Hati yang Tangguh
by Nidya Mawar Sari
Delapan tahun menjadi guru SMA memberi saya kesempatan bertemu dengan ratusan orang tua dengan berbagai cara mendidik anak-anaknya. Ada yang rela mengantarkan buku yang tertinggal, ada yang masih saja mencatatkan jadwal ulangan anaknya, dan yang protes saat anaknya tidak naik kelas dan memindahkan ke sekolah yang lain. Namun, ada juga yang membiarkan anaknya gagal, menerima konsekuensi dari sekolah bahkan saat harus mengulang pelajaran di kelas yang sama.
Di balik semua cara itu, saya menemukan satu hal yang sama, yaitu setiap orang tua pasti menginginkan anaknya berhasil. Namun sayangnya, keberhasilan anak dikaitkan dengan kebahagiaan anak sehingga banyak orang tua menghindari anak mengalami kesulitan. Orang tua juga cenderung sungkan mendisiplin anak karena disiplin selalu dihubungkan dengan hukuman-hukuman. Padahal sebenarnya pendisiplinan yang benar akan membuat anak siap untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya. Pendisiplinan tidak selalu soal menghukum anak. Disiplin sendiri berasal dari bahasa Inggris “disciple” yang artinya murid. Itu berarti mendisiplin anak berarti menjadikannya seorang murid kehidupan yang siap berdiri di atas kakinya sendiri saat sudah dewasa nanti. Sebaliknya, apabila orang tua selalu menghindarkan anak dari disiplin dan konsekuensi, anak akan bertumbuh menjadi manja dan tidak mandiri.
Tentu saja untuk menjalani peran sebagai orang tua yang mendidik anak dengan disiplin tidaklah mudah. Seorang ibu yang membiarkan anaknya mandiri belajar, tanpa mengingatkan semua jadwalnya lagi sehingga anaknya mendapat nilai jelek karena lalai belajar, misalnya, mungkin akan mendapat kerutan dahi dari ibu-ibu lainnya. Seorang ibu yang melatih anaknya makan sendiri pun juga akan dianggap malas karena tidak mau menyuapi anaknya. Apalagi seorang ibu yang terlihat mendisiplin anaknya sampai anaknya menangis. Padahal kalau kita mau membuka hati dan diri, pendisiplinan bukanlah hal yang salah untuk dilakukan. Bahkan dalam Amsal 13:24 kita belajar bahwa orang tua yang mengasihi anaknya adalah orang tua yang mendisiplin anaknya:
“Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya,
menghajar dia pada waktunya.”
Berbicara mengenai model disiplin yang terbaik, kita diperhadapkan dengan perkembangan zaman yang seolah-olah sedang menurunkan tingkat kekerasannya—bahkan hingga cenderung tampak memanjakan anak. Mulai dari orang tua yang terbiasa mendidik anak dengan “perlengkapannya” seperti ikat pinggang dan sapu, kemudian tempelengan dan jeweran telinga, kata-kata yang sarkastik dan meremehkan, hingga sikap apatis terhadap anak, sebenarnya—tanpa disadari—kita juga sedang meniru pola disiplin yang orang tua kita terapkan kepada kita. Mereka “hanya” tahu bahwa cara tersebut ampuh untuk mendidik kita menjadi pribadi yang mandiri, tidak manja, dan tangguh—bahkan berhasil di dalam pencapaian kita. Walaupun demikian, bukan berarti orang tua bisa semena-mena menerapkan disiplin pada anak. Disiplin ini pun akan memberikan hasil terbaik apabila dilakukan sejak dini sesuai dengan usianya. Disiplin harus disertai dengan kasih. Disiplin tanpa kasih akan membuat anak mengalami kepahitan, sedangkan kasih tanpa disiplin akan membuat anak menjadi manja. Itulah sebabnya di dalam bagian Alkitab yang lain, Paulus menulis demikian:
Bapak-bapak, jangan memicu kemarahan anak-anakmu supaya mereka tidak menjadi patah semangat.
Kolose 3:21 (AYT)
*tentu ayat ini tidak hanya berlaku bagi para ayah, tetapi juga para ibu sebagai cerminan kehadiran Allah bagi anak-anak. Relasi antara orang tua dan anak sering memengaruhi cara pandang maupun relasi anak dengan Allah.
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam mendisiplin anak, dan karena itulah sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk terus belajar bagaimana mendisiplin anak yang baik dan benar, yang sesuai dengan konteks kesalahan dan sesuai dengan usia anak.
Kita semua pasti setuju bahwa menjadi orang tua bukan hanya sekedar mempunyai anak. Menjadi seorang ayah bukan sekedar mencari nafkah dan membiayai keluarga. Menjadi ibu bukan hanya sekedar mengandung dan melahirkan seorang anak. Di atas semua itu, setiap orang tua diberi kepercayaan untuk mendidik dan mendisiplin anaknya dengan kasih. Semua hanya dapat dilakukan apabila orang tua memiliki hati yang tangguh. Hati yang tangguh untuk melihat anaknya gagal. Hati yang tangguh untuk memberi konsekuensi dan mungkin melihat anaknya mengalami susah hati. Hati yang tangguh untuk menghadapi respon dari berbagai pihak yang tidak sepaham dengannya. Hati yang tangguh untuk terus belajar dan belajar. Pada akhirnya semua ini tidak mungkin dapat dilakukan dengan kekuatan sendiri. Tuhanlah yang akan terus menguatkan setiap orang tua. Selamat berjuang, hai orang tua. Segala usahamu tidak akan sia-sia.