Blog Majalah Pearl
Sambil meminum secangkir teh,
selamat membaca artikel-artikel kami!
Kecil Enggak, Besar Belum
“Anak remaja gue tu, minta ampun deh ya. Susaaah banget diajak ngobrol!”
“Nah, sama tu. Tapi kalo sama temennya, kok, kayak asik banget ya.”
“Iya. Uda gitu, buku ketinggalan terus. Jadwal ulangan juga ga peduli.”
“Tapi, kalo ditegur, malah galakan dia. Iya, kan?”
“Duh, kok kita senasib ya.”
“Iya loh. Kadang-kadang iri sama anaknya tetangga gue. Sama-sama udah remaja, tapi baik banget.”
“Udahlah, bukan rezeki lo. Hahaha…”
“Iya juga sih…”
Sekilas pembicaraan ibu-ibu yang anaknya sudah mentas remaja ini tidak asing lagi.
Yang Tabu Menjadi Perlu
“Nanti kalau kamu besar, kamu akan tahu hal itu.”
Demikian jawab Ibu ketika saya menanyakan tentang seks kepadanya. Hayo, siapa yang pernah mendengar (atau memberikan) jawaban serupa ketika ada pertanyaan mengenai seks?
Sepucuk Surat untuk Lelaki di Hatiku
“Dia, kan, anakmu sendiri. Kok, malah cemburu sama anak sendiri?” bisikku dalam hati. Aku tahu situasi demikian sebenarnya tidak baik untuk dibiarkan, tetapi aku sendiri pun tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk memperbaikinya.
Ada yang berpikir seperti itu juga kah?
Sebelum Aku Menjadi Ibu, Aku Perlu Tahu bahwa…
“Sayang, aku hamil!” seru Nina seraya menunjukkan hasil test pack-nya pagi ini ke Bobi, suaminya, yang baru saja bangun tidur.
Mata sang suami yang tadinya masi setengah tertutup langsung terbuka lebar seiring dengan senyumnya yang merekah, kemudian keduanya berpelukan. Sejak hari itu, Nina mulai mempersiapkan diri. Dia makan dan minum yang lebih sehat serta rajin kontrol ke dokter kandungan. Selain itu, ia juga membaca buku atau unggahan medsos tentang bagaimana mendidik dan membesarkan seorang anak. Bobi tidak mau kalah. Kini dia makin semangat bekerja karena ia tahu bahwa biaya melahirkan dan kebutuhan bayi nanti tidaklah murah. Bobi yang dulu suka nongkrong di kafe bareng temannya kini tidaklah demikian, karena ia simpan uangnya untuk kebutuhan bayinya nanti.
Hati yang Tangguh
Delapan tahun menjadi guru SMA memberi saya kesempatan bertemu dengan ratusan orang tua dengan berbagai cara mendidik anak-anaknya. Ada yang rela mengantarkan buku yang tertinggal, ada yang masih saja mencatatkan jadwal ulangan anaknya, dan yang protes saat anaknya tidak naik kelas dan memindahkan ke sekolah yang lain. Namun, ada juga yang membiarkan anaknya gagal, menerima konsekuensi dari sekolah bahkan saat harus mengulang pelajaran di kelas yang sama.
Di balik semua cara itu, saya menemukan satu hal yang sama, yaitu setiap orang tua pasti menginginkan anaknya berhasil.
A Tough Journey, yet Precious for the Future
Salah satu pertanyaan terbesar ketika saya hamil dulu adalah, “Bagaimana aku yang tidak kudus dan sangat lemah ini bisa mendidik anakku kelak? Jangankan mendidik orang lain, aku aja masih jatuh bangun.”
Setelah punya anak, pikiran yang sama tetap muncul, bahkan lebih sering. Hanya sekarang… saya sudah tidak terlalu merasa patah semangat ketika pikiran seperti itu muncul. Kenapa? Karena Tuhan mengajarkan saya dua hal penting…
Smile, You are on Camera
Di rumah kita mungkin tidak ada CCTV, tetapi kalau ada anak-anak, maka mereka lebih canggih daripada CCTV—bahkan yang lebih mutakhir sekalipun. Kenapa begitu? Karena anak-anak tidak hanya merekam setiap perilaku, tetapi mereka meniru apa yang sudah mereka rekam. Siapa yang mereka rekam? Tantangan apa yang kita sebagai orangtua hadapi?
Holiness in Parenting
Peribahasa Tionghoa kuno mengatakan, “Menegakkan sebatang pohon memerlukan waktu 10 tahun, mendidik seorang manusia dengan sukses memerlukan waktu 100 tahun.” Nah, kata “dengan sukses” di sini tentu bisa punya banyak makna, ya. Namun, apabila dilihat dari kacamata Kekristenan, mendidik anak dengan sukses berarti, “Menjalankan prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan dalam pola pengasuhan dan selalu memohon pertolongan-Nya.”
