Menjadi Teman Bagi Mereka yang Tertawan
by Lidya Anna Supriyadi
Pertemuan pertama suatu kelas Filsafat diisi kegiatan dari dosennya, Prof. Radisson dengan permintaannya, “Aku ingin mengisi lembar kertas yang baru saja kubagikan dengan tiga kata sederhana, “Tuhan itu mati,” bersama dengan tanda tangan kalian.”
Segera mahasiswanya menuliskan deklarasi tersebut, karena tidak ingin mendapatkan nilai terendah, kecuali salah satu mahasiswa dari kelas tersebut, Josh Wheaton.
“Aku tak bisa penuhi keinginan Anda. Aku seorang Kristen.”
Deklarasi iman dari Wheaton, membawa dirinya dalam perdebatan dengan Prof. Radisson sampai pada pertemuan kelas berikutnya. Wheaton diminta untuk memberikan antitesis di depan kelas bahwa Tuhan tidak mati. Akan tetapi, pada pertemuan berikutnya, Prof. Radisson mengeluarkan pertahanannya. Ternyata dengan kerasnya Prof. Radison menentang iman Kristen, beliau mengejutkan Wheaton setelah selesai kelas, dengan mengutip Ayub 12:2 dan beberapa ayat lainnya, lalu mengambil kesimpulan, “Pada akhirnya dia menderita, bukan?”
“Apa yang terjadi kepada Anda?” Wheaton bertanya.
Prof. Radisson yang sudah beranjak keluar kelas terhenti dan berpikir sejenak, lalu berkata, “Saat usianya 12 tahun, menyaksikan ibunya sekarat karena kanker, wajar saja ia memohon kesembuhan kepada Tuhan. Dia berjanji kepada si Kakek yang dia percayai di sorga, akan memberikan segalanya, termasuk mencintai dan menyembah Dia selamanya asalkan Dia menyelamatkan ibunya.”
“Terkadang jawaban doa adalah tidak,” kata Wheaton.
“Katakan itu padaku di hari kau kehilangan orang yang kau cintai.” Dengan nada marah Profesor menanggapi Wheaton, “Ibuku meninggal dalam kepercayaan akan kebohongan… bahkan saat Ia mencekiknya sampai mati. Tuhan yang mengizinkan hal itu terjadi adalah Tuhan yang tidak layak dipercayai. Itulah mengapa, Wheaton, para ateis yang berpendirian teguh—dan dulunya adalah seorang Kristen—telah melihat bahwa ateisme membuka selubung dan melihat dunia yang benar-benar nyata.”
--**--
Banyak dari kita sering merasakan, “Hidup ini tidak adil.” Bahkan yang sudah percaya ada Tuhan pun—saat melihat atau mengalami penderitaan—ingin sekali berteriak, “Tuhan tidak adil.” Penyakit, ditinggal orang yang dicintai, gempa bumi, kelaparan, maupun kerusuhan (termasuk yang terbaru kerusuhan Kanjuruhan) terjadi tanpa henti secara silih berganti—bahkan bersamaan—di dalam kisah manusia hari demi hari. Di manakah Tuhan di tengah semua penderitaan ini?
Pearlians, coba kita berhenti sebentar dan membayangkan apakah kita pernah di momen yang membuat kita merasa menderita dan menganggap bahwa Tuhan absen dari kehidupan kita yang sedang terpuruk. Di dalam momen tersebut, mungkin kita merasa sulit untuk bangkit kembali. Namun, apakah benar bahwa tidak ada sama sekali yang membuat Pearlians bangkit dari penderitaan itu?
Kita adalah manusia yang terbatas; tangan kita tidak cukup untuk mengendalikan semua hal yang ingin kita pastikan berjalan sesuai keinginan kita. Itulah sebabnya saat kita menghadapi hal-hal buruk, kita sering merasa seharusnya hal ini tidak perlu terjadi. “Ini tidak adil. Aku orang baik. Aku tidak melakukan sesuatu yang membuatku pantas untuk mengalami hal buruk ini.” Saat seperti inilah yang justru menjadi masalahnya adalah pernyataan “Aku orang baik”. Padahal di dalam kenyataannya, kita bukan orang baik. Bahkan tidak ada satu pun orang yang baik, seperti yang tertulis di dalam Roma 3:10-12:
”Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak.”
Pernyataan Paulus di atas menegaskan sebuah fakta miris, yaitu bahwa kita “bukan orang baik”. Tentunya karena kita berdosa dan merupakan pribadi yang harus mati (Roma 3:23, 6:23).
Syukur pada Allah! Sebagai Pencipta, Allah yang kita kenal melalui Putra-Nya, Yesus Kristus, bukanlah manusia yang terbatas seperti kita yang berdosa ini. Sudut pandang-Nya tidak terbatas, karena Dialah yang menciptakan segalanya. Bahkan di dalam anugerah-Nya, Tuhan yang adil dan tidak berdosa justru merelakan diri-Nya menerima perlakuan yang tidak dapat dibandingkan dengan konsekuensi yang seharusnya kita dapatkan: Dia mengorbankan diri-Nya mati di kayu salib, mengalahkan maut, dan memberi kita hidup yang kekal. Menegaskan hal ini, Craig Groeschel menjelaskan, “Kita belajar untuk mengatasi kemarahan (atas penderitaan) saat kita belajar mengenal Tuhan. Ketika kita mengenal-Nya, kita belajar bagaimana memercayai bahwa Ia tetap baik, penuh kasih, dan bijaksana dalam segala sesuatu yang Ia lakukan, bahkan jika kita tidak tahu mengapa hal-hal itu terjadi.”
