Healing yang Sejati
by Rebecca E. Laiya
Akhir-akhir ini, ada banyak istilah yang menjadi viral di media sosial karena istilah tersebut diikuti oleh para pengguna media sosial terutama di Indonesia. Salah satu istilah yang sedang viral hari ini adalah istilah healing. Apa, sih, arti healing itu?
Menurut kamus Inggris-Indonesia, kata healing artinya sembuh atau penyembuhan. Jika demikian, penyembuhan apa yang dibutuhkan oleh manusia modern pada hari ini? Menurut pengamatan saya, orang modern hari ini sudah sangat menyadari bahwa kesembuhan itu bukan melulu tentang kesembuhan fisik, melainkan juga dari sisi mental. Kita tidak boleh menganggap remeh masalah kesehatan mental, karena ada banyak kasus yang terjadi—entah kasus pembunuhan, bunuh diri, dan kasus-kasus lainnya yang disebabkan karena masalah kesehatan mental. Tidak mengherankan bila sakit fisik dapat dipengaruhi oleh gangguan mental, vice versa.
Pada umumnya, gangguan mental disebabkan karena trauma di masa lalu yang membuat manusia menekan atau meluapkan emosi secara membabi buta. Belum lagi kalau mereka juga menghadapi tekanan-tekanan hidup yang bisa menjadi trigger (pemicu) dari kenangan atas trauma masa lalu. Nah, itulah sebabnya healing yang dimaksud oleh para warganet adalah kesembuhan yang menyeluruh, baik dari aspek fisik maupun mental. Tujuannya agar mereka (dan kita) bisa meminimalkan kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan mental (termasuk mengurangi stres yang berlebihan). Hal menarik yang saya perhatikan adalah meskipun banyak orang tahu betapa pentingnya memiliki healing atau kesehatan mental dan juga healing yang menyeluruh, mereka tidak sepenuhnya memiliki pemahaman yang benar bagaimana meraih healing tersebut.
Biasanya, kata atau hashtag #healing diperkenalkan melalui foto-foto yang diunggah di media sosial yang memperlihatkan diri mereka liburan atau olahraga atau melakukan aktivitas lainya di suatu tempat yang indah dan menarik—bahkan mewah. Pertanyaannya, apakah dengan memperlihatkan gambar-gambar tersebut orang-orang tersebut sudah mengalami kesembuhan? Belum tentu. Kalau pun merasa lebih fresh, freshness yang dirasakan bukanlah kesembuhan yang sesungguhnya.
Daud pernah berseru sendirian dan mengatakan, “Mengapa kamu tertekan, hai jiwaku, dan mengapa kamu gelisah? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi untuk-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mzm. 43:5). Pada peristiwa ini, saya percaya Daud sedang gelisah sedang mengalami masalah pada kesehatan mentalnya. Cara Daud meraih healing bukan dengan jalan-jalan atau berlibur. Namun ada dua cara yang ia lakukan yaitu (1) Daud menenangkan dirinya sendiri, dengan menyemangati dirinya sendiri dan mengatakan, “Mengapa kamu tertekan, hai jiwaku, dan mengapa kamu gelisah?” serta (2) Daud mengarahkan dirinya kepada Allah dan bersyukur akan pertolongan Tuhan Allah kepadanya: “Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi untuk-Nya, penolongku dan Allahku!”
Ketika perasaan tertekan dan gelisah melandanya, Daud tidak ingin mendapatkan healing dari yang lain, tetapi hanya kepada Tuhanlah ia berharap. Ya, hanya dalam Tuhanlah kita dapat meraih healing yang sejati. Kita tidak akan melarikan diri dari masalah bila sudah merasakan kasih-Nya secara nyata. Seperti yang dikatakan Daud pada Mazmur 23:1, “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku,” Tuhan menggembalakan kita yang mau berserah kepada-Nya. Masalah memang tidak selesai secara instan, tetapi di dalam pergumulan kita, ada pengenalan tentang Tuhan dan diri sendiri yang dianugerahkan-Nya, dan di sanalah kita disadarkan bahwa Tuhan benar-benar gembala yang baik.
Jadi, jelas istilah healing di media sosial tidak sama dengan healing yang sejati yang kita butuhkan. Healing yang sejati bukan hanya memamerkan foto-foto kita berlibur, berjalan-jalan atau berolahraga di sebuah tempat yang indah dan menarik. Ya, memang kita butuh berlibur, jalan-jalan atau berlibur, tetapi bukan berarti kalau kita telah melakukan aktivitas yang menyenangkan, kita akan mengalami kesembuhan secara menyeluruh (bahasa kerennya “holistik”). Healing membutuhkan waktu, healing juga membutuhkan teknik pendekatan yang baik, contohnya dengan mencari pertolongan melalui konseling, belajar menerima setiap pikiran dan perasaan yang muncul dari self-talk, dan (tentunya) menjadikan Tuhan sebagai sumber kekuatan dan Sang Penyembuh.
Jangan terkecoh pada kata healing yang beredar di media sosial. Kebanyakan orang hari ini lebih memilih menyembuhkan diri sendiri dengan cara mengandalkan diri sendiri, padahal satu-satunya penyembuh kita adalah Yesus Kristus.