A Woman after God’s Heart

by Nidya Mawar Sari 

“And the new Miss Universe is….. India.”

Seketika suasana dag-dig-dug di Universe Dome, Eilat, Israel, berubah menjadi perayaan besar. Sebuah mahkota yang sangat indah diberikan kepada Harnaaz Sandhu dari India yang dinobatkan sebagai Miss Universe 2021 pada bulan Desember lalu. Harnaaz Sandhu dan semua putri yang mengikuti ajang kecantikan tersebut pasti sudah diseleksi sesuai dengan kriteria dan standard yang ada, baik dalam hal fisik maupun intelektual. Standard tersebut membuat tidak semua wanita bisa menjadi putri di negaranya dan menjadi Miss Universe. Namun, ada satu standard yang bisa menjadikan kita semua, wanita Allah, “a woman after God’s heart”.

Menjadi “a woman after God’s heart” bukanlah sebuah penobatan karena memenuhi syarat yang sudah ditentukan. Bagaimana bisa seorang berdosa menjadi kesayangan Tuhan dan berkenan di hadapan Tuhan? Tidak ada satu hal pun yang dapat kita—sebagai wanita—yang dapat membuat Tuhan menobatkan kita menjadi milik-Nya kalau bukan Ia sendiri yang telah turun tangan mengorbankan diri untuk menebus kita dari hukuman dosa. Rasul Paulus menegaskannya dalam 2 Timotius 1:9:

Dialah yang menyelamatkan  kita dan memanggil  kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman

Inilah hal yang pertama-tama perlu kita ingat dan renungkan terus, bahwa hanya karena anugerah Allah kita diselamatkan dengan harga yang mahal, yaitu darah Kristus sendiri. Pengurbanan-Nya di kayu salib memulihkan gambar diri, serta relasi dengan Allah, diri sendiri, dan sesama yang juga rusak akibat dosa. Tindakan keselamatan Allah ini melayakkan kita untuk menyadari betapa berharganya hidup kita di mata-Nya. Ya, kita berharga bukan karena kecantikan kita, karir kita, kecakapan kita mengurus rumah tangga, memasak, bahkan keterampilan dalam mengasuh anak dan mengasihi suami. Bagi Pearlians yang belum menikah, our worth juga tidak ditentukan oleh status kita—entah masih single atau sudah berpacaran. Keberhargaan kita di mata Allah bukan tentang apa yang sudah kita lakukan bagi Dia, melainkan apa yang telah Tuhan lakukan bagi kita, yaitu penebusan dosa dan karya keselamatan-Nya.

Pearlians, seorang perempuan yang telah dinobatkan menjadi Miss Universe akan memiliki rententan tugas yang harus ia kerjakan. Ia tidak mungkin bertutur kata sembarangan, bahkan pakaian-pakaiannya pun pasti yang terbaik. Perilakunya pun menjadi sorotan banyak orang. Demikian juga kita— wanita-wanita berharga di mata Allah—yang diberikan banyak kepercayaan selama hidup dunia ini sebelum kembali pulang ke surga. Salah satu kepercayaan itu adalah untuk hidup sesuai dengan status kita.  Bagaimana kita berbicara, tutur kata, topik-topik pembicaraan, pakaian seperti apa yang dikenakan, dan dengan siapa kita bergaul perlu untuk dievaluasi setiap saat, apakah sudah sejalan dengan status kita sebagai “a woman after God’s heart” atau belum. Terlebih penting adalah bagaimana kita menjalani peran kita sebagai wanita yang telah Tuhan kuduskan. Apa yang menjadi standar kita dalam menentukan pilihan-pilhan yang kita buat dalam menjalani hidup ini? “A woman after God’s heart” tidak lagi mendasari kehidupannya dengan apa yang boleh atau tidak boleh, tetapi ia akan memilih apa yang berkenan dan menyenangkan hati Tuhan (Kolose 3:23). Kita  bisa tahu apa yang berkenan dan menyenangkan hati Tuhan dengan membaca dan merenungkan Firman Tuhan setiap hari.

