Empat Kunci untuk Berhenti Menghanyutkan Diri dari Media Sosial

by Aprilianna Gea

 Adakah dari Pearlians yang suka lupa waktu ketika memakai media sosial? Jika ya, Pearlians tidak sendirian karena saya juga mengalaminya. Hehehe… Secara pribadi, saya bukan kecanduan gadget, sih… Saya tetap akan berhenti dan memberi waktu penuh pada pekerjaan lainnya. Namun, saat media sosial menampilkan quotes yang nampol, perhatian saya jadi sangat mudah teralihkan. Rasanya gatel kalau nggak scrolling, nggak update sesuatu, nggak kasih respons atau say hi di media sosial. Hayo, ada yang begini juga, nggak? :P Dengan background seperti inilah saya mendapatkan tema tulisan di website Majalah Pearl mengenai “menjaga kekudusan dalam pemakaian media sosial”. Pertanyaannya adalah, “Apakah saya bisa melakukan apa yang saya katakan?”

Setelah merenungkan makna dari tema tersebut, akhirnya saya menemukan setidaknya tiga poin yang perlu kita—para pemakai media sosial—perhatikan:

1. Holiness is holistically important

Kekudusan berasal dari kata dasar “kudus”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekudusan adalah kata benda yang menunjukkan kebersihan hati, bebas dari cela. Nah, Alkitab juga memandang kekudusan sebagai sifat atau karakter Allah yang paling menonjol. Hal ini diekspresikan dalam Wahyu 4:8:

“Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.”

Pearlians, kekudusan itu penting sekali bagi Allah. Jika kita ingin melihat dan mengalami kehadiran Tuhan, maka syarat mutlaknya adalah hidup dalam kekudusan (baca Ibrani 12:14).

Pada kenyataannya, hidup kudus itu tidaklah mudah. Ada banyak hal yang mencoba menarik kita menjauh dari Allah. Contoh terdekatnya adalah scrolling media sosial secara berlebihan yang dapat mendorong kita berespons secara negatif. Kita semua tahu bahwa di zaman kita ini teknologi berkembang paling pesat. Jika di masa kini teknologi sudah secanggih seperti sekarang, bayangkan 5-10 tahun kedepan, betapa canggihnya dunia digital. Semua hal bisa diakses dengan cepat. Di satu sisi, kita bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk hal-hal baik dan benar. Namun, di sisi lain, kemajuan teknologi juga dapat disalahgunakan oleh beberapa pihak, sehingga tidak tepat guna. Nah, kita di bagian mana sekarang? Pihak yang menggunakan kemajuan teknologi untuk hal yang benar atau sebaliknya?

2. Beware from your own “boomerang”

Salah satu cara untuk menerapkan prinsip kekudusan hidup ini adalah mewaspadai penggunaan media sosial kita. Iya, kecanggihan teknologi yang satu ini terkesan memang “hanya” untuk have fun, tetapi tidak semua aktivitas di dalamnya membangun, kan? Scrolling sesekali memang tidak apa-apa, misalnya untuk mencari inspirasi resep masakan atau penataan ruangan kita. Mencari hiburan juga tidak ada salahnya. Update post atau story mengenai tempat rekreasi yang kita kunjungi juga diperbolehkan (siapa tahu bisa jadi rekomendasi bagi keluarga dan teman hehe). Namun, sudahkah kita sadar berapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk kegiatan yang otomatis scrolling dan updating ini? Paulus pun telah memperingatkan kita di dalam 1 Korintus 10:23:

““Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.”

Memang, menggunakan media sosial (misalnya Instagram, seperti yang saya gunakan sehari-hari) sangat menyenangkan dan menghibur. Akhir-akhir ini saua suka sekali dengan fitur reels. Mengapa? Karena saya bisa menampilkan lagu-lagu favorit yang menjadi backsound dari berbagai foto yang akan di-upload. Nah, untuk mengerjakan itu saja membutuhkan waktu sekitar 10 menit, 30 menit, sampai tiba-tiba kebablasan menjadi satu jam. Jika terus-menerus seperti itu, pekerjaan lain terbengkalai karena perhatian kita teralihkan oleh media sosial.

