Sanctified For Living In The Truest Sanctuary

by Tabita Davinia Utomo 

“Bagi saya, berada di rumah terasa seperti sedang diproses dalam ‘api penyucian’.”

Kalimat tersebut diungkapkan oleh teman saya pada akhir 2020, ketika dia menceritakan pengalamannya selama di rumah—sejak pandemi Covid-19 mengharuskan kami untuk #belajardirumahaja/#belajardiasramaaja. Istilah yang digunakannya untuk menggambarkan api penyucian adalah purgatory. Meskipun di Alkitab tidak ada istilah tersebut secara harafiah, tetapi seluruh kisah di dalamnya mengajak kita untuk menyadari bahwa bagi orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Kristus, tidak ada kehidupan yang tidak dikuduskan. Seperti pengalaman teman saya tadi, kita memiliki purgatory masing-masing. Mungkin ada di antara Pearlians yang merasa ditempatkan di dalam keluarga (atau pernikahan) yang “salah”, lingkungan studi/kerja yang “toxic”, atau merasa tidak berdaya untuk melayani di tempat yang penuh dengan orang-orang yang memiliki prinsip hidup bertentangan dari Firman Tuhan. Saking jenuhnya, kita ada di titik yang mempertanyakan kepedulian Tuhan: 

“Jadi orang Kristen gini amat, ya? Sengsara melulu… Padahal katanya Tuhan itu peduli. Sekarang pas aku jadi orang Kristen sungguhan, kok, Tuhan berasa jauh banget?”

Di dalam artikel sebelumnya, kita telah belajar pentingnya memiliki “kacamata” yang benar mengenai hidup yang dikuduskan. Ini bukan soal enak atau tidak, mana yang boleh atau tidak boleh, dan apa untung ruginya menjadi orang Kristen. Hidup yang dikuduskan adalah bagaimana kita mengosongkan diri seperti yang Kristus teladankan (Filipi 2:7), meskipun di dalam konteks yang berbeda. Iya, berbeda dari Kristus yang tidak berdosa. Kita adalah manusia yang memberontak di hadapan Allah. Kita berdosa sejak dari kandungan ibu kita. Dosa tidak berhenti muncul ketika Kristus mati di kayu salib—meskipun kuasanya tidak lagi mengekang kita yang percaya kepada-Nya. Kita berdosa bukan hanya karena Adam dan Hawa memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat sebagai simbol pemberontakan terhadap Allah (Kejadian 3), tetapi juga adanya risiko kehidupan kita melenceng dari kehendak Allah melalui pengambilan keputusan yang dilakukan. Ingat, kita diciptakan bukan sebagai robot, Pearlians. Allah menciptakan kita sebagai manusia yang memiliki gambar dan rupa-Nya, tetapi tentu tidaklah 100% seperti diri-Nya. Bagaimana pun, kita adalah ciptaan yang tidak dapat menyamai Sang Pencipta, sehingga ketika ada pemberontakan yang terjadi, maka dosa tidak dapat terelakkan. Namun, bagi kita yang percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat secara pribadi (bukan diwakili oleh kepercayaan orang lain atau hanya dari ritual agamawi), seharusnya kehidupan kita tidak akan pernah sama lagi. Ada perubahan yang sedang Allah kerjakan agar kita menjadi makin serupa dengan Kristus, dan itulah yang disebut dengan proses pengudusan (sanctification)

“Kenapa harus ada sanctification? Kan, bisa aja hidup ini dijalani dengan bebas, nggak perlu membebani diri pakai rasa bersalah kalau lupa baca Alkitab atau berdoa.”

Dear Pearlians, proses pengudusan lebih dari masalah ritual agamawi. Kita bisa saja berdalih ketika lupa baca Alkitab, berdoa, bahkan absen dari ibadah Minggu. Namun lamban laun, kualitas hidup kita juga terpengaruh. Bukankah disiplin rohani seperti tiga hal tadi adalah sarana yang Tuhan sediakan untuk kita berelasi dengan-Nya secara pribadi? Bagaimana kita bisa mengenal orang yang kita kasihi kalau tidak ada usaha untuk berkomunikasi dengan-Nya? Begitu pula Tuhan yang mengasihi kita. Dia juga rindu untuk menjalin relasi dengan kita, dan proses pengudusan menolong kita untuk melakukannya. Melalui proses pengudusan, kita yang berdosa ini dilayakkan untuk “mencicipi” kekudusan Allah—dan Dia bukan Pribadi yang berdosa, sehingga seharusnya ada gap yang besar seperti langit dan bumi (atau bahkan dasar bumi) di antara kita dengan-Nya. Hanya karena anugerah Allah, kita dikuduskan, dan Dia juga menopang kita menjalani proses pengudusan itu. “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu,” kata Kristus di dalam Yohanes 15:4. “Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.”

“Kalau gitu, gimana kita bisa menjalani proses pengudusan itu dengan taat dan setia?”

