Sebelum Aku Menjadi Ibu, Aku Perlu Tahu bahwa…

by Nidya Mawar Sari

“Sayang, aku hamil!” seru Nina seraya menunjukkan hasil test pack-nya pagi ini ke Bobi, suaminya, yang baru saja bangun tidur. 

Mata sang suami yang tadinya masi setengah tertutup langsung terbuka lebar seiring dengan senyumnya yang merekah, kemudian keduanya berpelukan. Sejak hari itu, Nina mulai mempersiapkan diri. Dia makan dan minum yang lebih sehat serta rajin kontrol ke dokter kandungan. Selain itu, ia juga membaca buku atau unggahan medsos tentang bagaimana mendidik dan membesarkan seorang anak. Bobi tidak mau kalah. Kini dia makin semangat bekerja karena ia tahu bahwa biaya melahirkan dan kebutuhan bayi nanti tidaklah murah. Bobi yang dulu suka nongkrong di kafe bareng temannya kini tidaklah demikian, karena ia simpan uangnya untuk kebutuhan bayinya nanti.

==**==

Kisah di atas adalah rekaan, tetapi inilah yang umumnya terjadi dalam kehidupan keluarga baru. Persiapan menjadi seorang ayah dan ibu dimulai saat sang bayi ada dalam rahim calon ibu. Persiapan fisik dan mental memang sangat diperlukan. Namun, ada hal lain yang perlu dipahami oleh calon ayah dan ibu tersebut, bahkan sebelum sang bayi hadir dalam rahim ibunya. Yuk kita simak, apa kata Firman Tuhan tentang hal ini!

1. Anak adalah tanggung jawab atas mandat budaya

Pearlians, setelah Tuhan menciptakan manusia, Tuhan memberkati suami istri pertama itu dan memberi sebuah mandat yang dikenal dengan “Mandat Budaya.” Isi mandat ini dapat kita baca dalam Kejadian 1:28:

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”

Inilah hal pertama yang perlu dipahami oleh setiap pasangan suami-istri: Anak bukan pelengkap keluarga. Ya, bahkan sebelum kehadiran Kain—anak yang lahir pertama kali di dunia—Tuhan berkata bahwa keberadaan Adam dan Hawa itu sungguh amat baik (Kejadian 1:31). Kehadiran seorang anak dalam keluarga adalah sebuah penggenapan mandat Allah bagi kita. Tuhan mempercayakan seorang manusia, yang kepadanya Tuhan hendak menyatakan rencana-Nya, melalui kita, orang tuanya. Memahami hal ini akan membuat kita memiliki alasan yang tepat saat memutuskan ingin punya anak. Memiliki anak bukan untuk meneruskan usaha keluarga, meneruskan nama besar keluarga, apalagi untuk investasi jangka panjang. Tujuan-tujuan tersebut adalah tujuan yang keliru. Memutuskan memiliki anak berarti kita menerima tanggung jawab dari mandat budaya untuk beranak cucu dan bertambah banyak. 

2. Perintah untuk Menginjili

Selain mandat budaya, ada satu lagi mandat yang Tuhan berikan, yaitu Mandat Injili. Mandat ini juga dikenal dengan sebutan Amanat Agung yang tertulis dalam Matius 28:19-20:

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Seringkali Mandat Injili hanya dipahami sebagai perintah untuk memberitakan injil kepada orang-orang yang belum mengenal Tuhan, padahal panggilan penginjilan juga diberikan kepada orang tua untuk menginjili anaknya. Tuhan memberikan privilege bagi setiap orang tua untuk membawa anaknya kepada Tuhan, seperti yang disampaikan Ulangan 6:4-9:

Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.

Kalimat “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu…” adalah sebuah perintah bagi setiap orang tua untuk memperkenalkan Tuhan dan membawa mereka kepada keselamatan dalam Kristus. Sayang sekali kalau kita sebagai orang tua hanya memenuhi kebutuhan mereka secara fisik dan mental, bahkan mungkin kita juga telah mempersiapkan masa depan mereka dengan memberikan pendidikan yang terbaik. Semuanya tidaklah salah, tetapi ada yang kurang: kita tidak memenuhi kebutuhan spiritual mereka, yaitu keselamatan dalam Kristus. 

Pearlians, bila kita perhatikan dua poin yang telah dipaparkan, jelaslah bahwa memiliki anak bukan tentang kita, melainkan tentang Tuhan dan rencana-Nya dalam hidup anak kita. Tanggung jawab ini bukan hanya milik istri, sedangkan suami fokus mencari nafkah untuk membiayai keluarga. Memiliki anak adalah panggilan dan mandat bagi suami istri bersama-sama. Itulah sebabnya partnership harus mendahului parenting. Maksudnya adalah pastikan hubungan antara suami-istri tetap kompak, sepaham, dan sepakat. Menjalani panggilan dan peran sebagai orang tua bukanlah hal yang mudah. Akan ada banyak tantangan baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari luar, seperti keluarga besar dan komunitas kita. Akan ada banyak keputusan yang harus diambil bersama-sama. 

Pada akhirnya, kita diingatkan bahwa menjadi orang tua bukan sekedar menghadirkan manusia-manusia baru dalam dunia ini. Menjadi orang tua juga bukan sekedar membesarkan dan memberi pendidikan terbaik untuk anak-anak kita. Jauh lebih dari itu, sebagai pasangan suami-istri, kita dipercayai Tuhan—melalui anugerah-Nya—menjadi rekan sekerja-Nya untuk menyatakan rencana-Nya dalam hidup anak-anak kita. Marilah kita sambut mandat budaya dan mandat injili ini supaya bumi tidak sekadar penuh secara kuantitas, tetapi penuh dengan orang-orang yang mengasihi Tuhan.

Previous
Previous

QUARTER-LIFE CRISIS? SIAPA TAKUT!

Next
Next

Suamiku Jatuh Cinta Lagi!