Blog Majalah Pearl
Sambil meminum secangkir teh,
selamat membaca artikel-artikel kami!
Mungkinkah Menjadi Lajang Berkualitas dan Berbahagia?
"Aduh, lelah banget, nih, dengar pertanyaan yang gak berujung! Mulai dari pertanyaan:
'Kapan punya pacar?'
Kalau sudah punya pacar, pasti ditanya lagi:
'Kapan menikah?'
Lalu kalau sudah menikah, ada lagi pertanyaan-pertanyaan berikutnya:
'Kapan punya anak?'
'Kapan anaknya dikasih adik?'
'Ayo nambah lagi, kan belum ada yang laki-laki!'
Pokoknya gak ada habisnya, deh!"
Demikianlah curhatan salah satu teman kantor saya yang lelah dengan ekspektasi sosial atas dirinya. Ada yang mengalami hal yang sama?
Dipanggil untuk Berespons, Bukan (hanya) Menonton
“Aku pengen ke gereja kenapa ga dibolehin, sih!?”
Pertanyaan itu pernah terbesit ketika saya masih berusia remaja (sedang aktif-aktifnya, Bun!) Setidaknya ada dua kali saya bertanya demikian yaitu saat ada family gathering di salah satu pantai di Semarang (kalau tidak salah) bersama rekan-rekan dosen Papa saya dan ketika liburan bersama keluarga besar di Magelang. Sebenarnya kedua tempat itu menyenangkan kalau saya menikmatinya. Namun, pertanyaan itu menggelisahkan saya karena liburan tersebut diadakan pada hari Minggu—yang berarti saya tidak bisa ke gereja. Padahal kedua orang tua saya adalah orang Kristen, tetapi (saat itu) saya berasumsi bahwa mereka tidak 100% mengasihi Tuhan karena tidak beribadah dan memilih berlibur. Sungguh idealis.
Oversharing di Sosmed, Bijakkah?
Tujuh tahun yang lalu, ketika saya mulai kuliah di jurusan psikologi, isu kesehatan mental masih belum dilihat sebagai hal yang penting di kalangan banyak orang. Bahkan, beberapa orang sempat mempertanyakan keputusan saya, “Kenapa ambil psikologi? Nanti ngurusin orang sakit jiwa, lho!”
Namun, saya bersyukur karena saat ini isu kesehatan mental sudah lebih “disambut” oleh masyarakat…
Hai, “Rubah Kecil”, Keluarlah dari Pagar Kami: Sebuah Cerita Pendek
“Fan, menurutmu wajar, nggak, sih, kalau aku ingin pelukan sama Kak Darryl?”
Fanny mengerutkan dahi ketika mendengar pertanyaanku barusan. “Memangnya ada yang berkomentar begitu, The?” dia balik bertanya.
“Hmmm… nggak yang seblak-blakan itu, sih. Tapi, aku merasa aneh aja kalau pelukan sama dia,” jawabku sambil mendesah dan menatap embun di gelas iced lemon tea-ku.
“Aneh gimana maksudnya? Ada perasaan nggak nyaman, canggung, atau malah rasa bersalah kalau misalnya kamu peluk dia?” Fanny bertanya lebih lanjut.
Mendengar pertanyaan Fanny, aku mengangguk dan membalas, “I guess all of them.”
“Ohh…” kali ini Fanny tersenyum. “Apa yang bikin kamu merasa kayak gitu?”
Sanctified For Living In The Truest Sanctuary
“Bagi saya, berada di rumah terasa seperti sedang diproses dalam ‘api penyucian’.” Kalimat tersebut diungkapkan oleh teman saya pada akhir 2020, ketika dia menceritakan pengalamannya selama di rumah—sejak pandemi Covid-19 mengharuskan kami untuk #belajardirumahaja/#belajardiasramaaja
Jadi Kudus itu (Nggak) Enak!
Kalau bicara tentang “hidup yang dikuduskan”, apa yang langsung terbayang di benakmu?
Harus hidup dengan pakaian serba tertutup dari atas sampai ke bawah?
Hanya mau mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu rohani?
Hanya mau bergaul dengan sesama orang Kristen?
Hanya memakan makanan yang “halal”?
Mungkin masih ada pikiran-pikiran lain yang bermunculan, sampai akhirnya ada satu pertanyaan yang—sebenarnya—ingin dihindari, tapi hati kita tidak bisa berbohong:
“Kok, rasanya jadi orang Kristen berat amat, ya?”
Benih Yang Mati Untuk Menumbuhkan Yang Lain
Apa yang terlintas di benak Pearlians ketika mendengar berita tentang penganiayaan terhadap orang Kristen, baik yang ada di Indonesia maupun di negara-negara lain? Rasa kasihan, kemarahan atas ketidakadilan, atau mempertanyakan keberadaan Tuhan ketika umat-Nya sedang menderita?
“Kalau Tuhan memang ada, kenapa masih ada orang yang tega menganiaya umat-Nya sendiri?”
Layak Dipertahankan Hingga Tetes Terakhir
“Apakah kebenaran ini (Injil) layak diperjuangkan sampai mati?”
Kalimat ini adalah bagian penutup dari buku Hanya Ada Satu Tuhan yang ditulis oleh Nabeel Qureshi, seorang apologis yang juga pernah melayani di Ravi Zacharias International Ministries—seorang yang berapologetika atau membela iman.