 

Nah, mari simak beberapa poin berikut ini:

1. Ingatlah bahwa bumi ini BUKANLAH rumah kita

Salah satu lagu yang pernah dinyanyikan oleh paduan suara kami adalah There is a Higher Throne yang ditulis oleh Keith dan Kristyn Getty. Selama berlatih lagu ini, dosen kami sering berkata, “Ingat, ya, bumi ini bukan rumah kita. Hidup yang bener-bener hidup itu nanti di surga bersama Tuhan selama-lamanya.” Setelah dipikir-pikir, benar juga, ya… Di dalam Wahyu, Yohanes menuliskan, “Dia (Allah) akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (Wahyu 21:4). Jadi, kalaupun saat ini kita sedang menderita (atau setidaknya bergumul) karena memegang prinsip kebenaran Firman Tuhan, mari jadikan kitab Wahyu—dan berbagai janji yang Allah berikan mengenai kehidupan kekal—sebagai penghiburan. Itulah sebabnya kita perlu terus bergantung sepenuhnya kepada Allah melalui relasi pribadi bersama-Nya, sebagai bentuk “icip-icip” kehidupan kekal nanti.

2. Mengosongkan diri selangkah demi selangkah

Tuhan tahu seberapa besar potensi dan kelemahan kita, tetapi Dia juga terus mendorong kita untuk mengosongkan diri. Tentu ini bukan berarti kita jadi melakukan hal-hal ekstrim seperti berpuasa 40 hari 40 malam setiap tahun tanpa alasan yang jelas. Tidak, Tuhan tahu limit kita. Tuhan ingin agar kita mengosongkan diri bersama-Nya, mengikuti proses yang Dia tetapkan sebagai cara untuk membentuk kita menjadi makin serupa dengan Kristus. Pertanyaannya, di manakah bagian dalam hidup kita yang harus ditanggalkan? Mungkinkah itu tentang kesombongan, rasa rendah diri, egoisme, atau lainnya?

Salah satu hal yang masih menjadi pergumulan saya saat ini adalah mengosongkan diri dari perfeksionisme. Sebagai kaum perfeksionis, saya sangat mudah merasa bersalah kalau ada hal-hal “kecil” yang missed, sekaligus mudah kesal pada orang lain yang seolah-olah menganggapnya remeh.  Ada kalanya saya bisa menyalahkan diri sendiri, bahkan merasa tidak ingin hidup lagi (haha poor me). Namun, melalui saat teduh, chapel dan ibadah Minggu, proses konseling, dan interaksi bersama dosen maupun teman-teman, akhirnya saya menyadari bahwa selama ini saya menjadikan kesempurnaan sebagai tujuan hidup. Oke, saya juga sadar bahwa tujuan hidup saya hanyalah untuk memuliakan Tuhan dan menikmati Dia selamanya (seperti yang ada di dalam Westminster Shorter Catechism), tetapi tidak salah, kan, untuk menetapkan goals pribadi untuk jadi serbabisa dan sempurna dalam hal-hal yang saya sukai?

Ternyata tidak demikian. Yang Tuhan kehendaki bagi saya (dan Pearlians) adalah menghidupi tujuan hidup yang Dia tetapkan sesuai kapasitas kita. Melihat teman-teman yang lain sudah mencapai goals masing-masing, rasanya saya jadi minder dan tidak ingin melanjutkan perjuangan untuk melakukan hal yang sama. Namun, di titik itulah, Tuhan menuntun saya untuk melepaskan sisi-sisi perfeksionisme saya. Tuhan menyatakan bahwa sebaik atau seburuk apa pun keadaan saya, Dia tetap mengasihi saya inside out, sehingga saya perlu juga menerima diri sendiri apa adanya—tetapi tetap berjuang bertumbuh di dalam-Nya. Dari situ, saya belajar betapa Tuhan ingin agar saya memahami pentingnya proses pertumbuhan, dan menemukan kehadiran-Nya dalam setiap langkah yang saya ambil.

3. Milikilah komunitas yang Christ-centered

Setiap orang percaya membutuhkan komunitas, tetapi tidak semuanya benar-benar memiliki tujuan yang sama: mengalami pertumbuhan iman dan karakter di dalam Kristus. Oleh karena itu, adalah penting bagi kita untuk menemukan komunitas yang demikian sebagai bentuk respons atas kebutuhan kita sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup seorang diri. Melalui komunitas tersebut, proses pengudusan akan terasa indah – walau ada kalanya juga berat, karena kita dapat berbagi pergumulan bersama mereka. Komunitas ini tidak hanya berada di gereja lokal tempat kita tertanam, tetapi juga persekutuan yang bersifat interdenominasi (lintas denominasi).

Mari kita tetap berjuang—dengan pertolongan Roh Kudus—untuk selalu bergantung kepada Allah yang senantiasa mengulurkan tangan-Nya di dalam setiap musim kehidupan. Tidak mudah, memang, tetapi perjuangan ini akan berbuah manis ketika kita berjumpa dengan Allah, Sang Kekasih yang sejati, secara muka dan muka. Selamat menikmati sanctification, Pearlians!

Previous
Previous

A Woman after God’s Heart

Next
Next

Fight for Holiness