Selfless Kindness

by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan: Matius 5:38-48

Pada suatu hari, seorang teman curhat di media sosial tentang bagaimana dia telah berbuat baik kepada banyak orang; bukannya dihargai, malahan orang-orang yang menerima kebaikannya ngelunjak dan ingin memanfaatkan kebaikannya. Saat diingatkan bahwa dia pernah melakukan kebaikan bagi orang itu, eh malah dapat tuduhan kalau dia mengingatnya berarti dia tidak tulus. Nah, bagaimana menghadapi mereka yang seperti ini, dia bertanya. Bagaimana supaya orang lain tahu kita tulus dalam berbuat baik?

Aneka komentar seperti ini muncul:

Ya sudah, jangan lagi bergaul dengan orang seperti itu. Dia gak layak menerima kebaikanmu.

Berarti orang yang kamu tolong itu bukan teman sebenarnya.

Orang yang pandai bersyukur gak perlu diingatkan, abaikan saja orang seperti itu.

Yang menabur pasti menuai, dan menaburnya di sini bisa jadi menuainya di sana.

Banyak di antaranya menyarankan gak perlu menolong orang yang gak perlu ditolong. Tidak perlu berbuat baik kepada orang yang jahat kepada kita. Sejujurnya, saat ini banyak sekali memang orang-orang mau memanfaatkan kebaikan orang lain. Namun sebagai anak Tuhan, bagaimana seharusnya sikap kita? Apakah kita harus tetap berbuat baik kepada orang yang tidak bisa menghargainya?

 

Matius 5:38-48 dengan jelas berbicara tentang bagaimana hubungan kita dengan sesama, terutama bagaimana bersikap kepada mereka:

1.  Tidak membalas kejahatan (ayat 38-40)

Sangat mudah berbuat baik kepada mereka yang berbuat baik kepada kita. Banyak orang berprinsip, “Kalau dia baik kepadaku, maka aku akan lebih baik lagi, begitu pula sebaiknya.” Namun, Tuhan tidak ingin kita melakukan demikian. Kebaikan yang kita lakukan bukan bergantung sikap orang lain kepada kita; kita berbuat baik karena Tuhan ingin kita berbuat baik. Bukan karena membalas dan bukan karena ingin menerima balasan.

2. Berbuat baik melebihi apa yang diharapkan orang lain (ayat 41-42)

Tuhan ingin kita berbuat baik sesuai kemampuan kita, bukan melakukan yang tidak mampu kita lakukan, dan bukan pula memberi apa yang tidak kita miliki. Tindakan ini menuntut kepekaan kita dalam merespons kebutuhan orang lain, bukan sekedar keinginan mereka.

3. Jangan menolak orang yang memerlukan bantuan kita

Hah? Serius? Gak boleh nolak, nih? Tentunya di ayat lain dijelaskan kalau kita berbuat baik kepada mereka yang memerlukan bantuan kita, bukan yang sekedar ingin dibantu. Tuhan tentunya memberikan hikmat kepada kita untuk memutuskan orang ini benar-benar memerlukan bantuan atau tidak. Contohnya seorang teman kredit mobil tanpa berhitung kemampuan keuangannya hanya karena gaya (dia tidak membutuhkan mobil sebenarnya). Lalu setiap bulan dia pinjam kesana-sini untuk membayar kreditannya. Apakah kita wajib membantu dia? Tentu saja tidak. Dia mengambil keputusan yang salah dan bantuan kita tidak akan menolongnya. Tiap bulan dia akan makin terjerat dalam hutang karena tidak bisa membedakan keinginan dan kebutuhan. 

4. Berbuat baik kepada mereka yang tidak berbuat baik kepada kita (ayat 44-47)

Yah, apa, sih, yang bisa kita harapkan dari orang lain? Ada kalanya mereka akan mengecewakan kita, begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, kita akan diperhadapkan dengan pertanyaan, “Sampai sejauh apa aku akan berbuat baik, dan dengan kekuatan siapa aku melakukannya?” Kalau berbuat baik dengan kekuatan diri sendiri, percayalah… cepat atau lambat kita akan merasa lelah ketika kebaikan itu justru dibalas dengan kejahatan. Namun, apakah dengan bersandar pada kekuatan Allah, kita akan menemukan sukacita yang sejati? Ya, walaupun perjalanannya tidak mudah, setidaknya kita bisa mulai melihat orang lain dari kacamata-Nya: pribadi yang berdosa—sama seperti kita—yang juga dikasihi oleh Allah, dan Dia mau agar kita mengasihinya dengan cara-Nya. Lagipula, jika hanya berbuat baik hanya kepada mereka yang juga melakukannya pada kita, apa yang membedakan kita dari orang yang tidak percaya kepada Allah?

