Tuhan, Aku Mau Cerai!!! 

by Nurliana Afryanti

Sasa adalah seorang ibu dari dua anak. Dia segera mencari bantuan hukum gratis ketika dirinya menyadari bahwa suaminya sudah enggan membiayai terapi anak bungsu mereka yang memiliki gejala autisme. Keputusan untuk berpisah dia ambil bukan karena permasalahan ini saja. Suami Sasa juga pernah meninggalkan Sasa dan anak pertama mereka karena terpikat dengan wanita lain. Setelah Sasa menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, suaminya kembali mencari dia melalui media sosial anak pertama mereka. Dia meminta maaf dan meminta rujuk kembali sehingga mereka dianugerahi anak kedua. Sasa menceritakan kisahnya dengan mata berkaca-kaca saat kami bersama menunggu anak kami menjalani terapi untuk anak berkebutuhan khusus. Saya sedih mendengarkan kisahnya sekaligus sedikit menyesalkan keputusan yang dia telah ambil. 

Perceraian juga pernah terbersit dalam pikiran kami saat tahun-tahun pertama menjalani rumah tangga. Masa adaptasi sebagai pasangan suami istri baru, ditambah dengan peliknya aneka permasalahan rumah tangga terutama kondisi ekonomi yang ruwet, pernah membuat saya hampir menyerah. Kami jatuh bangun berjuang mempertahankan relasi kami dan terus berseru menghampiri tahta Allah, memohon belas kasihan-Nya. Hingga akhirnya Tuhan pertemukan kami dengan seorang gembala gereja.  

"... mendapat pertolongan kita pada waktunya" (Ibrani 4:16) 

Ayat inilah yang sangat menggambarkan keadaan kami pada saat pertemuan itu terjadi. 

Tidak semua pasutri yang memutuskan untuk berpisah, pasti sudah resmi bercerai. Ada beberapa dari mereka yang mengalami kendala atau tidak mau direpotkan dengan urusan surat menyurat serta sidang di pengadilan. Sehingga beberapa pasutri sudah tidak tinggal bersama lagi walaupun status mereka masih suami istri. Pasutri yang sudah tidak mau lagi menjalin hubungan suami istri biasanya pasrah dengan keadaan bahwa mereka tidak bisa lagi hidup bersama. 

 Banyak hal yang memicu terjadinya perceraian. Inilah beberapa alasan yang paling sering menjadi penyebab seseorang mengambil keputusan untuk bercerai. Mari kita perhatikan apa kata firman Tuhan mengenai hal ini: 

1. Perselingkuhan atau ketidaksetiaan pasangan. 

Banyak pria mudah jatuh kala menghadapi pencobaan karena melihat keindahan wanita. Kita sebagai seorang istri akan merasa sangat berat untuk mempertahankan pernikahan jika sudah mengalami pengkhianatan seperti ini. Apalagi dalam Matius 5:32 Yesus berkata bahwa “setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan istrinya berzinah.” Ayat ini seringkali dipakai menjadi pembenaran oleh seseorang yang memutuskan untuk bercerai saat pasangannya berselingkuh.  

Kita harus menggumuli dengan serius setiap ayat firman Tuhan sesuai konteksnya dan menyandingkannya dengan keseluruhan firman Tuhan dalam alkitab secara utuh. Paulus membahas perihal perkawinan dalam 1 Korintus 7:10-11  

“Kepada orang-orang yang telah kawin aku--tidak, bukan aku, tetapi Tuhan--perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.” 

Konsekuesi bagi perempuan yang bercerai, hanya memiliki dua pilihan yaitu hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Perceraian adalah pemberontakan terhadap perintah Allah, karena telah sedemikan gamblang dalam ayat di atas Tuhan memerintahkan supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. 

2. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). 

KDRT terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional dan kekerasan finansial (ekonomi). Pelaku KDRT bukan hanya suami, kadang-kadang istri juga melakukan KDRT tanpa disadari misalnya saat sang istri terlalu menekan serta berkata-kata kasar atau menghina suaminya saat bertengkar. Istri yang memiliki penghasilan lebih besar atau menjadi tulang punggung keluarga kadang bersifat dominan dan sulit untuk menghormati suami. Laki-laki yang malas bekerja dan tidak mau menafkahi istri adalah contoh bentuk kekerasan finansial. Sedangkan pemaksaan untuk berhubungan seks saat pasangan sedang tidak menginginkannya merupakan kekerasan seksual. KDRT bersifat progresif, sehingga akan semakin melukai dan membahayakan pasangan apabila tidak diatasi. 

