Pengampunan yang Memerdekakan

by Ps. Illyana Widodo, M.Pd.K

Kata MENGAMPUNI tertulis sebanyak 143 kali di dalam Alkitab. MENGAMPUNI termasuk salah satu hal yang sering kita dengar dan kita sadari pentingnya dalam kehidupan kita. Namun, kita juga tahu bahwa hal tersebut sulit untuk dilakukan.

Sulitnya mengampuni merupakan pengalaman dari kita semua.

Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Ketidaksempurnaan itu membuat manusia akan, pernah atau bahkan sering melakukan kesalahan. Karena kita selalu berhubungan dengan orang lain, sebagai manusia yang sama-sama tidak sempurna, kita PASTI akan mengalami pengalaman dilukai, terluka, dan melukai – mau tidak mau, sengaja atau tidak sengaja. Inilah kenyataan hidup! Artinya, kita semua tidak ada yang tidak pernah terluka. Ada peristiwa mungkin di mana kita pernah dikecewakan, direndahkan, dihina, difitnah, dikhianati, diperlakukan tidak adil, merasa marah, sedih ataupun frustasi. Bahkan yang paling sering melukai kita dan sulit kita ampuni adalah orang-orang yang terdekat dengan kita.  Mengapa? Karena semakin kita dekat dengan seseorang, semakin hal kecil bisa menyakiti kita. Semakin kita memiliki ikatan emosional dengan seseorang, semakin kesalahan orang itu sulit dilupakan. Semakin kita mengasihi seseorang, maka luka yang diakibatkan semakin mendalam.

Kita dapat terluka oleh sikap, perkataan ataupun tindakan seseorang. Bisa juga terluka karena kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi. Sesungguhnya, perasaan marah, sedih, kecewa dan terluka adalah hal yang wajar, karena kita adalah pribadi yang memiliki emosi dan perasaan. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah luka kita diproses atau tidak diproses. Kalau tidak diproses, maka luka itu akan tersimpan di dalam hati kita, menjadi akar pahit dan memberi pengaruh negatif di dalam hidup kita. Luka itu bisa mempengaruhi kehidupan spiritual, relasi dengan Tuhan dan juga relasi dengan orang lain.

Firman Tuhan dalam Amsal 4: 23 meminta kita agar kita menjaga hati kita dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan. Apa yang kita ucapkan dan apa yang kita lakukan bersumber dari hati.  Jika kita menyimpan akar pahit, maka akan terpancar melalui luapan kemarahan, perkataan yang melukai, perilaku yang menyakitkan orang lain, perkataan buruk terhadap orang lain. Orang yang terluka akan melukai orang lain.

Oleh sebab itu betapa pentingnya untuk kita memiliki hati yang merdeka, karena kepahitan atau luka pada hati itu adalah racun bagi jiwa kita. Racun tidak mengampuni dapat terus bertambah, menyakiti dan menggerogoti diri kita sendiri.

Sesuai dengan Firman Tuhan dalam Efesus 4:31, setiap kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah itu perlu dibuang, dibersihkan, diproses dari dalam hati kita. Apabila kita tidak memrosesnya, hal tersebut akan memenjarakan kehidupan kita (Amsal 8:19). Untuk memproses luka hati, maka kita perlu melepaskan pengampunan.  Pengampunan akan membebaskan kita! 

Nah, banyak orang salah paham tentang pengampunan. Pengampunan berbeda dengan menyangkali perasaan dengan berkata, “Tidak, saya tidak sedih kok.” atau “Tidak apa-apa, saya baik-baik saja.”  Mengampuni bukan berarti kita tidak tersinggung atau tidak terluka dengan apa yang dilakukan oleh orang itu. Pengampunan berbeda dengan melupakan atau menganggap peristiwa itu tidak pernah terjadi, dan berkata, “Saya sudah lupa.” Pengampunan juga bukan berarti menyembunyikan dan memendam perasaan terluka, lalu kita terlihat seolah-olah baik-baik saja. Seringkali kita berbicara seperti ini, “Ya sudahlah, dia menipu saya tidak apa-apalah. Buktinya sekarang saya juga diberkati. Biar saja dia menipu, itu tidak mempengaruhi hidup saya kok.”

Kita juga perlu jujur pada diri kita sendiri, apakah selama ini kita cenderung menghindari dan tidak ingin bertemu dengan orang yang pernah melukai diri kita? Apakah kita merasa terpaksa atau kehilangan semangat saat berkomunikasi dengan dia? Apakah emosi kita masih bergejolak saat mengingat kejadian yang melukai ataupun ada dorongan yang kuat untuk berbicara jelek tentang orang yang pernah melukai kita? Atau kita sulit menahan emosi saat berkomunikasi dengan orang yang pernah melukai?

Ini adalah beberapa indikator bahwa kita masih menyimpan luka dengan orang yang pernah menyakiti hati kita.

Nah, apa saja yang dapat membuat kita seringkali sulit untuk melepaskan pengampunan? Ada beberapa alasan yang membuat kita sulit mengampuni, antara lain karena kesalahannya terlalu besar, atau dia tidak menyadari dan mengakui bahwa dia telah bersalah, bahkan melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang dan tidak berubah.

Pengampunan adalah pilihan, dimana secara sadar kita memutuskan bahwa kita mau memaafkan apa yang orang lain sudah perbuat di dalam hidup kita, tidak peduli apakah orang itu layak diampuni atau tidak. Sesungguhnya, mengampuni bukan berarti kita membenarkan perilaku atau kesalahan orang tersebut.  Mengampuni adalah membebaskan penjara di hati kita sehingga kita dapat melangkah maju.

Untuk kita bisa mengampuni, kita perlu menyadari bahwa kita sudah menerima anugerah dari Tuhan, dosa-dosa kita sudah diampuni tanpa syarat dan kita ingin meneladani hidup Kristus.
(Lukas 23:24)

Proses mengampuni dimulai dari menyadari peristiwa yang melukai, mengakui dengan jujur perasaan kita, menyerahkan rasa sakit kepada Kristus, serta mengucapkan pengampunan bagi orang yang telah melukai kita.  Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai ingatan akan peristiwa tersebut tidak menimbulkan rasa sakit lagi, melainkan dapat dimaknai dan bersyukur.

Dengan mengampuni, kita juga mempercayai bahwa Tuhan turut bekerja di dalam setiap situasi kehidupan kita, ada pembelajaran dari setiap peristiwa, dan Tuhan sedang membangun kekuatan internal di dalam diri kita untuk menjadi pribadi yang semakin hari menjadi seperti Kristus.

Pengampunan tidak mengubah masa lalu, tetapi pengampunan mengubah masa depan.

 

Ps. Illyana Widodo, M.Pd.K

Life Builder for Excellence
Founder: Virtuous Women Discipleship
Ibu Gembala GBI WTC OHCC

@illyanawidodo 

Previous
Previous

Tetap Berbuah

Next
Next

Selfless Kindness