Jaminan Keselamatan
“Menurut kamu, kenapa Mama bisa yakin bahwa saldo uang itu pasti bisa ditarik saat Mama butuh dan uangnya tidak akan hilang?”
Si bocah pun penasaran memikirkan jawabannya.
Pertanyaan ini memantik sang mama memikirkan lebih lanjut tentang rasa “percaya”.
Memaknai Bahasa Kasih Bersama Gabrielle
Gabrielle lahir di tahun 2008, 10 hari menjelang ulang tahun saya. Ketika dia lahir, ada sedikit ketegangan karena detak jantungnya ketika diukur cukup tinggi—berkisar antara 160-180 dimana normalnya 140-160. Akhirnya, dokter kandungan saya memutuskan untuk segera dilakukan tindakan section, dengan alasan saya mempunyai histori IUFD anak pertama. IUFD adalah Intrauterine Fetal Death, kondisi janin meninggal dalam kandungan.
Mendidik Anak sebagai Rekan Allah di dalam Kekudusan
Tuhan memberikan perintah di dalam Ulangan 6:4-9 kepada para orang tua di Israel melalui Musa beribu tahun yang lalu, dan perintah ini terus berlaku hingga sekarang. Tuhan memerintahkan kita, sebagai orang tua, untuk hidup di dalam pengenalan terhadap Dia, satu-satu-Nya Allah yang benar dan hidup, serta kita dipanggil mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan kita (Matius 22:37). Tidak berhenti di sana, Tuhan juga memerintahkan kita untuk mengajarkan hal itu kepada anak-anak kita, sehingga mereka juga mengikuti perintah tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengajarkan hal ini kepada anak-anak?
Pendidikan Holistik
Siapa yang bisa memungkiri pentingnya pendidikan? Dalam Amsal 1:7 disebutkan bahwa awal dari pengetahuan atau pendidikan adalah takut akan Tuhan. Dalam Ulangan 6:7-9 juga dijelaskan mengenai pendidikan di rumah, tentang bagaimana orang tua mengajarkan perintah untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan. Perintah itu harus diperkatakan siang dan malam, dijadikan symbol, bahkan ditulis pada tiang pintu rumah dan pintu gerbang.
Nyanyian Pujian Maria
Setiap kali saya membaca nyanyian pujian Maria yang terkenal dengan nama The Magnificat ini, saya selalu terkesan. Seorang gadis muda yang umurnya belum lagi dua puluh tahun, yang tidak berpendidikan tinggi (pada masa itu pendidikan tinggi hanya bagi kaum pria), bisa menyanyikan sebuah nyanyian yang tidak kalah bobotnya dengan Mazmur.
Wanita Sunem: Ketulusan Hati tanpa Pamrih
Kali ini kita akan belajar dari seorang tokoh wanita yang tidak disebut namanya dalam Alkitab. Ia hidup pada zaman nabi Elisa dan berasal dari Sunem, sehingga Alkitab mencatatnya sebagai perempuan Sunem. Meskipun tidak banyak yang diceritakan Alkitab tentangnya, ada beberapa teladan hidup yang bisa kita pelajari dari perempuan ini.
Yokhebed: Wanita Yang Tidak Menyerah
Siapakah Yokhebed itu? Namanya hanya disebutkan dua kali dalam Alkitab, yaitu dalam Keluaran 6:19 dan Bilangan 26:59, keduanya dalam daftar silsilah. Mengapa dia penting? Karena dialah ibu dari nabi terbesar Israel, yaitu Musa.
One of Godly Mommy
Coba tebak, siapa saja para wanita di dalam Alkitab yang menjadi ibu? Hm, rasanya banyak banget ya. Ada Hawa, Sara, Rahel, Lea, Rahab, Delila, Ratu Syeba, Bernike, Klaudia, blablabla... tapi, coba kita persempit lingkarannya. Dari sekian banyak wanita yang menjadi ibu, berapa banyak wanita yang menjadi ibu yang mengajarkan tentang firman Tuhan kepada anak-anaknya?
Atalya: Mata Rantai Dosa
Kita akan belajar dari seorang wanita yang sangat berpengaruh di zamannya. Bukan hanya sebagai seorang istri dan ibu, tapi juga bagi cucu dan… seluruh bangsanya! Well, the clue is… dia adalah satu-satunya ratu yang pernah memerintah di sepanjang sejarah kerajaan Yehuda dan Israel. Who is that woman?
Submitting and Obeying Our Parents
“Sepanjang gak bertentangan dengan firman Tuhan, suara orang tua bisa jadi adalah suara Tuhan,” ucap seorang tanteku bertahun-tahun yang lalu padaku.
“Oh yeahhh, really Meg? Serius?”
Yup. Aneh ya kedengarannya? Mosok sih segitu pentingnya dengerin ortu, itu seakan-akan kita mau bilang suara ortu sama dengan suara Tuhan. Ya kan?