Can We Back Off?

by Sandra Priskila 

“Kak, kalau aku sudah berhubungan seks dengan pacarku, apakah Tuhan mengampuni aku?”

Dengan sesenggukan, remaja perempuan ini bercerita kepada saya bahwa pacarnya pernah mengajak berhubungan seks dengannya. Pada saat itu ia mengaku tidak mengerti apa yang mereka lakukan, tetapi setelah lebih banyak belajar barulah ia tahu bahwa itu adalah hubungan seks. Ia merasa rusak dan tidak berharga. Terlihat sekali bahwa ia merasa hancur hati ketika datang untuk bercerita kepada saya.

Pearlians, apakah kita pernah memiliki pertanyaan serupa dengan remaja perempuan ini? Tidak harus tentang seks tentunya, mungkin kita pernah melakukan dosa yang membuat kita merasa begitu hancur dan rusak. Kita tidak berani berhadapan dengan Tuhan karena merasa begitu kotor dan hina. Saking hinanya, kita merasa bahwa Tuhan tidak akan mengampuni kita.

Ya, pada dasarnya, semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Tidak ada seorangpun yang benar (Rm. 3:10) karena tiap manusia membawa natur berdosa sebagai akibat dari kejatuhannya. Karena natur dosa, rusaklah diri manusia, relasi dengan sesama, dan tentunya relasi dengan Tuhan. Walaupun demikian, Tuhan tidak ingin manusia hidup dalam dosa dan binasa karena dosa berujung pada maut (Rm. 6:23). Allah begitu mengasihi manusia hingga Ia merajut kisah keselamatan yang bisa kita baca dalam Alkitab.

Rancangan agung dari Allah berpuncak pada karya keselamatan, yaitu ketika Yesus Kristus mengurbankan diri-Nya untuk menebus umat manusia. Ia mati bagi kita bahkan ketika kita masih berdosa (Rm. 5:8). Seluruh dosa kita ditanggungnya dan dibayar lunas dengan darah yang begitu mahal (1 Pet. 18:19). Meskipun begitu, manusia tidak serta merta mudah menerima bahwa dirinya sudah lunas ditebus sehingga seringkali tetap merasa bersalah dan menghukum dirinya sendiri. Manusia merasa tidak pantas menerima pengampunan dari Allah, walaupun pengampunan tersebut diberikan secara cuma-cuma.

Oleh karenanya, pertanyaan itu muncul lagi: kalau saya sudah berhubungan seksual dengan pacar saya, apakah Tuhan mengampuni saya?

Pearlians, ketika kita mengakui dosa kita, Tuhan mengampuni dan memberikan kita kesempatan untuk kembali berjalan dalam terang-Nya. 1 Yohanes 1:5-9 mengungkapkan bahwa Allah adalah terang, sehingga di dalam Dia tidak ada kegelapan. Menjadi anak-anak terang berarti kita meninggalkan kehidupan dalam kegelapan dan masuk kepada hidup dalam terang. Hidup dalam terang juga berarti terus-menerus mengakui dosa, meminta ampun, disucikan oleh darah Kristus, dan tidak berbuat dosa lagi.

Tuhan menebus kita dari setiap hal yang menjerat kita. Dosa dan maut tidak lagi membelenggu kita. Namun, sebagai manusia dengan natur berdosa, kita tetap bisa memilih untuk berbuat dosa karena daging itu lemah (Mat. 26:41). Dosa digambarkan terus mengintip di depan pintu dan berkeliling seperti singa mencari mangsa (Kej. 4:7; 1 Pet. 5:8). Berbicara tentang dosa seksual, Paulus mengingatkan kita untuk lari (1 Kor. 6:18). Ya, begitu kuatnya dosa seksual menggoda hingga kesannya sulit untuk lepas dari dosa tersebut, bukan? Karena itulah, maka  kita harus lari dari godaan itu, sekecil apa pun bentuknya. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan menjadi lemah karena godaan-godaan demikian.

Pearlians, dalam pacaran tentu kita memiliki pilihan untuk terlibat secara seksual atau tidak. Sebagai anak-anak terang, tentu ini adalah godaan dosa sekaligus ujian bagi iman kita: seberapa kuat batas yang kita buat dan bagaimana kita dapat disiplin melakukannya? Namun, sering kali keputusan untuk melakukan aktivitas seksual merupakan keputusan kilat berdasarkan emosi ataupun situasi. Tidak banyak yang betul-betul mempertimbangkan dampaknya terhadap diri mereka. Banyak yang tidak menyadari bagaimana pengaruh aktivitas seksual bagi kedua manusia yang berelasi secara romantis.

Seks diciptakan oleh Allah sebagai anugerah yang indah untuk dinikmati dalam pernikahan. Seks adalah bentuk keintiman dari relasi manusia yang paling dalam, yaitu suami dengan istri. Seks juga adalah bentuk pemberian diri yang total kepada pasangan dengan mengutamakan kepentingan pasangan dan mengekspresikan cinta kepadanya, sebagaimana Allah juga totalitas dalam mengasihi manusia. Dalam bukunya yang berjudul Sex and Dating, Mindy Meier menyebutkan bahwa setidaknya ada tujuh tujuan seks diciptakan:

1.     kenikmatan;

2.     penyatuan (bonding);

3.     regenerasi;

4.     komunikasi;

5.     transformasi dari mencintai diri sendiri menjadi mencintai orang lain;

6.     pelepasan emosi; dan

7.     cerminan dari kerinduan manusia akan Allah.