5. Memberi seperti Allah memberi (ayat 48)

Bagaimana Allah memberi? Dia memberi yang terbaik, bukannya yang hanya diinginkan orang lain. Ada totalitas di dalam ketulusan yang Allah lakukan, dan inilah yang perlu kita ikuti. Meskipun ada kalanya kita akan mengalami kekecewaan ketika pemberian kita (bukan hanya barang, tetapi juga waktu, tenaga, pikiran, bahkan perasaan) diremehkan, mari kita tetap belajar untuk menunjukkan kasih Allah yang tidak bersyarat itu kepada mereka—yang bahkan bisa saja diluluhkan oleh kasih-Nya yang dihadirkan melalui kita.

 

Secara praktis, seorang teman pernah memberikan beberapa perenungan bagi saya seperti di bawah ini:

  1. Apa yang terjadi pada pikiran dan perasaan orang lain, di luar area kendali kita. Maka, menginginkan agar orang lain berpikir dan berperasaan seperti cara kita berpikir dan berperasaan adalah hal yang sulit terwujud. Jika kita mempertahankan keinginan tersebut, maka keinginan itulah yang menjadi masalah, bukan kelakuan orang yang tidak menghargai kebaikan kita. Lepaskan keinginan dihargai saat melakukan kebaikan. Lakukan kebaikan karena Tuhan telah melimpahi kita dengan kebaikan-Nya.

  2. Orang justru akan semakin melihat kita tidak tulus ketika di dalam diri kita ada keinginan untuk terlihat tulus. Saat berbuat baik kepada orang lain, lupakan, anggaplah itu hal yang seharusnya kita lakukan. Mungkin kita menolong orang dan dilupakan, tetapi bisa saja orang yang tak pernah kita tolong justru yang menolong kita. Terkadang kita menuai bukan di tempat kita menanam.

  3. Orang lain bisa saja salah memahami diri kita, tetapi bahwa kita tidak salah paham dengan diri kita sendiri adalah hal yang terpenting. Saya pernah menolak orang yang meminta pertolongan karena saya tahu dia berkali-kali berbohong, dan orang lain beranggapan saya jahat karena hal tersebut. Namun saya tahu apa yang saya lakukan, jadi saya tidak peduli dan tidak perlu menjelaskan ke banyak orang untuk membenarkan apa yang saya lakukan. Sepanjang saya paham mengapa saya melakukan sesuatu, woles (baca: santai) saja. Toh Tuhan yang tahu apa yang jadi isi hati manusia, kan?

  4. Jika kita menolong seseorang dan orang tersebut merespons pertolongan tersebut dengan cara yang tidak semestinya (misalnya berulang kali meminta pertolongan dan memanfaatkan kebaikan kita, dan dia menjadi terlalu bergantung dan tidak mandiri), maka itu bisa jadi penanda bahwa kita perlu menelaah kembali cara kita mempertimbangkan siapa yang memang perlu ditolong atau yang sebenarnya tidak perlu ditolong.  Pakailah hikmat dari Tuhan sebelum menolong. Bukan mencari alasan untuk tidak menolong, tetapi bertanya pada Tuhan mengapa kita harus menolong orang ini.

  5. Baik juga untuk terus memastikan dari waktu ke waktu, bahwa perbuatan baik yang kita kerjakan (sebaiknya) TIDAK didasari oleh perasaan negatif. Misalnya, “Apakah saya berbuat baik pada orang lain karena saya mengerti bahwa fungsi diri saya di dunia ini memang untuk menyatakan kebaikan Tuhan, ataukah saya menolong orang lain karena saya KUATIR tidak punya teman/karena saya TAKUT tidak ada yang menolong saya ketika saya butuh? Kalau saya menolong orang lain, apakah itu karena saya tahu dia benar membutuhkan pertolongan atau karena saya TAKUT dianggap jahat karena tidak menolong?”

  6. Melihat 5 poin di atas, apakah kemudian perlu menyalahkan diri sendiri saat saya salah mengambil keputusan? TIDAK. Yang diperlukan adalah menyadari pola / cara mana yang perlu diubah.

 

Semoga ini menolong Pearlians dalam mengambil sikap saat ingin membantu orang lain.

Tetaplah menebarkan kebaikan dengan berdasarkan pada Firman Tuhan, ya.

Previous
Previous

Pengampunan yang Memerdekakan

Next
Next

Benih Yang Mati Untuk Menumbuhkan Yang Lain