Panggilan Seorang Wanita

by Nidya Mawar

Mana yang lebih baik? Lajang Atau Menikah? Ibu Bekerja atau Ibu Rumah Tangga? 

Waktu belum menikah, orang akan bertanya, “Kapan nikah?”

Waktu sudah menikah, orang akan bertanya, “Kapan punya anak?”

Waktu sudah punya anak satu, orang akan bertanya, “Kapan punya anak kedua dan ketiga?”

Jadi ibu rumah tangga, orang akan bertanya, “Ga sayang gelarnya? Susah-susah sekolah kok cuma di rumah aja?”

Jadi wanita karir, orang akan bertanya, “Ga sayang anak? Kok dibiarin sama mbak aja?”

Apakah ada Perlians yang pernah mengalaminya? Ada saja memang komentar dan pertanyaan-pertanyaan orang kepada perempuan, yang sepertinya jarang sekali ditanyakan ke kaum pria. Sedikit banyak pertanyaan-pertanyaan ini cukup mengganggu para perempuan, seakan-akan jadi perempuan itu tidak ada standard keberhasilannya. Apakah ibu bekerja serta merta lebih sukses dari ibu rumah tangga? Apakah tepat jika perempuan baru dianggap perempuan apabila sudah menikah dan melahirkan anak-anak? Jika jawabannya adalah tidak, lantas apa yang menjadi tolak ukur hidup yang bermakna dari seorang perempuan?

Seorang perempuan dikatakan menjalani hidup yang bermakna, saat ia terus mencari dan melakukan kehendak Tuhan seumur hidupnya.

Alkitab menuliskan banyak kisah tentang perempuan-perempuan yang hidupnya bermakna bagi banyak orang. Misalnya saja Ester, perempuan yang dipakai Tuhan untuk menyelamatkan bangsanya. Ada juga Debora, satu-satunya hakim perempuan. Selain itu, kita mengenal Maria, yang menyediakan hidupnya menjadi ibu sang Juru Selamat. Kita juga tahu kisah kehidupan Rut, seorang perempuan Moab yang setia kepada ibu mertuanya. Ada juga Tabita, perempuan dengan dedikasi tinggi untuk orang-orang di sekitarnya.

Masih banyak lagi contoh-contoh kisah hidup perempuan yang bisa kita teladani. Yang unik adalah: tidak ada satu pola atau profesi khusus yang sama diantara mereka. Mereka menjalani panggilan hidup mereka masing-masing dengan kerelaan dan sukacita.

Lantas bagaimana caranya kita mencari kehendak Tuhan dalam hidup kita. Bagaimana cara mendengar suara Tuhan mengenai panggilan kita? Apakah Tuhan berbicara dengan suara yang jelas seperti saat kita mendengar suara orang lain? Atau apakah Tuhan menunjukkan kehendak-Nya bagi kita lewat mimpi dan nubuat? Kalau tidak selalu seperti itu, lalu bagaimana caranya?

Satu hal yang selalu menjadi pegangan hidup kita sebagai perempuan Kristen adalah Firman Tuhan. Apapun panggilan kita, kalau itu dari Tuhan, tidak mungkin bertentangan dengan Firman Tuhan. Tuhan tidak mungkin meminta kita menjadi penggosip atau perempuan kompetitif yang bersaing dengan tidak sehat di kantor. Tuhan juga tidak mungkin meminta kita membesarkan anak-anak dengan cara-cara yang menjerumuskan mereka ke hal-hal yang tidak benar. Tuhan tidak mungkin memanggil kita menjadi batu sandungan. Pertanyaan pertama untuk kita renungkan adalah: apakah yang sementara ini kita kerjakan adalah hal-hal yang berpadanan dengan Firman Tuhan?

Selanjutnya, Tuhan bisa memakai apa dan siapa saja untuk menunjukan kehendak-Nya pada kita. Tuhan bisa memakai sahabat, orang tua, pasangan, bahkan orang-orang yang tidak begitu dekat dengan kita untuk mengkonfirmasi kehendak-Nya bagi kita. Tuhan juga bisa pakai lagu-lagu, postingan  di sosial media, artikel, atau buku untuk memperjelas panggilan kita.

