QUARTER-LIFE CRISIS? SIAPA TAKUT!
by Prita Atria Karyadi
Hai, Pearlians! Siapa di sini yang usianya “masih” seperempat abad? #acungjari. Tenang, tenang… Hehehehe… aku juga masih umur segitu, kok.
By the way, ngomongin soal umur 25 tahun, pernah enggak Pearlians denger istilah quarter-life crisis? Singkatnya, quarter-life crisis ini adalah sebuah periode pada pertengahan usia 20 tahunan (bahkan rentang usianya dari 18-30 tahun) yang dipenuhi dengan ketidakpastian karena menyangkut kualitas dan tujuan hidup, sehingga menimbulkan kecemasan. Pada krisis ini, kita bisa mengalami gejolak emosi dari dalam maupun luar diri sendiri. Dampaknya, kita merasa cemas, tidak nyaman, mengalami kebingungan untuk menentukan arah hidup, dan putus asa. Bahkan tidak jarang quarter-life crisis ini menyebabkan kita bisa mempertanyakan keberadaan diri sebagai manusia karena merasa tidak memiliki tujuan hidup.
Wah, kok, serem amat, ya! Namun, disadari atau enggak, kita seenggaknya pernah mengalami satu momen pada keputusan hidup yang sedang diambil. Iya, quarter-life crisis ini seakan-akan tidak bisa kita hindari, tetapi benarkah demikian bagi kita yang (mengaku) percaya dan mengasihi Tuhan Yesus?
Dari sudut pandang kesehatan, psikologis, atau sosial, quarter-life crisis itu ada dan dialami banyak orang yang memasuki masa dewasanya. Bahkan mungkin kerohanian kita juga berpengaruh pada sikap kita terhadap si quarter-life crisis ini. Kenapa demikian? Karena quarter-life crisis ini bisa bermula dari pertanyaan, “Apa lagi yang masih bisa aku kejar? Kenapa hidupku kayak gini-gini aja?” (lih. di sini)
Oh, aku belum punya pekerjaan yang mapan. Oke, apalagi? Oh, saya belum punya mobil. Oke, lalu? Oh, gue belum punya rumah. Oke baik, apalagi? Aku belom punya pasangan, coy! Oh, baik sekali. Nah, disadari atau tidak, list ini akan terus bertambah sampai kita berhenti pada satu kenyataan bahwa tidak ada satu pun yang bisa memuaskan hati kita. Tidak salah kalau kita memiliki keinginan, Pearlians. Namun, kita perlu waspada karena hal tersebut dapat membutakan kita dari makna “rasa cukup”, dan justru mengakibatkan pencobaan pada diri sendiri. Perhatikan bagaimana kita mengingini sesuatu dalam hidup seperti yang disampaikan oleh Yakobus:
“Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” —Yakobus 1:14 TB (1974)
Dari ayat di atas, kita diingatkan bahwa pencobaan yang kita alami bisa berasal dari—atau istilah lebih kerasnya, kita diperbudak—keinginan kita sendiri. Keinginan pertama terpenuhi, terbitlah keinginan B. Keinginan B terwujud, jadi ingin yang C. Kalau belum dapat, kita terus berjuang sampai mendapatkannya. Terus, kalau udah, apa yang kita rasakan? Bahagia? Punya kebanggaan? Merasa oke? Merasa udah mapan? Merasa udah punya segalanya? Padahal seorang bijak di kitab Pengkhotbah menulis demikian:
“Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.”
—Pengkhotbah 1:14 TB (1974)
Segala sesuatu adalah kesia-siaan. Fana. It’s “hevel”. Segala sesuatu yang tidak ditujukan untuk Tuhan adalah sebuah kesia-siaan belaka. Oke, bukan berarti kita tidak boleh untuk mendapatkan semua hal dalam hidup sama sekali, ya. Namun, kita perlu memastikan apa atau Siapa yang menjadi tujuan dari setiap pencapaian kita, dan ke arah mana hati dan pikiran kita tertuju.
“Pastikan motivasi terbesar dari yang kita lakukan itu adalah hal yang bernilai kekal.”
Apakah Tuhan, Sang Alfa dan Omega, adalah Dia yang menjadi tujuan segala hal yang kita kerjakan itu?
Nah, terus apa hubungannya sama quarter-life crisis? Di dunia ini, kita terjebak dengan hal yang menjadi ekspektasi dari berbagai aspek. Ekspektasi keluarga, lingkungan, status sosial, dan konteks-konteks lainnya seolah-olah mengharuskan kita untuk memenuhinya. Yah, kadang-kadang, kita terjebak untuk memenuhi ekspektasi tersebut agar orang lain menerima kita. Bahkan tidak jarang meskipun sudah tahu bahwa Tuhan mengasihi kita, seolah-olah ada lubang di dalam hati yang masih belum terpuaskan. Akibatnya, kita jadi merasa lelah dengan setiap tuntutan yang tidak kunjung terpenuhi. Mungkin kita juga merasa telah menjalani kehidupan yang sia-sia karena tidak mampu memenuhi ekspektasi orang lain, atau meyalahkan diri sendiri atas idealisme yang tidak tercapai.
