Ketika Tuhan Diam - Part 1

by Leticia Seviraneta

“Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu!  Ya, nantikanlah TUHAN!”
– Mazmur 27:14 [TB]
 

Tidak ada yang suka menunggu. Tidak ada yang suka penundaan. Namun baik menyukainya atau tidak, menunggu merupakan bagian dari kehidupan yang pasti kita alami. Seorang lajang menunggu pasangan hidup agar ia dapat menikah; pasangan suami-isteri menunggu untuk memperoleh anak; seorang ibu menunggu perkembangan janin sampai kelahiran anaknya selama sembilan bulan; seorang anak menunggu dan bersekolah selama 21 tahun sampai ia dianggap dewasa, dst. Bahkan di restoran pun kita perlu menunggu sampai pesanan kita siap disajikan, memanaskan makanan di rumah pun perlu periode waktu untuk menunggu. Kita semua senantiasa menunggu akan sesuatu atau seseorang di setiap musim kehidupan kita… 

… dan sering kali kita merasa lelah menunggu. 

Iya, kita frustrasi ketika apa yang kita nantikan tidak kunjung tiba, ketika proses mencapai yang kita nantikan lebih panjang dari yang kita bayangkan, dan ketika situasi kita dianggap mustahil untuk memperoleh apa yang kita nantikan.  

Namun, Pearlians, kita tidak sendirian. Setiap orang, termasuk Pearlians dan saya, mengalami masa penantian dan penundaan dalam berbagai bentuk. Kita perlu belajar melihat bahwa masa penantian tidak berarti bahwa Tuhan melupakan kita maupun Tuhan tidak bekerja dalam kehidupan kita. Kita membutuhkan masa penantian tersebut untuk mengarahkan fokus kita kepada Tuhan dan waktu-Nya lebih daripada kepada agenda kita—dan ini adalah salah satu pelajaran berharga yang kita perlu pelajari sebagai orang percaya. Ini pelajaran yang akan membuat iman kita berakar kuat dan bertumbuh, dan mengasah keberanian kita. Dan pada akhirnya, kita akan menerima berkat Tuhan yang jauh melebihi dari apa yang kita dapat bayangkan. 

“tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”
–Yesaya 40:31 [TB]
 

Apakah yang dimaksud dengan menantikan Tuhan? Menurut Charles F. Stanley, menantikan Tuhan adalah sebuah sikap ketekunan berpengharapan yang ditunjukkan dengan sikap berdoa yang terarah (directed), bertujuan (purposeful), aktif (active), dan berani (courageous). 

  • Terarah (directed) –Kita mengarahkan fokus kita bukan kepada objek yang kita nantikan, melainkan dengan tekun kita mengarahkan fokus kita kepada Allah Bapa yang kita yakini memiliki rencana terbaik untuk hidup kita. 

  • Bertujuan (purposeful) –Kita menemukan makna di masa penantian dan penundaan yang kita jalani karena kita mengantisipasi petunjuk Tuhan yang sempurna, proses persiapan-Nya, dan penyediaan-Nya. 

  • Aktif (active) –Selagi kita menunggu, kita tetap percaya bahwa Tuhan tetap bekerja di belakang layar, dan kita tetap tekun mentaati apa yang Ia ingin kita lakukan di masa ini selangkah demi selangkah. 

  • Berani (courageous) –Kita mau untuk menghadapi berbagai rintangan dan berani menolak tawaran yang kelihatannya baik namun bukan yang terbaik dari Tuhan bagi kita. 

Sayangnya, dosa menyebabkan manusia—termasuk kita—gagal memahami maksud Tuhan yang seolah-olah membuat kita lama menunggu diri-Nya bertindak. Bahkan di dalam Alkitab, tidak ada pria maupun wanita—yang Tuhan pakai secara luar biasa—yang tidak mengalami masa menunggu yang panjang dan sulit. Tidak heran, selama menantikan apa yang Tuhan akan lakukan, kita sangat mudah tergoda untuk “menolong” Tuhan dalam mencapai tujuan-Nya. Wah, baik, kan? Kita ingin “menolong” Tuhan karena tahu apa yang Dia mau. Makin cepat kehendak-Nya terlaksana, bukankah semuanya akan makin baik? Namun, tepatkah keputusan itu? 