Indah, bukan?

Namun, keindahan itu akan lenyap jika tidak dilakukan dalam relasi pernikahan. Ketika seseorang melakukannya tanpa ikatan pernikahan, tujuan seks yang sebenarnya justru menjadi kabur, sehingga manusia akan memiliki perspektif yang terdistorsi mengenainya. Image seks pun menjadi negatif. Menyebutkan atau bahkan memikirkan tentang seks menjadi suatu hal yang buruk. Pengalaman seksual akan menjadi pengalaman yang traumatis dan menimbulkan luka dalam diri manusia. Sungguh ironis ketika apa yang Tuhan ciptakan dengan indah justru rusak karena dosa.

Ya, seks memang bukan hanya soal apa yang kita lakukan dengan tubuh kita. It’s more than that. Seks juga melingkupi emosi, rasa percaya, dan dorongan untuk tidak mementingkan diri sendiri. Perasaan semacam ini tentu dapat dirasakan, diberikan, dan diterima dalam relasi yang cukup dalam. Dalam pernikahan, keterikatan emosi seperti ini sangatlah baik karena akan membuat suami-istri semakin dekat dan memahami satu sama lain. Namun, dalam relasi pacaran, justru inilah yang bisa merusak diri dan juga relasi. Keterikatan emosi membuat kedua orang yang berpacaran cenderung melakukannya lagi dan merasa tidak bisa lepas dari pasangannya. Bahkan jika salah satu melakukan kekerasan—baik secara fisik, verbal, maupun emosi—keterikatan emosi ini dapat menyebabkan dia sulit melepaskan diri dari relasi tersebut.

Selain keterikatan emosi, tentu juga ada rasa bersalah apalagi karena bertentangan dengan nilai yang kita anut sebagai anak-anak terang. Rasa bersalah yang meluap dan berulang-ulang dapat membuat kita merasa sulit untuk mengampuni diri kita sendiri. Karena merasa sudah terlanjur hina, kita merasa tidak ada bedanya kita tetap melakukan dosa ataupun tidak. Kita merasa tidak ada gunanya memohon ampun, jadi kita akan cenderung tetap melakukannya. Jika kita tidak segera menyadari hal ini, kita bisa terjebak dalam vicious cycle yang akan membuat kita semakin sulit untuk mengalami anugerah Tuhan dan berbalik dari kehidupan dalam gelap.

Pearlians, tidak ada kata terlambat selama Tuhan masih memberikan kita kesempatan untuk hidup. Ketika sadar bahwa kita masih hidup dalam dosa, kita perlu datang kepada Tuhan dan memohon ampun. Kita perlu bertobat dengan sungguh-sungguh untuk kembali berjalan bersama Tuhan. Bagi kita yang sedang berpacaran dan pernah melakukan aktivitas seksual dalam bentuk apapun, inilah saatnya untuk mundur dan berbalik kepada hidup dalam terang. Mintalah ampun kepada Tuhan, maka Ia akan menunjukkan jalan yang harus kita tempuh. Bagi kita yang sering menghadapi godaan akan aktivitas seksual, larilah! Hindari situasi ataupun hal-hal yang dapat menjadi stimulus untuk aktivitas seksual. Perbanyak aktivitas yang menyenangkan dan bermanfaat bersama pacar, seperti berolahraga, berkunjung ke tempat wisata, makan di cafe, dan deep talk. Hindari tempat-tempat yang sunyi dan sepi. Baik juga untuk bisa berkumpul tidak selalu berdua, misalnya bersama teman-teman ataupun ikut persekutuan bersama. Ingat untuk menjaga relasi dengan Tuhan melalui saat teduh pribadi. Dalam waktu pribadi juga, biasakan mengonsumsi hal-hal yang berguna untuk perkembangan diri, termasuk membaca artikel rohani seperti yang bisa kita temukan melalui Majalah Pearl.

“Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar”
(Yesaya 59:1)

Tuhan selalu mendengarkan apa yang menjadi pergumulan kita, termasuk permohonan ampun akan dosa-dosa kita. Tuhan yang sudah menyelamatkan kita adalah Tuhan yang tak pernah lalai dalam menepati janji-Nya (2 Pet. 3:9). Termasuk di dalam menjalani kehidupan ini, Tuhan berjanji selalu menyertai dan tidak akan membiarkan kita jatuh tergeletak (Yes. 41:10; Mzm. 37:23-24). Dalam jatuh-bangun kehidupan kita, termasuk dalam pergumulan dengan dosa, Ia berjalan bersama kita dan siap mengangkat kita ketika kita terjatuh. Ingat: Ia tidak akan pernah meninggalkan kita (Ibr. 13:5).

Pearlians, seluruh diri kita, termasuk tubuh kita, adalah milik Tuhan. Kita dan tubuh kita yang sudah ditebus seharusnya menjadi saksi bagaimana kita hidup dalam Kristus (Gal. 2:20). Mari kita menjadikan seluruh tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1). Jika kita memelihara dan melatih tubuh kita untuk hidup kudus dalam terang Tuhan, percayalah bahwa Tuhan juga dapat memakainya menjadi kesaksian akan Dia dan memuliakan-Nya (1 Kor. 6:20).

Previous
Previous

Loving Your Spouse 101 #Part 1

Next
Next

How to Choose the Right Partner to Marry