Masturbasi Dalam Pernikahan
by Yunie Sutanto (@agendaiburumahtangga)
“Kalau gue udah merit tapi masih suka masturbasi itu normal ga sih?”
“Kalau pasangan lagi di luar kota terus gue memuaskan diri dengan masturbasi itu salah ga? Daripada gue selingkuh gitu loh, kan mending begini”
Isu masturbasi ternyata tak hanya persoalan bagi kaum single. Masturbasi juga menjadi isu tersendiri di kalangan pasangan suami istri.
Bagaimana perasaan anda membaca dua kasus dari kehidupan nyata berikut:
Kasus 1:
Seorang istri menerima telepon jarak jauh dari suaminya yang sedang bertugas di luar kota. Sang suami mengakui betapa ia sangat merindukan istrinya. Hanya saja jarak memisahkan mereka. Sang suami pun melakukan masturbasi untuk menyalurkan kebutuhannya. Sang suami merasa gagal menahan diri. Bagaimana perasaan anda sebagai seorang istri?
Kasus 2:
Seorang istri terbangun tengah malam dan mendapati suaminya tidak berada di sebelahnya. Ia menemukan sang suami di ruang tamu ditemani sekotak tisu tengah bermasturbasi. Matanya tertuju pada layar laptop menyaksikan adegan syur dari film biru. Bagaimana perasaan anda sebagai istri di kasus kedua ini?
Dua kasus ini mungkin menimbulkan respon yang berbeda. Kasus pertama timbul karena rasa rindu pada pasangan, sedangkan kasus kedua timbul karena berimajinasi bebas entah mengenai siapa. Tak pernah ada yang tahu liarnya imajinasi seseorang bukan?
Lalu bagaimana dengan kasus ketiga seperti ini...
Kasus 3:
Seorang istri yang sering ditinggal suami dinas keluar negeri untuk durasi cukup lama merasa butuh belaian. Ia lantas meresponi chat nakal dari mantan pacarnya dahulu. Imajinasinya pun melayang mengingat masa lalu. Nostalgia dan cinta lama itu bersemi kembali di batinnya. Imajinasi nakal pun dilanjutkan masturbasi dengan membayangkan berhubungan intim dengan sang mantan. Tidak ada yang tahu. Aman. Semua hanya di alam pikirannya. Ini rahasia batin seorang istri yang sedang jablai. Toh hanya di pikirannya.
Masturbasi dalam pernikahan adalah perzinahan
Kasus ketiga mungkin tidak banyak yang tahu, tapi Tuhan kita Maha Tahu. Dalam Matius 5:28 Tuhan Yesus berkata: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Saat seorang suami membayangkan sedang mengingini perempuan yang bukan istrinya, ataukah seorang istri membayangkan sedang bersama pria lain, hal ini tidak berbeda dengan tindakan berzinah itu sendiri. Menjaga hati dengan segala kewaspadaan memang dimulai dari pikiran. Apa yang kita pilih untuk dipikirkan? Fantasi-fantasi seksual apa yang mengisi pikiran sehingga tindakan masturbasi itu wujud? Menjaga diri untuk memikirkan apa yang mulia dan berkenan kepada Tuhan menjadi cara untuk tidak jatuh dalam dosa fantasi seksual. Jika kita masih suka menonton tayangan porno dan membaca novel erotis, walaupun tahu hal itu akan membuat kita kesulitan menguasai pikiran, maka pilihan tontonan kita jelas tidak bijaksana.
Bukankah Amsal 24 ayat 9 berkata bahwa memikirkan kebodohan mendatangkan dosa? Pilihan di tangan kita. Apa yang hendak kita pikirkan? Apakah kita mengikuti nasihat Firman Tuhan, untuk konsisten memilih memikirkan semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji? Tekad untuk memikirkan semua itu akan membuat cara hidup kita berbeda. Martin Luther pernah berkata bahwa kita tak bisa menghalangi burung berterbangan di kepala kita, tetapi kita bisa menghentikannya bersarang di kepala kita. Pilihan di tangan kita. Menjaga hati dimulai dari selektif mengawasi pikiran kita.