Ketika membaca buku Groeschel yang berjudul Christian Atheist, ada hal yang menarik bagi saya, yaitu ketika beliau menuliskan harapan bagi pembacanya—khususnya bagi orang Kristen Ateis, “Aku berdoa untukmu yang berduka, kemarahanmu, hal-hal yang membuat terluka, bahwa suatu saat nanti kamu akan melihat kebaikan Tuhan, meski sekarang belum terlihat, karena di tengah penderitaan pun, Tuhan itu baik.”
Pearlians, jika kita sedang memiliki teman yang akan hilang imannya, dia masih memiliki harapan untuk dilepaskan dari statusnya sebagai tawanan dosa maupun tawanan keputusasaan, sampai dia mengalami kasih Tuhan yang membebaskan dia untuk mendapat hidup kekal. Atau mungkin saat ini kita (merasa) belum menemukan teman yang kehilangan iman, but it’s’ okay karena sebagai perempuan yang bijak, kita perlu untuk menyiapkan diri dalam melakukan tindakan yang perlu dilakukan saat Tuhan percayakan untuk menemani orang tersebut. Kita bisa menjadi Wheaton atau Groeschel saat berhadapan dengan orang Kristen yang tidak yakin Tuhan itu ada.
Ketika berurusan dengan orang yang menolak keberadaan Tuhan atau belum mengalami Tuhan secara utuh, terkadang mereka terlihat seperti orang yang beracun. Ada dua hal yang saya dapatkan ketika membaca salah satu buku Gary Thomas, When to Walk Away:
1. Berdoa bagi mereka yang kehilangan iman adalah panggilan Yesus bagi kita.
Pada dasarnya, keberadaan Allah telah Ia nyatakan bagi semua manusia. Akan tetapi, hal yang nyata adalah seperti yang Rasul Paulus katakan, “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” (Roma 1: 21). Situasi buruk yang dihadapi oleh manusia membuat mereka memilih menjauh dan menolak Tuhan, seperti Profesor Radisson. Akan tetapi, ketika kita bertemu dengan mereka, kita perlu untuk berdoa bagi mereka karena ini adalah panggilan Yesus bagi kita, “mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” (Lukas 6: 28).
Selain itu, kita juga membutuhkan teman doa saat menemani mereka yang tertawan. Saya pernah merasakan situasi paradoks, di mana hati saya berteriak untuk berserah pada Tuhan ketika ada teman yang kehilangan imannya supaya Tuhan yang semakin nyata kasih-Nya, tetapi saya juga kehabisan energi. Luar biasanya, Tuhan mendatangkan saya teman doa yang mau mendengarkan bahkan mendoakan saya untuk tetap kuat menemani teman yang “tertawan” tersebut. Malam itu, saya kagum dengan cara Tuhan bekerja, sampai pada akhirnya dirinya mengalami curahan kasih Tuhan.
2. Tetap menjaga misi yang Tuhan berikan dan pertumbuhan karakter seperti Yesus.
Pearlians, ketika menemani mereka yang “tertawan”, kita perlu menjadi bijaksana. Penyebab seseorang kehilangan iman begitu kompleks, sehingga kita perlu untuk menjaga diri, sehingga panggilan hidup kita dari Tuhan juga tidak hilang. Aksi yang kita lakukan bukan berharap mereka mengubah perilaku yang beracun, karena jika demikian kita akan kecewa. Fokus kita yang seharusnya adalah kebenaran Tuhan yang disampaikan melalui hidup kita. Batasan supaya misi tetap terjaga yaitu saya hanya ingin melakukan tindakan yang benar (mencari dahulu Kerajaan Allah) dan menjadi orang yang benar. Batasan ini akan menolong kita untuk bertindak di atas dasar kasih dan tidak berusaha mengendalikan orang (karena yang berkuasa mengendalikan orang menjadi benar adalah Roh Kudus).
Pearlians, setiap dari kita mendapatkan panggilan untuk berdoa dan saling menguatkan iman, terlebih saudara rohani kita, sehingga kita perlu untuk menemani mereka yang tertawan saat Tuhan sedang mempercayakannya kepada kita. Fokus kita harus tetap pada satu hal: menyampaikan kebenaran, menjaga diri tidak tertekan karena perlawanan sikapnya yang menentang Tuhan, dan melipatgandakan doa. Kita perlu untuk lebih banyak berbicara kepada Allah sehingga kita mengerti cara terbaik yang Tuhan inginkan, supaya kita tetap menghormati dan melayani Tuhan dalam situasi ini. May God be with us, Pearlians!
Sumber:
Groeschel, C. (2011). The Christian Atheist: Percaya kepada Tuhan tetapi Hidup Seakan Dia Tidak Ada. Jakarta: Benaiah Books.
Thomas, G. (2021). When to Walk Away: Waktunya Menyingkir. Surabaya: Literatur Perkantas Jatim.