Sukacita dalam Ketaatan
by Glory Ekasari
Manusia pada umumnya berpikir bahwa mereka akan
senang bila dibebaskan melakukan apa saja yang mereka mau. Hukum atau aturan
adalah beban yang membuat kita merasa terkungkung. Bila tidak ada larangan,
tidak ada aturan, bebas sebebasnya, baru kita akan bahagia! Tapi benarkah
demikian? Bila kita bebas melakukan apapun yang kita mau, dan tidak ada
seorangpun yang membatasi kita, bukankah itu berarti tidak ada yang peduli dengan kita?
Saya akan memberi contoh sederhana dalam hal
ini. Baru kemarin saya ngobrol dengan pacar tentang bentuk kepedulian saya
kepada dia. Saya bilang, kalau saya peduli pada seseorang, saya justru jadi
banyak ngomel (maklum, wanita). Kalau dia makan makanan yang tidak baik untuk
kesehatan, melakukan aktivitas yang membahayakan, atau sekedar naik motor tidak
pakai jaket, saya akan ngomel-ngomel. Itu bukan karena saya tidak sayang dia—sebaliknya, justru karena saya peduli pada keadaannya, makanya saya
cerewet.
Di sisi lain, pacar saya jadi sering minta izin
kalau mau makan makanan yang kira-kira akan bikin saya ngomel (sudah tentu izin
tidak keluar :p), atau melakukan aktivitas yang akan membuat dia dimarahi oleh
saya. Saya tahu itu bukan karena dia takut, tapi karena dia tidak mau membuat
saya kuatir atau marah atau sedih. Dia memperhatikan perasaan saya, dan karena
itu dia merespon dengan menjaga dirinya baik-baik, sebagaimana yang saya
inginkan.
Itu contoh dari manusia yang tidak sempurna.
Tuhan mah lebih baik dari kita, Dia tidak ngomel seperti saya. Tapi prinsipnya
sama: Tuhan memberi kita aturan karena
Dia memperhatikan dan mengasihi kita; kita taat kepada Tuhan bukan karena
takut, tapi kita merespon kasih-Nya itu, dan menunjukkan kepada Tuhan bahwa Dia
penting bagi kita.
Dan ketika kita mengasihi Tuhan, menyenangkan Dia menjadi sesuatu yang
menyenangkan bagi kita. Tuhanlah yang menciptakan kita, dan Dia tahu apa
yang paling memuaskan hati kita: diri-Nya sendiri. Karena itu ketika orang
Israel datang dan bertanya, apa sebenarnya yang paling Tuhan inginkan dari
manusia, apa yang menjadi tujuan keberadaan kita, Dia menjawab:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap
jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.” —Matius 22:37
Ketika kita mengasihi Dia, sukacita meluap
dalam hati kita. Ketika kita menaati firman-Nya, kita mendapat kebahagiaan.
Kitab Mazmur dibuka dengan kata “berbahagialah”, dan orang yang berbahagia
adalah orang yang mencintai firman Tuhan dan melakukannya dalam hidupnya. Dunia
bisa berkata lain; mereka menjanjikan sukacita dari harta benda, berbagai
kesenangan, dan sebagainya, tetapi sukacita yang sejati hanya ada ketika kita
hidup dalam ketaatan kepada Tuhan.
Banyak anak berkata bahwa cita-cita mereka
adalah membahagiakan orang tua. Bisa jadi yang dimaksud adalah mewujudkan
keinginan orang tua yang belum dapat mereka penuhi sendiri. Saya ingat ketika
saya kecil, saya tanya mama, apa yang dia inginkan untuk hadiah ulang tahun.
Mama menjawab, “Mama cuma mau kamu nurut.” (Saya waktu itu memang bandel.)
Tuhan pun berkata, “Jika kamu mengasihi Aku,
kamu akan menuruti perintah-perintah-Ku.” Ini yang paling Tuhan inginkan; dan
bila kita mengasihi Dia, kita tentu ingin mewujudkan keinginan-Nya. Bila kita
berhasil mewujudkan keinginan-Nya,
Bila kita berkata “tidak” pada pencobaan dan bertahan dalam ketaatan,
Bila kita lebih mementingkan melayani Tuhan daripada bersenang-senang,
Bila kita memilih menderita karena iman daripada berbuat dosa,
Bila kita lebih mementingkan melayani Tuhan daripada bersenang-senang,
Bila kita memilih menderita karena iman daripada berbuat dosa,
Kita akan bersukacita, karena kita telah menyenangkan Dia yang kita kasihi.