Ijinkan saya membagikan pengalaman saya pribadi. Salah satu pergumulan saya adalah untuk berhenti bekerja, dan menggantung seragam saya sebagai seorang guru di sekolah ternama di Jakarta. Saya bukan orang rumahan yang suka mengerjakan pekerjaan rumah. Saya juga tidak begitu suka anak-anak. Banting stir dari guru SMA jadi guru TK sambil menjaga anak sendiri, bukanlah ide yang baik menurut saya. Namun, akhrinya keputusan itu diambil juga. Sambil menjalani hari-hari yang tidak mudah dengan tantangan-tantangan baru, membuat saya memikirkan ulang. Apakah benar ini adalah kehendak Tuhan bagi saya? Suatu malam, ada seorang Hamba Tuhan datang. Beliau menanyakan kabar dan saya ceritakan apa yang sudah saya jalani saat itu. Beliau hanya mengatakan, “Sudah benar keputusanmu itu, Nidya.” Ucapan itu bagi saya adalah sebuah konfirmasi dari Tuhan bahwa memang inilah jalan yang harus saya tempuh saat ini. Pendek kata, kalau kita sungguh-sungguh mencari kehendak Tuhan, Tuhan pasti menjawab bagaimanapun caranya. Perlians, apakah kita sudah sungguh-sungguh mencari kehendak Tuhan bagi kita saat ini?

Setelah mendapatkan konfirmasi, Tuhan juga memberi damai sejahtera-Nya bagi kita. Saya mengenal banyak teman yang merelakan karirnya sebagai pegawai negeri, dokter, karyawan, dan profesi lainnya untuk menerima panggilan Tuhan sebagai ibu rumah tangga. Saya juga mengenal perempuan-perempuan hebat di kantor yang menjalani hari-harinya sebagai ibu bekerja tanpa meninggalkan perannya sebagai istri dan ibu. Selain itu, ada juga wanita-wanita yang hidup sendiri tanpa suami di sekitar saya. Mereka semua berbagi makna hidup mereka dengan saya dan keluarga saya. Kehadiran mereka sungguh menjadi berkat. Saya sangat setuju dengan sebuah pernyataan dari Ibu Charlotte Priatna dalam bukunya Learning to Stop. Beliau mengatakan bahwa pada akhirnya yang terpenting adalah bukan apa yang kita kerjakan, melainkan bagaimana kita melakukannya (hal.34). Damai sejahtera dari Tuhan akan membuat kita menjalani apapun panggilan kita dengan sukacita. Hanya dalam kondisi seperti inilah kita bisa menjadi berkat bagi orang lain. Pertanyaannya bagi kita adalah apakah kita menjalani hari-hari kita dengan damai sejahtera dan sukacita? Adakah kehadiran kita menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita?

Akhirnya Perlians, kita setuju dengan pengkhotbah yang mengatakan bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya.  Tidak ada sesuatu yang kekal dan berlangsung terus menerus di bumi ini. Kalau dulu Tuhan beri saya kesempatan untuk menjalani hidup sebagai guru SMA selama delapan tahun, bukan berarti selama-lamanya Tuhan mau saya melakukan hal yang sama. Setelah tiga tahun mencoba berbagi makna hidup sebagai guru TK, toh ada saatnya juga Tuhan berkata, “Cukup dulu, Nidya. Sekarang di rumah saja. Nanti Aku kasih tahu apa yang Aku mau kamu lakukan selanjutnya.” Mencari kehendak Tuhan adalah sebuah perjalanan seumur hidup kita. Untuk itulah kita perlu senantiasa dekat dengan hati Tuhan agar kita bisa dengar suara-Nya.

Hari ini, apapun peran kita dan status kita, menikah atau melajang, punya anak atau belum punya anak, bekerja atau ibu rumah tangga, dan status lainnya, semua itu tidak menentukan makna hidup kita. Carilah kehendak Tuhan senantiasa (Matius 6:33), lakukanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23).

Previous
Previous

Menjadi Teman Bagi Mereka yang Tertawan

Next
Next

Oversharing di Sosmed, Bijakkah?