Not Simply Tell the Truth
Iya lho, coba aja lihat para martir. Mereka sampai kehilangan nyawa karena mempertahankan iman kepada satu-satunya Tuhan. Begitu juga dengan tokoh-tokoh reformasi gereja seperti Martin Luther dan John Calvin yang juga bergumul berat karena penolakan gereja atas gerakan back to the Bible yang mereka lakukan… Itu belum termasuk orang-orang yang “hilang” karena menentang pemerintah—entah yang ada di Indonesia maupun di luar negeri. Kalau cara halus (sampai harus ada sindiran elegan) saja tidak mempan, rasanya satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan membangkang. Eh, maksud saya membangkang terhadap peraturan atau hal-hal yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan.
Starting a New Day Without Fishing
“Kalau udah mengampuni, no more fishing.”
Ketika mendengarkan kalimat tersebut dari seorang dosen konseling, saya jadi bertanya pada diri sendiri. “Loh, bukannya kita punya memori? Tujuan Tuhan kasih memori kan, biar kita belajar. Lah ini gimana kalo nggak sengaja inget kenangan buruk di masa lalu?”
The Forgotten Ingredient for a Tasteless World
Pandemi Covid-19 ini sudah berlangsung lebih dari setengah tahun, tapi tampaknya dunia berubah dengan sangat drastis, ya? Semua orang sibuk untuk bertahan hidup, tetap sehat roh, jiwa dan tubuhnya. Kalau kita mau peka, di saat semua orang sibuk dengan hidup mereka, ada sesuatu yang bisa dipertanyakan:
Masihkah ada kasih di dunia yang hambar ini?
Ironi dari sebuah Pengajaran Agung
Pernahkah Pearlians merasa kesal saat melihat ada orang lain yang tidak memahami perintah yang baru saja diberikan? Misalnya saja ada anak, murid, atau karyawan kita yang justru melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang kita suruh. Hmmmm… rasanya gemas dan tidak habis pikir, ya? Bahkan mungkin kita jadi berpikir, “Aku salah apaaaa? Kok, mereka nggak ngerti-ngertiii. Hufttt… “
“TERHILANG? AKU? AH, YANG BENER AJA!”
Ketika masih kecil, setiap kali pergi ke sebuah tempat, saya suka sekali mencari tahu apa saja yang ada di sana. Ketika keluarga kami bepergian, Nenek bahkan pernah menyarankan agar Mama mengikat saya dengan semacam tali laso. Tentu saja agar saya tidak pergi sesukanya sendiri, meskipun waktu itu saya masih berusia 2,5 tahun.
Bagi saya, banyak hal yang ingin saya eksplor di tempat baru, tapi belum tentu orang tua saya mengijinkan atau mau menemani ke sana. Kalau begitu, bukankah pilihannya pergi diam-diam sendirian?
Tidak Dibiarkan-Nya Kehilangan Iman
Bulan lalu, kelas saya membahas tentang providencia ilahi (divine providence, atau pemeliharaan dan penyertaan Allah). Sebelum kelas selesai, saya sempat bertanya pada sang dosen, “Bagaimana jika ada orang percaya yang murtad? Apakah orang itu akan auto kehilangan providencia Allah?”
Yudas Iskariot: Ketika Ekspektasi Berujung Kecewa
Apa yang terlintas di benak Pearlians saat mendengar nama Yudas Iskariot?
Garam dan Terang Dunia
“Be the salt and light of the world!”
Mungkin kalimat di atas sering kita temukan sebagai quote yang beredar di media sosial—entah di status maupun isi dari posting-an. Sekilas tidak ada yang salah dengan ungkapan tersebut, bukan? Padahal kalau kita baca dengan lebih cermat, sebenarnya Yesus tidak sedang berkata, “Jadilah garam dan terang,” melainkan, “Kamu adalah garam dunia. Kamu adalah terang dunia”.
He Gave Us Stories
Sebagai mahasiswi konseling, saya (dan teman-teman) wajib menyelesaikan beberapa tugas book report. Salah satu buku yang dibaca adalah karya Richard L. Pratt, Jr. yang berjudul He Gave Us Stories. Meskipun isinya tentang cara menafsirkan Perjanjian Lama, namun saya menangkap sebuah kesimpulan manis yang ditekankan buku ini berulang kali…
One of Godly Mommy
Coba tebak, siapa saja para wanita di dalam Alkitab yang menjadi ibu? Hm, rasanya banyak banget ya. Ada Hawa, Sara, Rahel, Lea, Rahab, Delila, Ratu Syeba, Bernike, Klaudia, blablabla... tapi, coba kita persempit lingkarannya. Dari sekian banyak wanita yang menjadi ibu, berapa banyak wanita yang menjadi ibu yang mengajarkan tentang firman Tuhan kepada anak-anaknya?
Tetap Percaya Hingga Tetes Terakhir
bicara soal susu, ada seorang wanita yang menggunakan sebuah cairan—susu juga termasuk cairan, kan—yang dimilikinya hingga tetes terakhir, sebagai bentuk ketaatan imannya pada Tuhan. Namanya memang tidak tercantum di Alkitab, namun tindakannya menunjukkan bahwa dirinya tetap beriman pada Jehova Jireh, Allah yang menyediakan, meskipun sebenarnya dia bisa saja menanggalkan imannya saat itu juga. Well, can you guess who is this woman?
Berani Karena Benar
Alkitab adalah bukti nyata bahwa Allah tidak mendiskriminasikan wanita dalam karya keselamatan-Nya bagi manusia. Salah satu contohnya adalah tentang wanita yang dimaksud dalam puisi di atas. Iya, dia yang disebut sebagai perempuan sundal (alias pelacur) itu—walaupun di terjemahan lain disebutkan sebagai pemilik penginapan.