Smile, You are on Camera

by Nidya

Suatu hari, saya sedang berjalan bersama anak sulung saya menuju ke tempat les. Tiba-tiba, dia berkata, “Ma, lucu, deh,” sambil menunjuk sebuah stiker di depan pagar sebuah rumah. Stiker itu bertuliskan demikian:

SMILE, YOU ARE ON CAMERA 😊

Selain tulisan itu, ada juga gambar CCTV di stiker itu. Melihat itu, kami berdua tak dapat menahan senyum yang berkembang terlalu lebar menjadi tawa kecil. Stiker tersebut adalah sebuah pengingat bagi siapa pun yang hendak masuk ke dalam rumah tersebut untuk tidak melakukan tindakan yang tidak baik karena dia pasti terekam oleh CCTV tersebut. Di mana CCTV nya? Mungkin tersembunyi di beberapa sudut rumah.

Di rumah kita mungkin tidak ada CCTV, tetapi kalau ada anak-anak, maka mereka lebih canggih daripada CCTV—bahkan yang lebih mutakhir sekalipun. Kenapa begitu? Karena anak-anak tidak hanya merekam setiap perilaku, tetapi mereka meniru apa yang sudah mereka rekam. Siapa yang mereka rekam? Tentu saja orang-orang yang ada bersama mereka di rumah. Menjalani panggilan sebagai stay-at-home mom selama empat tahun ini membuat saya semakin disadarkan akan satu hal; menjadi seorang ibu, bukan hanya berarti mengandung, melahirkan dan memelihara anak-anak secara jasmani, tetapi juga dalam hal memberi teladan iman. Tentu saja hal ini bukanlah hal yang mudah. Tantangan demi tantangan hadir setiap harinya, namun selalu ada anugrah Tuhan baik dalam bentuk pengampunan ataupun keberhasilan.

Tantangan pertama dalam hal ini adalah kita tidak memberikan teladan lewat perkataan saja. Kita cenderung memang mengajar anak-anak dengan kata-kata, namun itu saja tidak cukup. Pengajaran lewat kata-kata akan lebih efektif apabila diteguhkan dengan perilaku kita yang menghidupi apa yang kita ajarkan. Ijinkan saya berbagi satu pengalaman ini. Salah satu nilai dalam keluarga kami adalah “respect” salah satunya adalah tidak teriak-teriak bahkan saat marah. Suatu hari saya terkejut benar mendengar anak perempuan kecil saya marah dengan gaya berteriak-teriak. Saya hampir saja menegurnya, tapi tiba-tiba saya teringat gaya marah saya sendiri. “Ah, percuma” dalam hati saya berkata pada diri sendiri. Percuma saya koreksi perilakunya itu kalau saya tidak berhenti marah dengan berteriak.

Tantangan pertama  tersebut sangat erat hubungannya dengan tantangan kedua yaitu sebuah kenyataan bahwa kita, para ibu, adalah manusia biasa. Banyak sekali buku-buku, parenting tips, reels, dan artikel-artikel yang membahas bagaimana menjadi seorang ibu yang baik. Pada kenyataannya, saat ujian datang di rumah, seolah semua ilmu itu sirna. Kegagalan kita memberikan teladan yang baik bagi anak-anak kita seringkali membuat kita frustasi. Saya masih ingat bagaimana saya bergumul mengontrol emosi saya yang seringkali meledak tak terkendali. Yang membuat saya sedih adalah bukan hanya emosi yang tidak terkendali, tetapi juga mulut saya ini jadi mengatakan kata-kata yang jahat kepada anak saya. Padahal saya sudah tahu hal itu akan melukai perasaan anak saya, dan itu adalah dosa. Saya teringat akan apa yang Rasul Paulus katakan dalam suratnya kepada jemaat di Efesus:

Apabila kamu marah, janganlah kamu berbuat dosa.
(Efesus 4:26a)

Menyakiti hati anak-anak saya di dalam kemarahan yang tidak terkendali adalah jelas-jelas sebuah dosa. Bagaimana saya bisa menjadi teladan dalam hal kekudusan berkata-kata apabila saya sendiri tidak mengekang lidah saya ini saat sedang marah?

