Langit yang Baru & Bumi yang Baru
by Prita A. Karyadi
Selama hidup di dunia ini, kita pasti memiliki fokus-fokus tertentu dalam hidup kita. Ada yang sedang fokus dalam studi. Ada yang sedang fokus pada karir. Ada pula yang fokus pada keluarga dan fokus-fokus yang lainnya. Kadang-kadang, saking fokusnya kita pada sesuatu yang sedang kita kerjakan saat ini, kita lupa untuk memikirkan sesuatu yang “pasti” di dunia ini. Apa, ya, sesuatu yang “pasti” itu?
Menurutku, salah satu hal yang pasti di dunia ini adalah kematian.
Wah, serem banget, sih! Kok, mikirin kematian?
Iya, memang masih banyak orang yang menganggap hal tersebut tabu dan tidak perlu dipikirkan, padahal kematian itu adalah sebuah keniscayaan. Konsekuensi dari dosa adalah kematian jasmani dan rohani. Kematian rohani berarti keterpisahan dari Allah yang kudus. Kematian jasmani berarti tubuh fisik kita akan kembali menjadi debu. Cepat atau lambat, kita semua pasti akan menghadapi kematian.
Memikirkan kematian bukan berarti menggiring kita pada sebuah kengerian dan ketakutan. Kita memiliki Allah yang berbelas kasihan, yang tidak membiarkan umat-Nya berada dalam kematian kekal. Firman Tuhan dalam Yohanes 3:16 jelas mengatakan bahwa bila kita percaya kepada Tuhan Yesus, kita tidak akan binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal. Jadi, mengapa mesti memandang kematian itu sebagai sesuatu yang menakutkan? Justru sebaliknya, kepulangan kita bisa menjadi hal yang kita nanti-nantikan, lho!
Hah? Kok bisa dinanti-nantikan?
Iya, karena kita akan bertemu dengan Tuhan kita, yang sudah menjaga dan memberikan yang terbaik dalam hidup kita yaitu jaminan keselamatan kekal. Nah, agar kita tidak semakin takut dan merasa belum siap untuk dipanggil pulang, mari kita membaca firman Tuhan dari Yesaya 65:17-25 dan Wahyu 21:1-7, tetapi kita akan berfokus hanya pada beberapa ayat saja.
Yesaya 65:17-25 adalah nubuat yang disampaikan nabi Yesaya mengenai janji Allah atas langit yang baru dan bumi yang baru. Nubuat ini meramalkan Kerajaan Allah di bumi kelak. Ayat 19 tertulis demikian:
“Aku akan bersorak-sorak karena Yerusalem, dan bergirang karena umat-Ku; di dalamnya tidak akan kedengaran lagi bunyi tangisan dan bunyi erangpun tidak.”
Selain di dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru juga menegaskan hal senada seperti yang dicatat oleh Yohanes dalam penglihatannya, khususnya pada Wahyu 21:3-4:
“Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.”
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa yang menjadi sumber sukacita kita adalah kehadiran Allah yang diam bersama-sama dengan kita. Saat Allah yang kudus kembali berdiam bersama manusia, itu artinya kematian rohani telah dipatahkan. Inilah hidup yang kekal itu, ketika manusia dapat kembali berelasi secara intim dengan Allah tanpa penghalang dan dapat “mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yohanes 17:3).
Nah, keren banget gak, tuh! “Langit yang baru dan bumi yang baru” adalah kerajaan Allah yang telah mematahkan kematian akibat dosa. Tidak ada lagi ratap tangis dan dukacita, lho! Masalahnya, most of the time kita sulit untuk berharap akan kerajaan Allah yang datang kelak, melainkan terpaku pada diri kita sendiri. Sering kali fokus hidup kita adalah bagaimana caranya supaya semua kebutuhan bahkan keinginan kita terpenuhi dengan baik. Ketika fokus kita hanya tertuju pada kebutuhan dan keinginan pribadi, kita jadi suka nge-blank! Hah? Kok nge-blank? Iya, nge-blank! Jadi pengen dapet banyak, pengen sikut kanan sikut kiri untuk mendapatkan sesuatu, bahkan mungkin kita rela melakukan segala macam cara, termasuk yang negatif demi bisa mendapatkan yang “lebih”. Tak jarang sikap yang lebih keji juga mungkin kita lakukan, misalnya menjatuhkan orang lain atau menjelekkan orang lain sehingga mereka mendapatkan hal-hal yang buruk!
Waduh, jangan sampai kita nge-blank! Ada satu poin penting yang perlu kita lakukan yaitu mengubah fokus hidup kita, bukan lagi untuk “diri kita sendiri” melainkan untuk “Allah”. Surat Paulus kepada jemaat di Korintus menuliskan dengan sangat indah mengenai mengapa dan bagaimana kita dapat hidup berfokus pada Allah. 1 Korintus 15:35-58 menjelaskan tentang tubuh jasmani kita yang sekarang ini akan mengalami kematian dan kemudian dibangkitkan oleh Allah. Kita akan menerima tubuh sorgawi. Secara khusus, ayat 54 tertulis demikian:
“Dan sesudah yang dapat binasa ini (tubuh duniawi) mengenakan yang tidak dapat binasa (tubuh sorgawi) dan yang dapat mati ini (tubuh duniawi) mengenakan yang tidak dapat mati (tubuh sorgawi), maka akan genaplah Firman Tuhan yang tertulis: Maut telah ditelan dalam kemenangan.”
