungkinan besar sebelum ada berita-berita tersebut, kaum perempuan lajang juga sudah memiliki beban pikiran, seperti finansial (untuk persiapan menikah dan kehidupan selanjutnya), belum menemukan pasangan, serta masalah keluarga yang perlu diselesaikan. Jika kita tak berhati-hati, mungkin kita bisa terhanyut banjirnya berita yang meredupkan pengharapan.
Pearlians, khususnya bagi yang saat ini belum menikah atau bahkan belum menemukan pasangan, apakah kamu takut dan ragu ketika membaca berita saat ini? Atau kamu tetap terus berpengharapan dalam Tuhan, bahkan yakin sanggup bersinar di tengah keredupan bersama-Nya? Mari kita menengok pada salah satu contoh wanita yang diangkat oleh penulis Amsal. Siapakah wanita yang dimaksud ini?
Wanita ini adalah wanita cakap yang disinggung oleh ibu dari Raja Masa yang bernama Lemuel (Amsal 31:1, 10–31). Saat membaca kriteria istri yang cakap dari Amsal 31, kita akan menemukan bahwa kriterianya tidak bisa tiba-tiba dimiliki (alias butuh waktu). Ya, sikap, sifat, dan gaya hidup sang wanita ini bukan hanya berkaitan dengan statusnya, melainkan justru lebih mengutamakan karakternya. Tentu perlu ada proses hidup yang membuat seorang istri yang dipilih Lemuel memiliki karakter yang mulia seperti berbuat baik, senang bekerja, mengulurkan tangan kepada yang tertindas dan miskin, pengajarannya lemah lembut, dan sebagainya.
Nah, Pearlians, betapa beruntungnya kita yang telah dipanggil sebagai anak-anak Tuhan yang dikasihi-Nya! Di dalam anugerah-Nya, dalam masa lajang atau penantian (as a lady in wating) ini kita memiliki waktu untuk mengembangkan diri dan memenuhi kriteria sebagai istri yang cakap. Mengapa? Karena Amsal 31:30 menegaskan bahwa yang terpenting bukanlah masalah kemolekan, kecantikan, status, bahkan permintaan dunia—melainkan karakter takut akan Tuhan. Takut akan Tuhan adalah karakter yang mulia (noble character). Jadi, sebagai perempuan lajang (as a lady in waiting) kita tidak perlu khawatir akan masa depan, ragu, dan takut dengan keadaan, melainkan menunjukkan bahwa karakter mulia (noble character) itu sudah kita miliki.
Tentunya kita sudah diberikan pedoman hidup kekal, termasuk pribadi yang dapat kita teladani dalam masa lajang ini. Saya mengajak Pearlians untuk belajar bersama dari tiga tokoh wanita dalam Alkitab di bawah ini:
1. Ribka
Seorang perempuan yang bekerja pada ayahnya untuk menjaga domba, tentu memiliki keseharian hidupnya di antara komunitas kaum gembala. Fokus hidupnya bukan untuk mencari pasangan hidup. Hebatnya, tidak ada catatan bahwa Ribka memiliki keraguan atau ketakutan dalam hidup. Ribka justru menunjukkan karakter mulia ketika bertemu dengan hamba Abraham. Di dalam Kejadian 24:15–20, dikisahkan bahwa Ribka membawa buyung air di atas bahunya, turun ke mata air, kemudian kembali naik, merupakan keseharian Ribka yang menunjukkan dia menikmati pekerjaan. Selain itu, saat Ribka bertemu dengan hamba Abraham, dia memberikan minum bagi hamba itu, termasuk “unta-untamu juga kutimba air, sampai semuanya puas minum.” Ribka mengulurkan tangannya kepada yang tertindas dengan segera. Karakter mulia ini sudah dimiliki Ribka dari sejak masih dalam penantian sebagai perempuan lajang, bukan setelah bertemu dengan Ishak.