Kabar baiknya, Allah tidak membiarkan kita terus-menerus berkutat dalam kelelahan jiwa yang kita alami. Mengenai hal ini, seorang bapa gereja bernama Agustinus menulis demikian:
“You (God) stir man to take pleasure in praising you, because you have made us for yourself, and our heart is restless until it rests in you.”1
Kesadaran bahwa hanya Allah sendiri yang mampu memuaskan manusia akan mendorong kita untuk menghidupi kerinduan-Nya melebihi ekspektasi dunia yang fana ini. Ada banyak hal yang Alkitab jelaskan mengenai kerinduan Tuhan untuk kita lakukan, tetapi kalau dirangkum, maka hal itu adalah Hukum Kasih dan Amanat Agung:
”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” —Matius 22:37-40
Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” —Matius 28:18-20
Oke, ayat-ayat di atas hanyalah prinsip dasar yang perlu kita terus gumuli dalam menentukan langkah-langkah kehidupan kita, termasuk ketika sedang menghadapi quarter-life crisis. Lalu, bagaimana sikap kita yang semestinya untuk survive dalam masa krisis ini?
Set boundaries to see ourselves more clearly
Apa yang terpampang di media sosial tidak bisa kita kendalikan. Bagaimana pun, setiap orang punya hak dan tanggung jawabnya masing-masing ketika membagikan sesuatu pada akun mereka. Namun, ada satu hal yang bisa kita kendalikan: respons diri sendiri. Salah satunya adalah melalui detoksifikasi media sosial (socmed detox). Kenapa sampai ada istilah ini? Pearlians, disadari atau enggak, media sosial “mempermudah” kita untuk mengetahui update kehidupan orang lain. Dapat promosi di tempat kerja, upload. Pergi kencan sama pacar di restoran hotel bintang lima, upload. Baru saja beli mobil terbaru, upload. Kalau hanya satu-dua orang teman yang melakukannya, mungkin kita akan menyikapinya sebagai sesuatu yang wajar. Namun, bagaimana kalau ada banyak orang yang melakukannya dalam waktu beruntun? Mungkin saat itulah kita kembali bergumul dengan quarter-life crisis kita.
See? Setiap post mereka bisa mendorong kita membandingkan diri sendiri lalu kumatlah insecurity kita. Kalau sudah seperti ini, ada kalanya Firman Tuhan yang sudah kita dapatkan pun sama seperti angin, tidak ada gunanya. Nah, salah satu cara yang bisa lakukan adalah dengan membatasi diri dari konten-konten di media sosial, sekaligus mengevaluasi diri terhadap insecurity yang dialami. Mungkinkah ada kebutuhan yang belum terpenuhi, tetapi kita belum menyadarinya? Evaluasi seperti ini akan membutuhkan waktu, tetapi juga menolong kita untuk memfokuskan diri pada hal-hal yang lebih bermanfaat untuk kita kerjakan dibandingkan hanya meratapi keadaan yang ada di luar kendali kita.
Memandang penuh kepada Tuhan
Pernah dengar ungkapan seperti, ”Tenang aja, semuanya tu udah diatur sama Tuhan. Rezekinya kek, jodohnya kek… Amanlah sama Tuhan”? Hmmm… sekilas, enggak salah, sih. Namun, apakah kita masih akan tetap percaya pada Tuhan ketika hidup kita tidak berjalan seperti yang kita harapkan? Memang benar Dia berfirman demikian:
“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”
—Yesaya 55:8-9
… tetapi ini tidak berarti hidup kita akan menjadi lancar secara otomatis. Berapa banyak di antara kita yang justru meragukan Tuhan ketika doa kita tidak dijawab seperti yang kita mau? Namun, ada satu sikap yang perlu terus kita pelihara, yaitu takut akan Tuhan (Amsal 1:7). Ini bukan berarti kita jadi bermalas-malasan karena merasa bahwa dengan takut akan Dia (percaya kepada-Nya), maka Tuhan pasti akan membuat hidup kita jadi sukses! It’s a big NO, karena Alkitab juga menegur orang-orang malas (lih. Amsal 13:4, 20:4) dan mengingatkan kita untuk tetap mengerjakan apa yang dipercayakan dengan tujuan untuk memuliakan-Nya:
“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” —Kolose 3:23
Sikap takut akan Allah memampukan kita untuk mengerjakan tanggung jawab sebagai bentuk ungkapan syukur kita atas anugerah dan pemeliharaan-Nya. Sikap ini tidak terlepas dari relasi kita dengan Allah; bagaimana kita bisa “takut akan Dia” jika kita tidak pernah menganggap serius relasi tersebut? Apakah kita sudah dengan serius membangun disiplin rohani dan mengizinkan Allah berbicara secara pribadi setiap saat kepada kita?
Pearlians, quarter-life crisis itu nyata adanya, sehingga kita membutuhkan banyak “amunisi” untuk bertahan di dalam dunia yang sering kali menyeret kita pada arus yang tidak benar. Kita perlu terus-menerus mengisinya dengan kebenaran firman Tuhan yang memenangkan diri kita (Yoh. 8:32), dan terus mengimani bahwa Tuhan telah dan akan terus menyertai kita. Kiranya quarter-life crisis yang kita lalui ini menolong kita melihat keindahan Allah yang beserta dengan kita, seperti yang tertulis dalam Yesaya 41:10 berikut:
“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.”