Merdeka dan Bertanggung Jawab
by Aysha Sukirdjadjaja
Tanggal 17 Agustus ini, kita akan merayakan hari kemerdekaan Indonesia untuk ke-76 kalinya. Namun, pernahkah terlintas di pikiran Pearlians bahwa kemerdekaan bukan hanya merupakan sesuatu yang bisa dimiliki oleh sebuah bangsa, tetapi juga dalam pengertian kita sebagai orang percaya yang sudah ditebus dari dosa? Hanya bila terlebih dahulu memahami betapa fatalnya kejatuhan manusia ke dalam dosa, setiap orang percaya akan bisa menghayati betapa berharganya kemerdekaan yang mereka terima melalui penebusan Yesus Kristus di atas kayu salib. Saat manusia pertama—Adam dan Hawa—jatuh ke dalam dosa, seketika itu juga mereka mengalami kematian, yaitu kematian rohani—putusnya relasi manusia dengan Allah. Karena Dia adalah Pribadi yang mahakudus, maka tidak mungkin ada tempat bagi dosa di hadapan Allah. Akibatnya, Adam dan Hawa tidak bisa lagi menikmati persekutuan yang intim dengan Allah seperti sebelumnya (Kejadian 3:7). Keterpisahan dari Allah yang merupakan sumber kehidupan merupakan tragedi terbesar bagi manusia, karena ini artinya hidup manusia sudah berakhir tanpa pengharapan.
Kematian rohani akan disusul dengan kematian fisik, meski tidak segera. Setelah diusir dari Taman Eden agar tidak memakan buah dari pohon kehidupan, Adam dan Hawa masih melangsungkan hidup mereka di bumi, tetapi dengan natur manusia yang berdosa, sehingga keturunan mereka pun lahir dengan natur dosa—termasuk kita. Cengkeraman dosa demikian kuat, dan hal ini terbukti oleh manifestasi perbuatan dosa yang pertama kalinya bisa dilihat secara kasat mata, yaitu terjadinya pembunuhan terhadap saudara kandung—Kain membunuh Habel, adiknya. Selanjutnya, Lamekh—keturunan Kain—pun tumbuh menjadi seorang yang pemberang dan pendendam. Orang yang melukai Lamekh dibalas dengan jauh lebih jahat lagi, yaitu dengan membunuhnya. Dengan sombongnya, Lamekh berkata, “Jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat.” (Kejadian 4:23-24)
Ketika jumlah manusia makin bertambah, kejahatan manusia pun makin besar dan kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan (Kejadian 6:1, 5), hingga akhirnya Allah menjatuhkan penghukuman dengan mengirimkan air bah yang membinasakan manusia dan segala binatang dari muka bumi. Hanya satu keluarga dan binatang-binatang yang berada di bahteranyalah yang mendapat kasih karunia Allah dan tetap hidup, yaitu keluarga Nuh (Kejadian 6:6-8). Melalui keluarga Nuh inilah manusia kembali berkembang biak, tetapi tetap dengan natur sebagai manusia berdosa.
Natur dosa manusia membuat manusia dari jaman ke jaman hidup dalam dosa, karena dosa membuahkan dosa. Dosa tidak pernah bisa menghasilkan kebenaran ataupun kebaikan. Dengan segala macam kenajisannya, dosa sudah pernah ada dari jaman dahulu bahkan sampai sekarang. Firman Tuhan menegaskan, “Semua orang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” dan “upah dosa adalah maut” (Roma 3:23; 6:23a). Pada akhirnya ,setiap orang berdosa akan mengalami kematian kekal, yaitu penghukuman karena dosa dalam neraka. Manusia sama sekali tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, dan usaha sekeras apapun tidak akan bisa membuat mereka melepaskan diri dari belenggu dosa maupun meloloskan diri dari neraka. Tidak ada satupun yang bisa manusia andalkan untuk bisa menyelesaikan masalah dosa dalam hidupnya. Kepintaran, kekayaan, keahlian, status, gelar, koneksi, dan ketenaran bukanlah solusi bagi masalah dosa manusia. Demikian juga amal baik, agama, moralitas, dan kebajikan, karena kesalehan manusia berdosa di hadapan Allah bagaikan kain kotor belaka (Yesaya 64:6). Sungguh tragis, bukan?