2. Rut
Menantu Naomi yang memutuskan untuk mengikuti Allah yang disembah mertuanya. Setelah kepahitan menimpa perjalanan hidup Naomi, termasuk Rut yang kehilangan suaminya, Rut melihat bahwa Naomi masih berjuang untuk hidup dalam Tuhan. Dirinya dengan teguh memutuskan untuk mengikuti Naomi (Rut 1:16-17), meninggalkan kaum dan allahnya, ikut pergi ke Betlehem. Disandingkan dengan Orpa, menantu Naomi yang lain, Orpa memilih untuk kembali ke kaumnya yang tidak mengenal TUHAN,. Karakter mulia yang ditunjukkan pertama kali oleh pribadi Rut adalah takut akan Tuhan. Memilih ikut Tuhan dan menyerahkan diri sepenuhnya bukan hal yang mudah, terlebih tidak ada jaminan akan hidup bahagia. Namun, Rut memilih untuk setia dengan keputusannya mengikut dan menyembah Allahnya Naomi.
Setelah sampai ke Betlehem, Rut bukan berdiam diri meskipun berada di negeri orang lain. Inisiatif Rut meminta kepada Naomi, berasal dari dirinya, “Biarkanlah aku pergi ke ladang memungut bulir-bulir jelai.” Rut menunjukkan karakter mulia yaitu bekerja keras (Rut 2:7, 17, 23) di mana Rut terus sibuk bekerja dari pagi sampai petang, bahkan tidak hanya pada musim jelai, tetapi sampai musim gandum berakhir, Rut terus bekerja. Selain bekerja, Rut juga memiliki waktu untuk duduk makan bersama penyabit lainnya, termasuk tetap memiliki relasi yang baik dengan Naomi, di mana ia juga tinggal bersamanya. Akhir kisah Rut ini pun di luar dugaan: bersama Boas yang kemudian menikahinya, Rut menjadi salah satu nenek moyang bagi Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita.
3. Lidia
Penjual kain ungu dari kota Tiatira, sedang berada di tempat sembahyang dan berkumpul bersama perempuan-perempuan lainnya, mendapat kesempatan bertemu Paulus ketika berada di Filipi (Kisah Para Rasul 16:13-18). Jelas sekali, bahwa Lidia sebagai penjual kain ungu, kain yang menjadi lambang kemewahan, bukan orang yang remeh. Pelanggan yang dimiliki Lidia minimal dari golongan yang menengah ke atas. Tak perlu dipertanyakan, karakter mulia yang dimiliki oleh Lidia adalah senang bekerja.
Selain itu, karakter mulia yang ditunjukkan oleh Lidia tertulis, “Ia penjual kain ungu yang beribadah kepada Allah.” (Kisah Para Rasul 16:14) Sikapnya ditunjukkan ketika Tuhan membuka hatinya, Lidia mau memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus, dan memberi diri dibaptis, termasuk seisi rumahnya kepada Allah dan dibaptis. Melihat bagaimana seisi rumahnya ikut dibaptis, menunjukkan bahwa Lidia merupakan pribadi yang “membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya. Lidia juga mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya.” (Amsal 31: 26 – 27). Perlu diingat pula bahwa status pernikahan Lidia tidak disebutkan di Alkitab. Ada dugaan bahwa Lidia melajang—entah karena sudah menjanda atau bercerai. Namun, kita bisa belajar dari Lidia mengenai kecekatannya dalam mengurus keluarga dan rumahnya tanpa meninggalkan kehidupan ibadahnya kepada Allah.
Kemurahan hatinya juga ditunjukkan untuk mengajak Paulus menumpang di rumahnya. Sampai saat Paulus keluar dari penjara, Paulus dan Silas dapat berkunjung kembali ke rumah Lidia dan berdoa bersama saling menguatkan. Hal ini tentunya merupakan karakter mulia di mana Lidia “memberikan tangannya kepada yang tertindas”.
Pearlians, waktu dalam penantian/masa lajang ternyata sangat bisa dinikmati dengan penuh sukacita dan pengharapan, seperti Ribka, Rut, dan Lidia. Identitas terpenting yang kita miliki bukan bergantung pada status, tapi identitas kita adalah pribadi yang diselamatkan Tuhan (lihat Efesus 2:8-10). Ketika kita bersedia merespons anugerah dengan memiliki hidup sebagai perempuan yang telah Tuhan selamatkan, Dia memampukan kita memandang diri sendiri berharga di mata-Nya, dan menjadi Sang Terang yang kita refleksikan melalui karakter yang mulia di tengah keredupan. Shine with your noble characters, Pearlians!