Mari kita belajar dari pengalaman bapa orang beriman, yaitu Abraham dan istrinya yang bernama Sara! Mereka menantikan keturunan seperti yang dijanjikan Tuhan bahwa keturunan mereka akan sebanyak bintang di langit dan debu tanah (Kejadian 13:16; 15:5; 17:6). Abram menerima janji Tuhan itu saat dirinya berusia 75 tahun (Kejadian 12:4). Setelah sepuluh tahun berlalu, Sarai masih belum juga beranak. Sarai pun berpikir untuk “menolong” Tuhan dengan memberikan hampa perempuannya, Hagar, untuk tidur dengan Abram, dan menghasilkan keturunan baginya. Pada saat itu, itu adalah sebuah hal yang wajar seorang hamba menghasilkan keturunan bagi majikannya. Bisa jadi Sarai berpikir, “Mungkin ini yang dimaksudkan Tuhan. Aku memperoleh keturunan dengan cara yang sesuai menurut kebudayaan ini. Namun, tetap mustahil bagiku untuk punya anak sendiri secara alami.” 

Kita tahu kemudian Hagar melahirkan Ismael, yang pada akhirnya menjadi bangsa yang besar juga, tetapi bukan anak perjanjian dari Allah. Di kemudian hari, kita tahu bahwa bangsa keturunan Ismael ke depannya menjadi musuh bangsa Israel (keturunan Ishak melalui Yakub). Jadi sebuah keputusan Sara untuk “menolong” Tuhan mencapai janji-Nya dengan caranya sendiri berdampak begitu besar dan lintas generasi sampai sekarang. 

Pertanyaannya, apakah Tuhan langsung membatalkan perjanjian-Nya dengan Abraham secara sepihak setelah Abram dan Sarai mencoba “melangkahi” rencana Tuhan? 

Di dalam anugerah-Nya, Tuhan tetap berbelas kasihan kepada mereka: sekali pun mereka gagal dalam memahami rencana Tuhan pada awalnya, Dia tetap menepati janji-Nya kepada mereka. Barulah 13 tahun kemudian setelah kelahiran Ismael, Allah menampakkan diri kepada Abraham—setelah Allah mengganti namanya bersama Sara pada Kejadian 17—dalam rupa tiga orang yang membawa berita bahwa tahun depan Sara akan melahirkan seorang anak laki-laki (Kejadian 18:10). 

Adapun Abraham dan Sara telah tua dan lanjut umurnya dan Sara telah mati haid.
– Kejadian 18:11 [TB]
 

 Ketika mereka semakin mustahil di mata dunia untuk memiliki seorang anak, Tuhan memenuhi janji-Nya. Terlihat begitu lambat, tetapi waktu-Nya sempurna karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa itu semua bisa terjadi hanya dengan kuasa-Nya. 

“TUHAN memperhatikan Sara, seperti yang difirmankan-Nya, dan TUHAN melakukan kepada Sara seperti yang dijanjikan-Nya. Maka mengandunglah Sara, lalu ia melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abraham pada masa tuanya, pada waktu yang telah ditetapkan, seusia dengan firman Allah kepadanya. Abraham menamainya anaknya yang baru lahir itu Ishak, yang dilahirkan Sara baginya. … Adapun Abraham berumur seratus tahun, ketika Ishak, anaknya lahir baginya.”
– Kejadian 21:1-5 [TB]
 

Total masa penantian Abraham dan Sara untuk memperoleh keturunan adalah 25 tahun. Dan Sara melahirkan di usia 90 tahun. Luar biasa!  

Berkaca dari pengalaman Abraham dan Sara, bisa saja kita berpikir bahwa tidak mungkin melangkahi kehendak Tuhan. Namun, kenyataannya kita adalah manusia yang berakal budi, punya pikiran dan kehendak sendiri—yang sering kali melenceng dari apa yang Tuhan rencanakan. Keputusasaan, kekecewaan, kemarahan, bahkan keraguan terhadap Tuhan pun pasti pernah kita alami, hingga ada pula yang memutuskan melangkah dengan bekal pikiran diri sendiri. Walaupun demikian, nyatanya Tuhan masih berbelas kasihan dengan kelemahan kita. Sekali pun kita tidak setia dalam menantikan-Nya, Tuhan tetap setia menepati janji-Nya—bahkan cara-Nya melampaui apa yang kita bayangkan. 

Pada bagian kedua, kita akan belajar bersama tentang apa yang perlu kita renungkan untuk pilih dalam menantikan Tuhan. Jadi, sampai jumpa di artikel berikutnya. 😊 

Previous
Previous

Ketika Tuhan Diam - Part 2

Next
Next

Tuhan, Aku Mau Cerai!!!