Ya, pertanyaan itu terus merema dalam pikiran saya. Itu baru soal berkata-kata yang baik, belum yang lain lagi. Saya teringat bagaimana Daud pun menderita karena merasa bersalah sebab telah berbuat dosa.

Aku mengakui dosa-dosaku; hatiku cemas memikirkan kesalahanku.
(Mazmur 38:19 BIS)

Sebuah kecemasan dari perasaan bersalah karena telah melakukan yang tidak benar terhadap anak-anak saya tidak dapat dihindari. Alih-alih menjadi teladan, yang ada saya malah memberi contoh yang tidak baik bagi mereka.

Namun, Tuhan itu baik, dan Dia selalu baik. Dia tidak hanya sekedar menuntut kita untuk menjadi kudus tapi Dia juga menuntun kita. Dalam pengalaman saya, Tuhan menuntun saya lewat anak-anak saya. Menjadi teladan tidak melulu bicara soal yang lebih baik menjadi contoh kepada yang kurang baik. Kita dan anak-anak adalah sama-sama orang berdosa dan kita tidak perlu malu mengakui bagaimana kita pun juga bergumul dengan diri kita sendiri. Kembali ke kisah saya dan pergumulan saya dengan emosi saya, saya mengambil waktu bicara dengan anak-anak. Saya menanyakan kepada mereka bagaimana perasaan mereka saat saya marahi seperti itu. Saya juga jelaskan apa yang membuat saya marah. Sudah pasti, kita tidak mungkin marah apabila tidak ada penyebabnya. Kemudian, saya minta tolong mereka untuk mengingatkan saya saat saya sedang lepas kontrol. Di lain waktu saya marah pada anak sulung saya, anak bungsu saya berkata, “Ma, suaranya kecilin dikit.” Tentu saja hal ini akan menolong saya apabila saya pun punya kerendahan hati mau ditegur. Di malam hari, kami biasanya akan evaluasi bagaimana hari itu kami lalui. Kami rayakan keberhasilan kecil. Saya ucapkan terima kasih kepada mereka karena sudah menolong saya mengontrol emosi saya.

Bagi saya, berjuang bersama seperti ini cukup melegakan. Anak-anak juga jadi tahu bahwa ibunya ini bukan malaikat yang sempurna, melainkan juga manusia yang bergumul dalam keterbatasannya. Dengan demikian mereka akan merasa tidak sendiri saat mereka gagal karena toh ibu mereka juga mengalaminya. Selalu ada pengampunan Tuhan bagi kita, dan itulah hal bagian termanis dalam setiap perjuangan kita memberikan teladan bagi  anak-anak kita. Ketika kita gagal satu kali, maka Tuhan akan memberikan kesempatan lain supaya kita dapat melakukannya lagi, dan kali ini harus lebih baik.

Pearlians, slogan “Smile, you are on camera” tidak berlaku saat kita berhadapan dengan para “CCTV” di rumah. Kita boleh terlihat sedang kesusahan berjuang bahkan menangis di depan mereka. Panggilan kita untuk menjadi teladan bagi anak-anak yang Tuhan anugerahkan buat kita bukanlah sebuah tuntutan menjadi orang tua yang sempurna. Anak-anak perlu tahu bahwa kita adalah manusia biasa yang juga berjuang menjaga kekudusan kita. Berjuang bersama lebih menyenangkan daripada berjuang sendirian. Apapun pergumulan kita dalam memberi teladan bagi anak-anak kita adalah sebuah kesempatan bagi anak-anak juga meneladani bagaimana berjuang hidup berkenan kepada Tuhan. Selamat menjadi teladan dalam kekudusan bagi anak-anak.

Previous
Previous

A Tough Journey, yet Precious for the Future

Next
Next

Holiness in Parenting