 3. See yourself as God, The Soul Keeper, sees you

Bagi sebagian kita (atau bahkan semuanya), ada perasaan senang ketika teman-teman kita (followers) mengapresiasi postingan kita dengan like dan komentar positif. Tindakan tersebut memberikan afirmasi positif di dalam diri seseorang untuk mengerjakan lebih baik lagi di postingan berikutnya. Gampangnya, kita terdorong untuk melakukan hal serupa lebih baik berikutnya. Di satu sisi, afirmasi positif dalam diri seseorang itu bagus karena dia akan termotivasi untuk berbuat lebih baik. Namun di sisi lain, hal ini bisa menimbulkan pemujaan terhadap diri sendiri. Mencari kemuliaan diri melalui like sebanyak-banyaknya di media sosial. Jika tidak mendapatkannya, orang tersebut bisa merasa rendah diri dan seolah-olah tidak berarti. Padahal sebenarnya harga diri kita tidak bergantung pada like or dislike-nya orang-orang di sekitar kita. Dengan atau tanpa like dan komentar positif, kita tetap berharga. Sesungguhnya, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1 Samuel 16:7b).

4. God’s Word as Our Wisdom

Sebagai orang percaya, kita juga perlu mengingat bahwa setiap post kita dapat mencerminkan “Siapa” ATAU “apa” yang kita perkenalkan pada orang lain. Akankah mereka menemukan Tuhan yang juga mengasihi dan menerimanya bagaimana pun keadaannya? Jika kita saja belum mengalami kasih Tuhan secara sadar, kita akan kesulitan untuk membagikan afirmasi positif yang tulus kepada orang lain. Itulah sebabnya Tuhan memberikan Firman-Nya sebagai penuntun kita dalam mengenali dan menerima diri kita sendiri—sebelum melakukannya pada orang lain, seperti yang dituliskan Paulus dalam 2 Timotius 3:16-17:

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Patokan kebenaran kita adalah dari Firman Tuhan, dan hal yang sama juga dikatakan oleh Agustinus, “Semua kebenaran adalah kebenaran dari Allah.” (All truth is God’s truth) Iya, tidak ada kebenaran yang absolut di dunia ini selain yang berasal dari-Nya. Namun, Tuhan berkenan menitipkan kebenaran-Nya melalui berbagai hal—misalnya norma dan peraturan—agar kita tidak menembus “keluar pagar”. Maukah Pearlians juga menerima Firman Tuhan sebagai kebenaran dan membagikannya pada orang lain—termasuk melalui media sosial kita? (tentunya ini tidak berarti setiap saat kita hanya mem-post ayat Alkitab :P)

Sebagai orang percaya, menjaga kekudusan hidup itu sangat penting. Kita akan menjadi teladan bagi keluarga, pergaulan, maupun masyarakat di sekitar kita. Mungkin sedikit sekali dari kata-kata yang kita ucapkan (dan tuliskan) akan diingat. Namun, perlakuan kita terhadap sesama dapat menjadi warisan iman yang akan dikenang oleh generasi-generasi berikutnya. Teladan kekudusan hidup (khususnya melalui media sosial) dapat kita wariskan kepada mereka (ingat, ada rekam digital yang tidak semudah itu untuk dihapuskan). Melalui teladan tersebut, mereka akan lebih tertib dan tidak sembarangan menyampaikan ide atau gagasan mereka di ruang publik yang terbuka secara umum. Memang benar, ada kalanya kita harus berdiri dan angkat bicara, bahkan di ruang publik, jika hal itu memang penting. Namun, di waktu yang lain, kita juga diminta untuk duduk dan berdiam diri mendengarkan yang lain berbicara. Apa pun sikap dan tindakan kita di media sosial, mari kita mengingat bahwa Tuhan telah menguduskan kita untuk menghadirkan diri-Nya bagi dunia ini. Bukan tugas yang mudah, benar… tetapi anugerah-Nyalah yang memampukan kita.

Previous
Previous

Suara Para Anonim

Next
Next

Healing yang Sejati