Walaupun demikian, Allah berinisiatif menyediakan jalan untuk memulihkan relasi-Nya dengan manusia, dan antara manusia dengan diri sendiri serta sesamanya. Firman Tuhan berkata, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Hanya oleh karena kasih-Nya, Allah membuka jalan anugerah bagi manusia berdosa. Manusia hanya bisa mengandalkan kasih dan anugerah Allah, yaitu dengan iman mengakui karya penebusan Yesus di atas salib serta mempercayai dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka pribadi (lihat di Efesus 1:7; Roma 10:9-10, Efesus 2:8-9, dan Kisah Para Rasul 4:12). Dengan demikian, kita yang percaya akan menerima pengampunan dosa, diperdamaikan kembali dengan Allah (Roma 3:25), serta mendapatkan keselamatan (Kolose 1:14, Roma 3:25, Ibrani 9:28). Yes, merdeka! Karena Kristus telah memerdekakan kita, kita benar-benar merdeka! Dosa dan maut tidak lagi berkuasa atas kita (Yohanes 8:36, Roma 8:2). Puji Tuhan! Betapa segarnya nafas kemerdekaan yang kita hirup, dan betapa berharganya kemerdekaan yang kita terima. Sungguh kita adalah orang-orang yang paling beruntung karena mengalami kemerdekaan di dalam Kristus!
Namun, kemerdekaan memiliki dua aspek, bukan saja dalam artian “merdeka dari” tetapi juga “merdeka untuk”. Kristus memerdekakan kita bukan tanpa tujuan, melainkan ada tanggung jawab yang menyertai kemerdekaan yang diberikan-Nya agar kita tidak menyalahgunakan kemerdekaan itu. Kemerdekaan itu jangan dipakai sebagai kesempatan untuk kembali menghambakan diri kepada dosa dan hidup dalam dosa (Galatia 5:13), sebaliknya harus ada perubahan hidup yang harus terjadi karena kita sudah ditebus dari cara hidup yang sia-sia dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang tidak bercacat (1 Petrus 1:18-19). Setiap orang yang telah dimerdekakan dipanggil untuk hidup menjadi hamba Allah (1 Petrus 2:16). Menjadi hamba Allah berarti hanya mentaati Allah, melakukan kehendak Allah, serta melayani Allah. Menjadi hamba Allah sama dengan menjadi hamba kebenaran dan menyerahkan anggota-anggota tubuh kita kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. Dengan menaati kebenaran, maka kita akan dimampukan untuk mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus, saling mengasihi, dan saling melayani (Roma 6:13, 18; 1 Petrus1:22). Jika dengan setia melakukan “merdeka untuk menjadi hamba Allah”, maka kita beroleh pengudusan dari waktu ke waktu dan sebagai kesudahannya kita mendapatkan hidup yang kekal (Rm 6:22). Puji Tuhan! Haleluya! Suatu kehidupan yang penuh pengharapan yang pasti, bukan? Dari hamba dosa menjadi hamba Allah, dari kematian kekal kepada hidup yang kekal, dan ini semua bisa terjadi hanya karena Allah yang memerdekakan melalui pengurbanan Kristus.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, rakyat Indonesia pernah mengalami penjajahan Belanda yang demikian lama dan penjajahan Jepang yang demikian pahit. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan pernyataan bahwa rakyat Indonesia telah menjadi tuan atas dirinya sendiri serta mendirikan negara dan pemerintahan sendiri, yang tentunya mendatangkan sukacita dan kebanggaan yang besar bagi rakyat Indonesia. Meski demikian, bangsa Indonesia tidak boleh puas dan berhenti karena sudah “merdeka dari” penjajahan, melainkan harus berlanjut dengan “merdeka untuk” membangun kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kiranya para hamba Allah—yaitu setiap orang percaya yang telah mengalami kemerdekaan dalam Kristus dan dengan pertolongan Roh Kudus—dimampukan untuk menjalankan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia untuk mengisi kemerdekaannya dengan perkara-perkara yang Allah kehendak demi menyatakan kasih dan anugerah Allah bagi bangsa Indonesia: tunduk kepada pemerintah dan siap melakukan setiap pekerjaan baik (Titus 3:1).
Akhir kata, selamat ulang tahun ke-76, Indonesia!