Meski bukan menjadi persentase tertinggi dalam empat faktor terbesar penyebab perceraian di Pengadilan Agama, KDRT adalah alasan yang sangat kuat bagi seseorang untuk mengajukan perceraian. Kita tahu bahwa Tuhan membenci perceraian (Maleakhi 2:16). Dia adalah Allah yang setia dan Dia menghendaki kita juga setia. Namun jika sampai terjadi KDRT yang mungkin membahayakan nyawa seseorang, apakah kita tetap akan mempertahankan pernikahan tersebut? Kekerasan terhadap manusia apapun bentuknya adalah penghinaan terhadap harkat dan martabat manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Layakkah pernikahan yang abusif terus dipertahankan dan diperjuangkan? 

Perintah Tuhan untuk mempertahankan pernikahan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mempersulit keadaan kita. Janji-Nya adalah bahwa Dia akan memberikan jalan keluar dari setiap permasalahan yang kita hadapi, termasuk permasalahan rumah tangga seperti Firman-Nya yang tertulis dalam 1 Korintus 10:13 

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” 

“Bagaimana kalau saya memperoleh KDRT tiap hari? Masa’ saya harus tetap stay di rumah dengan rasa tidak aman?” 

Langkah bijak bagi seorang istri yang mengalami KDRT serius hingga membahayakan nyawa adalah sebaiknya meninggalkan rumah untuk sementara waktu, serta mencari pertolongan baik dari gereja maupun konselor pernikahan. Dengan hikmat dan pertolongan-Nya pasti ada jalan atau solusi dari setiap permasalahan. 

3. Pasangan mengalami sakit berat atau cacat tubuh. 

Jika suami yang mengalami keadaan seperti ini, istri akan merasa putus asa dalam hal memenuhi kebutuhan ekonomi, psikologis dan biologisnya, demikian juga sebaliknya. Alasan ini seringkali dimaklumi oleh masyarakat dan keluarga besar demi kelangsungan hidup istri dan anak-anak. Tapi, apa kata firman Tuhan tentang hal ini? Istri Ayub memberikan satu teladan penting tentang bagaimana bertahan memperjuangkan pernikahan saat badai hidup menerpa. Aku ajak Pearlians untuk membaca  lebih lanjut tentang kisah istri Ayub dan makna satu daging suami-istri di sini

4. Mertua atau keluarga besar yang mencampuri urusan rumah tangga 

Contoh nyata yang saya lihat adalah mertua yang cemburu dan tidak rela uang anak laki-lakinya dipakai untuk keperluan dan kebahagiaan istri. Ada juga mertua yang tidak rela anak laki-lakinya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan istrinya karena dia merasa sudah habis-habisan mengurus anak laki-lakinya yang terjerumus narkoba. Terdengar sedikit aneh, tapi itu terjadi.  

Sebesar apapun permasalahan rumah tangga kita, jika kita berdoa dan "berhenti sejenak" memohon pertolongan-Nya, pasti akan ada jalan keluar tanpa harus bercerai. Namun, bukan berarti kita hanya perlu berdiam diri dan tidak melakukan apa pun untuk mempertahankan pernikahan kita. Rasul Petrus pernah menulis di dalam 1 Petrus 3:1-7 (dan yang akan saya highlight ada di dalam ayat 1 dan 2): 

“Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu.” 

Kisah St. Monica (Ibu dari St. Agustinus) adalah teladan yang sangat baik tentang bagaimana seorang istri tunduk kepada suaminya hingga berhasil memenangkan jiwa suaminya serta membawa anaknya yang hidup bebas masuk ke dalam pertobatan. St. Monica menikah dalam perjodohan dengan Patricus, seorang penganut agama pagan yang pada dasarnya merupakan pria yang baik namun memiliki temperamen yang buruk. Patricus adalah peminum berat, mudah mengamuk dan tidak setia dalam pernikahan, bahkan Agustinus, anaknya, telah mencatat setiap ketidaksetiaan Patricus. Hal inilah yang membawa Agustinus ke dalam kehidupan bebas hingga memiliki anak di luar pernikahan. Kehidupan rumah tangga Monica diperparah dengan fakta bahwa ibu mertuanya tinggal bersama mereka, yang secara emosional dan verbal melecehkan Monica dengan cemoohan dan berbagai komentar negatif. Terlepas dari perlakuan buruk yang diterimanya, Monica bertekun dalam doa bagi mereka berdua dan melakukan yang terbaik untuk menjadi istri yang saleh. Dia menyelesaikan tugas-tugas rumah tangganya dengan baik, dia sangat sabar, ceria dan dermawan. 