Masturbasi menyingkirkan connectedness dalam pemenuhan hasrat seksual
Saat godaan masturbasi muncul, sadarilah bahwa ini adalah sebuah sinyal dari tubuh yang memberitahu bahwa kita sedang membutuhkan keterhubungan (connectedness). Tujuan Allah menciptakan hasrat seksual adalah agar manusia tidak sendiri, tetapi terhubung (connected) dengan pasangannya. Dalam Kejadian 2:18 versi ITB TUHAN Allah berfirman: ”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Lalu dalam Kejadian 4:1a dituliskan bahwa manusia itu bersetubuh (yada) dengan Hawa, isterinya dan mengandunglah perempuan itu. Kata Yada dalam bahasa Ibrani memiliki makna mengenal. Lewat hubungan seksual, suami dan istri saling mengenal secara intim dan eksklusif. Connectedness itu terpenuhi dalam tindakan bercinta. Bercinta tak semata sekedar pemuasan kebutuhan badani ataukah demi prokreasi. Bercinta adalah mengenal intim pasangan kita. Tak salah jika Mae West berujar bahwa“Sex is emotion in motion”. Masturbasi jelas tidak bisa menggantikan hubungan seksual dengan pasangan hidup kita.
Mengutip John White dalam buku Eros Defiled: Siapa pun yang pernah melakukan hubungan seksual dan masturbasi tahu bahwa ada dimensi pengalaman dalam hubungan seksual yang sama sekali tidak ada dalam masturbasi. Dimensi itu tidak dapat digantikan dengan masturbasi plus fantasi tentang seseorang,ataukah dengan berhubungan seks menggunakan boneka seks atau dengan menggunakan penis sintetis[1]. Tidak mungkin masturbasi bisa menggantikan dimensi hubungan seksual yang sebenarnya. Tidak ada connectedness yang wujud dalam masturbasi, sebab hanya dilakukan sendiri. You’re going solo, right? Impuls seksual tidak diciptakan untuk sarana pemuasan diri sendiri, tetapi sebagai cara untuk menunjukkan wujud kasih eros kepada pasangan hidup kita.
Jika masturbasi dilakukan sebagai pemenuh impuls semata, masturbasi tak ubahnya menjadi self-comforting strategy, yakni cara kabur sesaat dalam menghadapi tekanan hidup. Impuls butuh penyaluran. Titik. Salurkan. Selesai. Apakah naluri seks manusia harus turun serendah dan sesederhana itu? Tentunya tidak! Saat sedang konflik dengan pasangan misalnya dan hasrat itu muncul sebagai sinyal bahwa tubuh butuh connectedness, seharusnya kita meresponi dengan penyelesaian konflik dan pemulihan hubungan dengan pasangan. Namun, sebagai jalan pintas masturbasi dilakukan dan kebutuhan itu “seolah” sudah padam. Kita melanjutkan perang dingin dengan pasangan. Padahal kebutuhan akan connectedness itu masih ada, sebab konflik dengan pasangan belum dibereskan. Seringkali demikian, kita menjadikan masturbasi sebagai sarana self-comforting. Dalam Holy Sex, Dr Paul Vitz menyatakan bahwa sebagai self-comforting strategy, masturbasi hanya satu tingkat di atas mengisap jempol.[2] Bukankah kita sudah cukup dewasa untuk menghadapi masalah dan bukan malah lari dari masalah? Membuai diri dengan self-comforting strategy bukanlah cara bijak untuk menyelesaikan masalah.
Shmuley Boteach dalam Kosher Sex memakai analogi makanan, seperti rasa lapar yang menuntun seorang pria putus asa menuju makanan, demikian juga, pria atau wanita yang kelaparan akan kasih sayang satu sama lain akan saling mendekati satu sama lain, mengatasi setiap penghalang. Kebutuhan emosional sejati mengekspresikan dirinya dengan cara yang sangat fisik, di mana Anda hanya perlu berpegangan dan menunjukkan kasih sayang yang kuat kepada objek cinta Anda.[3] Kebutuhan seksual menjadi cara suami dan istri untuk selalu saling mengisi satu sama lain. Ibarat daya magnetis yang saling tarik menarik satu sama lain, kebutuhan akan connectedness ini menjaga kesatuan suami dan istri. Lewat pengalaman setubuh (baca: satu tubuh), suami dan istri tak hanya saling memuaskan dahaga seksual pasangannya, tetapi secara emosional dan batin pun saling mengisi.