Namun, dalam prakteknya, menjadi wanita yang berkenan di hati Tuhan tidaklah mudah. Kehidupan sebagai wanita tidak lepas dari komunitas dan aktivitas sehari-hari yang penuh dengan tantangan. Sebut saja grup Whatsapp di telepon genggam kita: grup orangtua anak pertama, anak kedua dan seterusnya; grup alumni SMA dan kuliah; group arisan RT/RW; dan grup lainnya. Tidak semua anggota dari komunitas kita memiliki nilai yang sama. Mari bayangkan posisi kita dalam situasi-situasi berikut:

a.     Ketika grup itu mulai berisi gosip dan hoaks, misalnya, bagaimana kita tetap menempatkan diri sebagai wanita-wanita Allah? Apakah kita akan ikut menyebarluaskan chat (khususnya yang bertuliskan forwarded many times) tanpa memastikan kebenarannya terlebih dulu, membiarkan karena tidak ada urusannya dengan kita, atau berani mencari kebenarannya dan meluruskannya di grup tersebut?

b.     Ketika dalam grup itu membandingkan para suami anggotanya, bagaimana kita menanggapinya? Apakah kita akan ikut melakukan hal yang sama (entah apakah suami kita lebih baik/lebih buruk daripada para suami yang lain), atau kita berani melakukan sesuatu yang lebih: berempati kepada para istri yang mempertanyakan pernikahannya, dan menolong mereka untuk mengenal diri mereka sebagai pasangan yang sepadan?

c.     Ketika kita diajak untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan standar kekudusan Tuhan (baik itu di pekerjaan, studi, bahkan pelayanan), bagaimana kita bisa memilih untuk tetap teguh pada nilai-nilai tersebut?

Tentu masih ada banyak situasi yang dapat terjadi, dan memungkinkan sekali bagi kita untuk mengambil tindakan-tindakan lain di samping yang telah disebutkan. Namun satu hal yang perlu kita camkan adalah selalu ada risiko di setiap keputusan kita. Ya, risiko untuk menolak menurunkan standar kekudusan adalah mungkin saja kita bisa dicap aneh atau sok suci oleh orang lain. Ada benarnya bahwa menjadi “a woman after God’s heart” tidak menjadikan kita disukai oleh semua orang, tetapi bukan itu yang menjadi tujuan hidup kita. Memperkenankan Tuhan dan menyukakan hati Tuhan, itulah yang menjadi fokus kita, para wanita-wanita Allah.

Dalam bukunya A woman after God’s Own heart[1], Elizabeth George menuliskan bahwa dengan mengikuti petunjuk Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita akan membuat kita mengalami damai, keteraturan, dan sukacita yang sesungguhnya.  Demikianlah kita semua, wanita berharga yang telah dikuduskan oleh Allah dipanggil untuk hidup sesuai dengan petunjuk dan standar Tuhan. Sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai working mom, sebagai wanita single maupun yang telah berkeluarga, baik dalam peran kita di gereja dan masyarakat, dan di mana pun Tuhan menempatkan kita, kita dipanggil untuk hidup sesuai dengan status kita sebagai “a woman after God’s heart”. Sekali lagi, ini tidak mudah, karena kita hidup di dalam dosa. Namun, kiranya tantangan yang ada mendorong kita untuk selalu bergantung kepada Tuhan, Sang Sumber Kekuatan yang sejati. Biarlah melalui hidup kita, Tuhan disenangkan, sampai suatu hari nanti kita pulang dan menerima mahkota kehidupan dari Sang Empunya Kerajaan Surga.

[1] Elizabeth George. (2015). A Woman after God’s Own Heart. United States: Harvest House Publishers

Previous
Previous

Mengenal Roh Kudus

Next
Next

Sanctified For Living In The Truest Sanctuary