Dengan kata lain, kematian jasmani telah dipatahkan. Kehidupan kekal akan sungguh-sungguh kita terima dalam tubuh sorgawi.
Memusatkan hidup kepada diri sendiri berarti pandangan kita hanya mentok pada hidup di dunia sekarang saja, kita tidak mengharapkan adanya tubuh sorgawi. Jadi mengapa kita perlu memusatkan hidup kita kepada Allah? Karena Dialah satu-satunya pribadi yang dapat melepaskan kita dari sengat maut dan mengaruniakan kehidupan kekal. Dialah satu-satunya pribadi yang layak disembah dan diutamakan dalam segala hal karena Dia Allah. Dia telah merencanakan dari semula untuk memberikan “langit yang baru dan bumi yang baru” bagi umat yang dikasihi-Nya. Syukur kepada Allah yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita (ayat 57) Lalu bagaimana caranya untuk memusatkan hidup kita pada Kristus? Ayat 58 memberikan tuntunan yang sangat aplikatif yaitu “berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”
Ada dua hal yang perlu kita lakukan berdasarkan 1 Korintus 15:58.
1. Giat dalam pekerjaan Tuhan.
Apakah yang dimaksud dengan pekerjaan Tuhan?
Kita diberikan dua perintah yaitu mandat budaya dan mandat injili. Mandat budaya berarti kita diperintahkan untuk mengelola bumi beserta isinya, sebagai penerapannya kita dapat menjalankan profesi kita masing-masing di dalam takut akan Tuhan. Melalui pekerjaan profesional, kita memberkati sesama kita serta memelihara alam ciptaan Tuhan terjaga dengan baik. Mandat injili berarti kita diperintahkan untuk memberitakan kabar keselamatan, yaitu kabar sukacita bahwa Yesus adalah Tuhan yang menyelamatkan setiap manusia yang percaya kepadaNya dari hukuman atas dosa. Berita injil adalah berita yang membebaskan manusia dari kematian kekal. Memberitakan injil bukanlah tugas hamba Tuhan saja, melainkan tugas setiap orang yang percaya.
2. Miliki persekutuan dengan Tuhan.
Bersekutu dengan Tuhan artinya setiap hari firman Tuhan adalah makanan rohani yang tidak pernah kita lewatkan, doa adalah percakapan dengan Allah yang selalu kita lakukan dengan tekun, seperti hembusan nafas yang tidak pernah putus. Saat kita bersekutu dengan Tuhan, maka jerih lelah kita di dunia tidak akan sia-sia karena kita dipimpin dalam melakukan segala hal. Bila Kristus menjadi pusat hidup kita, maka kesilauan dunia ini akan menjadi tidak berarti.
Kalau fokus hidup kita ada di “langit” maka apapun yang kita lakukan, kita melakukannya untuk Tuhan. Bila kita melakukan segala sesuatu berfokus pada Allah, maka secara otomatis kita akan memiliki nilai-nilai moral yang tinggi. Kita akan bekerja untuk memberikan yang terbaik yang kita bisa. Kita akan mampu memiliki relasi yang baik dengan orang lain. Kita pasti mengusahakan diri untuk menjadi manusia yang baik. Tidak akan terpikirkan oleh kita untuk melakukan hal-hal yang negatif, karena dalam persekutuan kita dengan Tuhan, Roh Kudus akan selalu berbicara dalam hati nurani kita. Kita tidak akan berpikir untuk sikut kanan sikut kiri demi mendapatkan sesuatu. Kita juga tidak akan menjatuhkan atau menilai negatif orang lain. Roh Kudus akan memampukan kita untuk mengasihi lebih dalam lagi dan lagi kepada orang-orang yang kita jumpai.
Saat kita fokus pada perkara-perkara yang di atas, Allah tidak akan menelantarkan kita. Mungkin tidak selalu hal baik serta-merta akan menghampiri kita. Terkadang ada dukacita yang Tuhan izinkan terjadi untuk menginterupsi sukacita dan keberhasilan-keberhasilan kita. Hal ini semata-mata karena Allah ingin kita senantiasa bergantung pada-Nya dan mengingat Dia dalam segala kondisi. Hidup bagi Tuhan, bukan berarti memberikan jaminan bahwa seluruh kebutuhan kita akan terpenuhi atau pasti segala macam hal yang baik akan datang menghampiri hidup kita. Tidak. Bukan seperti itu, melainkan hidup bagi Tuhan pasti menerima tuntunan-Nya dan pertolongan dalam melewati lembah kekelaman. Orang yang hidup bagi Tuhan, masih mungkin kebutuhannya akan tubuh yang sehat tidak terpenuhi, atau kebutuhannya untuk memiliki pekerjaan tidak segera terpenuhi. Namun orang yang hidup bagi Tuhan, akan mendapatkan kekuatan untuk berjuang dalam doa dan usaha menantikan Tuhan menolong. Memusatkan hidup bagi Tuhan akan memberikan kita kelegaan saat melewati kesulitan hidup. Lega karena tahu akan ada langit yang baru dan bumi yang baru di mana tidak ada lagi ratap tangis atau dukacita. Lega karena penderitaan di dunia ini hanya sementara. Lega karena Yesus telah mati bagi kita dan memberikan jaminan hidup yang kekal. Lega karena kematian yang akan kita hadapi telah dipatahkan oleh darah Kristus sehingga Allah akan berdiam bersama dengan kita selamanya.