Nasihat yang Tidak Diminta
by Yunita S. Handayani
Acara pertemuan keluarga besar biasanya menjadi acara yang menyenangkan. Namun, mungkin ada juga yang malas bertemu keluarga besar gara-gara adanya beberapa kerabat yang “rese”. Yaa, orang-orang yang seakan tahu segalanya dan suka mengatur hidup orang lain itu. Mereka yang selalu menemukan cela dalam hidup kita dan merasa punya kuasa menentukan setiap keputusan yang harus diambil dalam hidup kita.
Ah, sebentar. Sebelum mengeluh, mari kita juga bercermin dulu. Mungkin kita juga sama seperti mereka dalam lingkup komunitas yang berbeda. Jangan-jangan kita sering juga kelepasan terburu-buru memberi nasihat yang tidak diinginkan, unsolited advice.
Nasihat adalah salah satu bentuk kasih yang mengikat persaudaraan dalam tubuh Kristus. Akan tetapi, nasihat yang diberikan di saat yang tidak tepat dan tanpa diminta akan terkesan menghakimi. Kita bisa terjebak menjadi orang yang ikut campur urusan orang lain.
Ada berbagai motif yang mendasari seseorang menjadi pribadi yang gemar menasihati tanpa diminta. Motifnya memang bisa saja murni karena punya punya semangat gemar menolong atau didorong rasa pertemanan dan persaudaraan yang kuat. Namun, bisa juga motif itu berasal dari kebutuhan dirinya sendiri untuk merasa dianggap lebih kuat dan lebih tahu, bahkan kecenderungan untuk mendominasi kehidupan orang lain.
Kita perlu kerendahan hati untuk berjalan dalam hikmat Tuhan saat kita memberi nasihat pada orang lain bahkan saat maksud kita sebenarnya cukup baik. Jangan sampai nasihat kita malah membawa batu sandungan atau kepahitan bagi kehidupan orang lain. Kita juga harus terus memeriksa diri sendiri apakah motif kita menasihati sebenarnya hanya bersumber dari kebutuhan untuk mendapat pengakuan dari orang lain.
Dalam berkaca kali ini, kita tidak sendirian, karena Alkitab telah memberi panduan kepada kita tentang menasihati orang lain di dalam hikmat Tuhan.
1. “Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu”
(1 Tesalonika 4: 11)
Firman Tuhan mengajarkan pada kita untuk hidup tenang dan mengurus persoalan sendiri. Ini adalah suatu teguran halus supaya kita berhenti terlalu kepo mengurusi persoalan orang lain. Berfokus untuk memperbaiki diri lebih bijaksana daripada selalu mencari-cari cara untuk memperbaiki hidup orang lain. Saat kehidupan kita baik dan memancarkan kemuliaan Tuhan, tanpa harus menghakimi-berbalur-nasihat pun orang yang melihat kehidupan kita akan terberkati. Tuhan selalu punya cara berbicara dan menasihati orang lain melalui kesaksian kehidupan kita.
2. “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19)
Ada kalanya orang mengeluh karena mereka hanya perlu didengarkan, maka berilah waktu yang lebih untuk mendengarkan orang lain dengan empati daripada berbicara untuk didengarkan. Mendengarkan dengan sepenuh hati berarti menyediakan diri untuk menyerap segala isi hatinya. Bukan mendengar tapi pikiran kita sibuk merancang nasihat-nasihat supaya dipandang hebat oleh orang lain. Mungkin ini terdengar melelahkan untuk dijalani; siapa yang ingin hanya menjadi “tong sampah” bagi orang lain? Cepat atau lambat, kesabaran kita juga ada batasnya, bukan? Di sinilah kita benar-benar membutuhkan anugerah Allah untuk menunjukkan kasih kepada orang-orang yang sedang berkeluh-kesah, dan tuntunan Roh Kudus agar kita dapat memberikan respons yang tepat.
3. “Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!” (Mazmur 15:23)
Bukan berarti kita tidak boleh memberikan nasihat pada orang lain sama sekali. Namun, kita harus paham kapan dan bagaimana memberi nasihat pada orang lain. Kita harus mengembangkan kepekaan apakah saat itu seseorang dalam keadaan yang hanya ingin didengarkan saja dan kapan emosinya sudah cukup stabil untuk dapat menerima nasihat. Oleh karena itu, kita perlu senantiasa meminta bimbingan hikmat Tuhan dalam setiap interaksi yang kita lakukan.
4. “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8)
Nasihat yang tidak diberikan tepat pada waktunya lebih terkesan seperti kritik yang menghakimi bagi pendengarnya, maka Firman Tuhan mengingatkan kita untuk lebih banyak mengeluarkan perkataan yang manis, kata-kata yang sedap didengar. Ini bisa berupa kata-kata penghiburan dan penguatan. Bisa juga lebih banyak kata-kata apresiasi bagi orang lain daripada selalu menunjukkan mana yang harus diperbaiki dalam hidupnya. Memang ada kalanya kita sangat gatal ingin memperbaiki orang tersebut, tetapi siapakah kita yang tidak berkuasa untuk mengubah orang lain—kecuali Tuhan yang menggerakkannya?
Beberapa orang mungkin memang sengaja datang pada kita untuk curhat. Saat orang lain curhat, daripada langsung memberi nasihat apa yang harus dilakukan dalam hidupnya, kita dapat memulai dengan bertanya apa yang bisa kita lakukan untuk meringankan bebannya. Mungkin dia berkata bahwa dia hanya ingin didengarkan atau dia membuka diri menanyakan pendapat-pendapat kita.
Saat acara pertemuan keluarga besar tiba semoga kita dapat lebih banyak membagikan damai sejahtera daripada kata-kata yang membawa lara. Kalau pun kita diberi kesempatan bertemu dengan kerabat atau teman yang memberi nasihat berlebihan tanpa diminta, mungkin Tuhan sedang meminta kita untuk menunjukkan kasih yang lebih baginya. Mungkin dia memang sedang butuh dianggap ada dan berguna bagi orang lain. Sebagaimana panggilan Tuhan untuk menjadi terang dunia, mari melihat segalanya dengan sisi yang lebih terang di dalam hikmat-Nya.