Benih Yang Mati Untuk Menumbuhkan Yang Lain

by Tabita Davinia Utomo 

Apa yang terlintas di benak Pearlians ketika mendengar berita tentang penganiayaan terhadap orang Kristen, baik yang ada di Indonesia maupun di negara-negara lain? Rasa kasihan, kemarahan atas ketidakadilan, atau mempertanyakan keberadaan Tuhan ketika umat-Nya sedang menderita?

“Kalau Tuhan memang ada, kenapa masih ada orang yang tega menganiaya umat-Nya sendiri?”

“Apa salahnya orang Kristen, sampai ada aja yang melarang mereka ibadah?”

“Bukannya Tuhan mahaadil? Kalau iya, kenapa sampai ada yang mati karena imannya?”

Saya teringat ada dosen yang pernah berkata, “Justru kalau dunia ini apa-apa baik, berarti kita harus mempertanyakan, dong. Kan, dunia ini udah jatuh ke dalam dosa. Kalau semuanya baik, umat Tuhan nggak kenapa-napa (baca: menderita), itu gimana coba?”

Kalau dipikir-pikir, benar juga, sih… Apalagi Tuhan Yesus sendiri sudah mengingatkan sejak awal bahwa para pengikut-Nya (bukan hanya Kristen KTP) akan menderita karena iman mereka pada-Nya. Misalnya saja di Matius 10:16-33, yang mengungkapkan bahwa orang percaya akan dibenci oleh keluarganya sendiri, diperhadapkan pada para penguasa, bahkan kehilangan nyawa. Namun, kita juga harus melihat konteks penulisan Injil Matius ini, yang memang disusun pada masa-masa penganiayaan orang percaya oleh orang Romawi. Meskipun ditujukan bagi orang Kristen yang berlatar belakang Yudaisme, pesan serupa masih bisa relate dengan apa yang kita sering dengar dari saudara-saudari seiman yang menderita. Sebagai contoh, orang-orang di Korea Utara harus melakukan ibadah secara sembunyi-sembunyi (underground churches) karena pemerintahan yang melarang segala bentuk penyembahan selain pada sang presiden; jika tidak, maka mereka akan dipenjarakan bahkan dihukum mati.[1] Ada juga keluarga dari Gladys Staines, seorang misionaris, yang dibakar hidup-hidup karena memberitakan Injil di India.[2]

Eh, jangankan di luar negeri, di Indonesia sendiri masih banyak orang yang juga dikucilkan (dan di-bully, bagi siswa maupun mahasiswa) karena iman pada Tuhan Yesus. Saya ingat ada seorang teman yang mengalami bullying oleh gurunya ketika masih bersekolah karena berpindah keyakinan. Saat itu, dia “diajak” berdebat mengenai alasan dirinya memilih menjadi orang Kristen, dan dipanggil sebagai “orang kafir”. Uniknya, pengalaman itu membuatnya merasa bahwa apa yang dia yakini memang benar, sekalipun itu artinya dia, mama, dan adiknya harus dikucilkan oleh keluarga besar mereka. Bukan hanya berdasarkan kisah teman saya, Open Doors juga mencatat Indonesia sebagai satu dari 50 negara dengan angka penganiayaan yang cukup tinggi di dunia.[3] Kita bisa mengingat peristiwa bom bunuh diri di beberapa gereja di Surabaya pada tahun 2018, dan di Makassar pada tahun ini.[4],[5] Tidak sedikit orang yang terluka, bahkan ada nyawa yang melayang, kan?

Apakah itu artinya kehadiran orang percaya hanya untuk mati di tangan orang lain?

Jawabannya adalah tidak.

Nyawa-nyawa yang melayang itu justru bisa menjadi benih yang menumbuhkan, meskipun yang bersangkutan sudah tidak lagi bersama orang-orang yang mengasihi mereka. Mungkin bukan sekarang, tetapi suatu saat nanti. Bisa saja ada perubahan yang terjadi tetapi bukan pada para oknum—atau “rekan-rekannya” yang seharusnya bertanggung jawab, melainkan justru pada orang-orang yang ditinggalkan (entah itu keluarga, teman, maupun jemaat). Tidak jarang orang yang sedang berduka membutuhkan support untuk bisa bangkit dan kembali melanjutkan hidup, dan setidaknya inilah yang menjadi pergumulan orang percaya yang mengalami penganiayaan—apalagi jika ada orang-orang yang mereka kasihi yang tewas karena iman mereka. Ini bukan waktunya bagi kita untuk berpikir, “Ah, ternyata kita beruntung, ya, bisa beribadah dengan leluasa..” Oke, pernyataan barusan tidak sepenuhnya salah, tetapi jangan sampai “kebebasan” ini kita sia-siakan dengan hanya mengasihani diri sendiri atau membandingkan nasib orang lain. Let’s hug the persecueted brothers and sisters in our prayers, Pearlians. Meskipun belum pernah bertemu dengan mereka secara langsung, kiranya doa dan dukungan lain (seperti dana maupun daya) yang kita berikan bisa menunjukkan kehadiran Tuhan dalam situasi sulit yang sedang mereka alami. Bukankah ini cara yang juga bisa kita lakukan untuk mengasihi Allah, yaitu dengan mengasihi sesama kita?

Kepada Pearlians yang sedang bergumul dengan iman dan “serangan-serangan” yang dihadapi, kalian tidak sendirian. Kiranya kasih karunia Allah selalu menopang Pearlians sekalipun ada kalanya kehadiran-Nya sulit untuk disadari… Kami pun belajar dari kalian yang tetap mempertahankan iman kepada Tuhan Yesus, dan kami berdoa agar sama seperti Paulus, kita dapat “mengakhiri pertandingan dengan baik, mencapai garis akhir dan memelihara iman.” (2 Timotius 4:7). 

By the way, saya merekomendasikan Pearlians untuk menyimak Sabina: Tortured for Christ, The Nazi Years dari The Voice of the Martyrs yang akan tayang pada 8-10 November ini. Kalaupun belum bisa mengaksesnya, Pearlians bisa membaca buku-buku yang mengisahkan perjuangan iman saudara-saudari seiman kita seperti Hanya Ada Satu Tuhan, I am N, dan sebagainya. Hopefully, sumber-sumber seperti ini bisa menguatkan kita untuk memelihara iman kita hingga akhir.

[1] https://www.christianitytoday.com/news/2020/december/north-korea-persecution-christians-human-rights-report-kfi.html

[2] http://edition.cnn.com/WORLD/asiapcf/9901/23/india.christian/index.html

[3] https://www.opendoorsuk.org/persecution/world-watch-list/indonesia/

[4] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44097913

[5] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56553477

Previous
Previous

Selfless Kindness

Next
Next

Memaknai Bahasa Kasih Bersama Gabrielle