Setiap kali Patricus melakukan kesalahan, dia tidak langsung meluapkan kemarahannya dan berdebat dengan suaminya, tetapi dia diam, berdoa serta menanti hingga emosi suaminya reda dan mereka berada dalam relasi yang baik, barulah Monica akan memberikan argumentasinya dengan tenang agar bisa diterima oleh Patricus. Monica sangat tekun berjuang dalam doa dan kesabaran menghadapi pergumulan rumah tangganya yang terjadi selama bertahun-tahun, hingga akhirnya Patricus bertobat dan dibabtis menjadi pengikut Kristus, begitu pula dengan ibu mertuanya. Monica juga berhasil memenangkan jiwa anaknya, membawanya dalam pertobatan sejati hingga akhirnya Agustinus menjadi uskup dan pemimpin gereja. Monica telah berdoa bagi seluruh keluarganya selama tujuh belas tahun hingga akhirnya mereka semua bertobat, meninggalkan cara hidup lama mereka yang penuh dosa untuk kemudian hidup bagi Kristus. 

Untuk menghindari berbagai masalah pemicu perceraian seperti contoh-contoh di atas, sebaiknya kita memiliki dasar pernikahan yang kuat, bijak memilih pasangan, tidak fokus dengan kualitas fisik melainkan kualitas hati. Kita wajib memastikan bahwa calon suami kita adalah pribadi yang telah percaya kepada Kristus, mengalami pertobatan sejati dan takut akan Tuhan. Sangat penting bagi calon pasutri untuk mengikuti bina pranikah dan selalu bertanya kepada Tuhan apakah memang pria itu adalah jodoh kita. Memang semua antisipasi tersebut tidak serta merta akan membebaskan kita dari permasalahan rumah tangga yang mungkin timbul, namun Anugerah Tuhan selalu cukup bahkan berlimpah untuk menolong kita tidak goyah dalam memegang teguh janji pernikahan. 

Jika berbagai persoalan rumah tangga tetap mendesak batin kita untuk berpisah dari suami (baik itu lewat perceraian yang sah maupun perpisahan tanpa perceraian), ingatlah firman Tuhan dalam Matius 19:5-6: 

“Sebab itu laki-laki akan meniggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” 

Apakah Pearlians masih ingat dengan janji pernikahan yang diucapkan bersama suami? Janji pernikahan itu bukan sebuah ritual pernikahan tanpa makna, tetapi bentuk komitmen yang terucap di hadapan Allah dan jemaat-Nya, sehingga harus dilakukan seumur hidup hingga maut memisahkan kita dari pasangan. Namun, jika ada situasi tertentu yang membuat kita tidak berani untuk melanjutkan pernikahan lagi, janji pernikahan harus menjadi salah satu pengingat penting bagi kita. Allah sendiri yang telah mempersatukan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan kudus. Sebesar apapun kesalahan yang telah dilakukan oleh pasangan kita, selalu ada ruang bagi pengampunan. Walaupun sulit untuk dibayangkan, kasih Kristus akan memberikan kita kekuatan untuk membuang kepahitan karena darah Kristus yang telah menebus dan mengampuni kita. 

 Sebagai penutup tulisan ini, saya mengajak kita untuk terus rindu mewujudkan pernikahan yang penuh kasih, tidak mudah tersulut emosi atas masalah sehari-hari seperti kebiasaan suami yang sembrono, kurang menjaga kebersihan dan janganlah terus menerus mengeluh di depannya. Dalam Kolose 3:14 kita diajak kembali pada kasih mula-mula dan mengaktifkan kasih agape. Tuhan yang berdaulat jika kasih sayang yang kita berikan tidak berbalas atau mungkin kita malah dimanfaatkan. Teruslah intim dengan Tuhan, Dia menyayangi kita walau suami kita belum bisa melakukannya. 

Previous
Previous

Ketika Tuhan Diam - Part 1

Next
Next

Masturbasi Dalam Pernikahan