A Tough Journey, yet Precious for the Future
by Grace Suryani
Salah satu pertanyaan terbesar ketika saya hamil dulu adalah, “Bagaimana aku yang tidak kudus dan sangat lemah ini bisa mendidik anakku kelak? Jangankan mendidik orang lain, aku aja masih jatuh bangun.”
Setelah punya anak, pikiran yang sama tetap muncul, bahkan lebih sering. Hanya sekarang… saya sudah tidak terlalu merasa patah semangat ketika pikiran seperti itu muncul. Kenapa? Karena Tuhan mengajarkan saya dua hal penting ini:
1. Parenting is a Journey
Pemikiran “kita harus sempurna dulu, harus beres dulu, harus perfect dulu baru bisa menjadi orang tua yang baik” adalah pemikiran yang keliru.
Anak-anak kita juga manusia berdosa sama seperti kita. Perjalanan kita sebagai orang tua justru perjalanan kita mengenal Tuhan dan bertumbuh bersama dengan anak-anak kita. Ketika kita jatuh, jadikan itu sebagai momen untuk sharing, momen supaya anak-anak melihat bagaimana kita kembali kepada Tuhan.
Salah satu kelemahan banyak keluarga Kristen adalah menerapkan standar terlalu tinggi. Anak-anak menjadi merasa kekristenan terlalu kaku, tidak mungkin dilakukan, mustahil untuk dijalankan. Padahal sebenarnya, memang tidak mungkin menjadi kudus dengan usaha kita sendiri. Justru di situlah peran kita. Menunjukkan bahwa kita, sebagai orang tua, memang tidak sempurna. Walaupun demikian, kita selalu bisa datang kepada Tuhan dengan segala ketidaksempurnaan kita.
Fokusnya harus kepada God’s grace, bukan kepada kekuatan manusia.
“Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa. Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.” –Ibrani 2:17-18
Tuhan Yesus sendiri menjadi manusia, ikut menderita, dan ikut dicobai supaya apa? Supaya Ia bisa menolong kita yang dicobai. Tidakkah kita merasa terhibur ketika kita tahu bahwa Yesus mengalami semua yang kita alami? Rasa malu, ditolak, dihina, diledek. He understands! Itulah sebabnya kita selalu bisa datang kepada-Nya karena kita tahu, Ia pernah mengalami itu dan tidak hanya itu, Yesus pun menang dari itu semua.
Sebagai orang tua, di situlah peran kita sebagai sosok yang apa adanya di hadapan anak-anak. Mereka harus melihat kita yang berproses di dalam kegagalan dan perjuangan untuk bangkit kembali, agar ketika mereka jatuh, ketika mereka kecewa dengan diri mereka, mereka ingat, “Eh, Papa dan Mama dulu juga pernah.” Lalu (ini yang kita harapkan), mereka mendapat keberanian untuk datang kepada kita dan kita bisa bersama-sama membawa pergumulan mereka kepada Tuhan.
2. Parents as a role model
Sekalipun tidak sempurna, tetapi kita tidak boleh menjadikan fakta itu sebagai excuse terhadap peran sebagai role model bagi anak-anak. Kita harus ingat bahwa kita dipanggil untuk menjadi role model, menjadi guru yang terus menerus mendidik dan mengingatkan anak-anak kita.
Ulangan 6:6-7 mencatat, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”
Jadikan setiap momen (yes, literally in everything everytime, not only in a good time) sebagai kesempatan untuk mengajarkan tentang Tuhan bagi anak-anak. Ajarkan berulang-ulang lagi dan lagi, sampai itu tertanam di dalam hati dan benak mereka. Bagaimana pun, tanggung jawab utama memperkenalkan Tuhan kepada generasi penerus kita bukan ada pada diri guru sekolah Minggu atau guru agama, tetapi kita. Ya, orang-orang yang dipercaya untuk mengemban tanggung jawab sebagai orang tua dari anak-anak kita.
Mengajarkan kekudusan kepada anak-anak di tengah dunia yang makin bertentangan dengan iman Kristen memang bukan hal yang mudah. Namun berita baiknya, kita tidak berjuang sendirian. Ada Tuhan yang juga rindu anak-anak kita datang kepada-Nya. Yuk, kita merendahkan diri di hadapan Tuhan, mengakui semua kegagalan dan kelemahan kita dan meminta Ia terus menyatakan diri-Nya kepada kita.
Singapore, 22 Juli 2022