Mematahkan ikatan dosa masturbasi
Hanya saja jika masturbasi sudah terlanjur menjadi pola melepas stres, maka tak semudah itu menghentikan kebiasaan ini. Ibarat terikat pada suatu kebiasaan buruk, perlu strategi dan tekad kuat untuk melepaskan diri. Sebab memang kita masih hidup di dalam tubuh daging dan berada di bawah kuasa dosa[4]. Secara sadar kita ingin melakukan yang benar, tetapi secara tak sadar kita malah melakukan yang salah. Karena bukan apa yang kita kehendaki yang kita perbuat, tetapi apa yang kita benci, itulah yang kita perbuat.[5] Meskipun sudah tahu masturbasi itu salah, kebiasaan melakukannya sulit dipatahkan. Ini sering dialami banyak anak Tuhan. Terlebih lagi hidup di era digital dimana suguhan tayangan seksual yang mendukung fantasi seks itu ada dimana-mana. Film, bacaan, berita terkini dan gaya busana zaman now tak jauh dari sensualitas dan seksualitas! Peperangan di pikiran untuk tidak terpapar konten berbau sensual dan seksual semakin sengit. Bagaimana kita menyikapinya? Jika kita tidak memiliki komunitas yang sama-sama komitmen untuk tinggal di dalam Firman Tuhan, akan sangat sulit berjuang dengan kekuatan sendiri.
Pembahasan terkait masturbasi selalu menimbulkan dua kutub yang pro dan kontra. Boleh atau tidak boleh? Dosa atau tidak? Jika Alkitab tidak menyebut dan membahas tentang masturbasi lantas apakah hal tersebut boleh dilakukan? Banyak isu-isu lain yang juga memunculkan pertanyaan serupa dalam sikap hidup sebagai anak Tuhan. Merokok, aborsi dan kontrasepsi pun menimbulkan pertanyaan “boleh” atau “tidak boleh”. Kembali kita harus berkaca kepada prinsip Firman Tuhan dan merenungkan kembali sehingga isu “boleh atau tidak boleh” ini. Sejatinya” boleh vs tidak boleh” tak lagi menjadi sebuah pertanyaan semata, tetapi menjadi sebuah pernyataan sikap hidup yang hendak diambil sesuai dengan nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan.
Kita tahu titik lemah setiap manusia itu beda-beda. Jika kita bisa bebas dari dosa masturbasi, bukan berarti kita lebih rohani dan lebih soleha dari saudara kita yang jatuh bangun di kubangan masturbasi. Jangan mengganggap diri kuat dan memandang orang lain rendah. Orang yang kuat menjaga diri di area ini bukan berarti lantas memandang rendah orang lain yang lemah. Firman Tuhan adalah cermin untuk diri sendiri dan bukan untuk menghakimi sesama.
Kembali pada ketiga kasus di paragraf awal tadi, bagaimana menyikapi pasangan yang jatuh dalam dosa masturbasi? Tidak menghakimi dan memandang rendah mereka meskipun tidak menyukai dosa yang diperbuat. We are all sinners, just in different areas. Kita perlu melihat kebutuhan connectedness yang merupakan akar masalahnya dengan kasih Allah. Tidak menutup kemungkinan kita yang saat ini kuat suatu hari bisa menjadi lemah di area seksualitas. Kiranya tujuan pernikahan seperti yang Tuhan mau itu terjadi dalam pernikahan kita. Semoga pernikahan menjadi wadah tempat kebutuhan mendapatkan connectedness itu terpenuhi. Connected to him (our husband) and Him (our Lord).
Bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertaham. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.
(Pengkhorbah 4:12 versi TB)
[1] John White, Eros Defiled: hal 43
[2] Gregory.K PopCak, Holy Sex halaman 312
[3] Shmuley Boteach, Kosher Sex halaman 89
[4] Roma 7:14 Sebab kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa
[5] Roma 7:15