Loving Your Spouse 101 #Part 1

by Sandra Priskila

“We fall in love by chance. We stay in love by choice.”

Kutipan tersebut adalah sebuah kutipan yang pernah saya baca entah dalam media sosial atau artikel tentang percintaan. Biasanya, kutipan ini dipakai untuk mengingatkan pasangan bahwa tetap mencintai pasangannya adalah sebuah pilihan—terutama ketika mereka mulai goyah, ragu, atau merasa kehilangan rasa cintanya. Bersama dengan kutipan tersebut, ada kutipan lain yang berbunyi demikian:

“Never forget why you fell in love in the first place.”

Kutipan ini mengingatkan hal apa yang membuat pasangan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dengan demikian, kedua kutipan tersebut seringkali dipakai sebagai sebuah motivasi untuk mengingat perjuangan mereka dalam saling mencintai, mulai dari awal mereka jatuh cinta hingga jatuh-bangun dalam mencintai.

--**--

Pearlians, mungkin tidak semua yang membaca artikel ini dapat setuju dengan kedua kutipan tersebut. Misalnya, keduanya berpeluang untuk dipakai sebagai cara untuk memanipulasi pasangan agar tetap mencintai sekalipun disakiti. Mungkin saja ada juga yang merasa kedua kutipan tersebut terlalu klise karena sudah menjalani pahit-manis dari percintaan dan pernikahan, sehingga ada banyak keraguan yang bisa muncul.

Apakah kita masih bisa yakin akan tetap mencintai pasangan kita dalam pernikahan sekalipun ada pergumulan yang sulit?

Apakah cinta cukup untuk mempertahankan sebuah pernikahan?

Apakah alasan yang membuat kita mencintai pasangan cukup kuat untuk dipertahankan melalui apapun gelombang kehidupan yang dilalui?

Berbagai realitas suami-istri di sekitar saya serta mengetahui wawasan tentang berbagai aspek dalam pernikahan membuat saya merasa bahwa pernikahan adalah sebuah relasi yang membutuhkan usaha untuk membangunnya. Dalam buku “Sacred Marriage,” ada sebuah bab yang menarik, yaitu tentang belajar mencintai. Jika hanya sekilas membaca, kita mungkin akan heran: mengapa mencintai juga perlu belajar? Tak terpikirkan bagi saya bagaimana caranya benar-benar belajar untuk mencintai. Kita bisa belajar banyak bidang ilmu melalui kuliah, kursus, maupun seminar, tetapi tidak ada yang namanya “sekolah cinta”. Namun, jika dipikirkan lagi, memang betul bahwa untuk mencintai pun kita perlu belajar.

Setelah membaca bab tersebut, saya mengambil beberapa hari jeda sebelum lanjut membaca bab selanjutnya. Saya merasa overwhelmed oleh apa yang saya baca dan mendapati bahwa ternyata mencintai itu sulit. Ya, sulit! Mungkin kita bisa bertanya kepada suami-istri di sekitar kita, “Lebih banyak sulit atau mudahnya dalam mencintai pasanganmu?” Kita juga bisa mencari tahu hal apa yang menjadi tantangan dalam menjaga api cinta dalam kehidupan pernikahan mereka. Saya yakin, mereka akan bercerita betapa sulitnya mencintai pasangan bahkan karena sebab-sebab yang tampak remeh seperti menaruh barang sembarangan atau lupa mengunci pintu rumah. Bagi yang sudah menikah, kita juga bisa berefleksi dengan pasangan akan kedua hal tersebut, dan coba lihat apa yang akan kita temukan.

Dalam bab tersebut, dijelaskan bahwa sebagai manusia yang berdosa, cinta bukanlah respons yang alami yang akan secara otomatis mengalir keluar dari dalam diri kita. Sebaliknya, kebencian adalah mata air yang pasti memancar dari dalam diri kita. Oleh karena itu, “Cinta orang kristiani haruslah dikejar, dicita-citakan, dan dipraktikkan.”

Relasi pernikahan adalah sebuah prototype yang sangat baik akan relasi antara Tuhan dan umat-Nya. Walaupun demikian, prototype ini tidaklah sempurna karena kedua pihak yang terlibat di dalamnya: sepasang manusia yang berdosa. Sebagai manusia yang secara alami lebih mudah mengekspresikan kebencian daripada cinta, ini membuat relasi penuh cinta antarmanusia menjadi sulit. Gary Thomas bahkan menuliskan dalam bab ini bahwa, “Pernikahan menciptakan situasi di mana cinta mengalami ujian terberat.”

Delapan tahun yang lalu, mama saya mendapatkan vonis kanker payudara stadium 3B. Vonis ini menyebabkan salah satu payudaranya harus diangkat. Masa-masa operasi, pemulihan, dan kemoterapi merupakan masa-masa yang cukup menantang bagi keluarga kami, bahkan sulit bagi papa saya. Papa harus menunggu ketika Mama menjalani tindakan dan dirawat selama pemulihan, lalu mengantar dan menemani selama proses kemoterapi. Sebuah ucapan yang berulang kali Papa katakan ketika Mama dalam masa pemulihan dari operasi adalah “Tolong doakan mama, ya.” Ketika itu saya bisa melihat sisi baru dari Papa: seorang suami yang sangat mencintai istrinya dan takut akan kehilangan istrinya.

Seberapa berat ujian cinta dalam pernikahan tentu berbeda-beda antara pasangan satu dengan yang lainnya. Tidak semua pasangan mengalami apa yang papa-mama saya alami. Namun, kita bisa mengingat tulisan Paulus dalam 1 Korintus 10:13:

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

Tuhan memahami tiap anak-Nya dan tidak akan memberikan ujian yang tidak bisa dilalui oleh setiap orang maupun pasangan dalam pernikahan. Ujian yang diberikan akan memiliki jalan keluar sehingga tiap pasangan dimampukan untuk melaluinya. Lebih dari itu, Tuhan memberikan kekuatan yang cukup agar tiap pasangan dapat menanggungnya.

Dalam Kidung Agung, Salomo mengatakan bahwa cinta kuat seperti maut dan nyalanya seperti nyala api Tuhan (Kid. 8:6). Sebegitu besarnya kekuatan cinta hingga diibaratkan seperti maut yang tak dapat terhindarkan. Rasul Yohanes juga menyatakan bahwa dalam kasih tak ada ketakutan (1 Yoh. 4:18). Dari kedua ayat ini saja kita dapat menangkap bahwa cinta memiliki karakter yang kuat dan berani. Cinta tidak hanya lembut sebagaimana seringkali digambarkan iklan komersial atau disimbolkan dengan warna merah muda. Karena cinta juga, Allah Bapa memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk menebus umat manusia agar tidak binasa dan mendapatkan hidup yang kekal (Yoh. 3:16).

Rasul Yohanes mendedikasikan satu kitab Injil dan setidaknya satu perikop yang jelas dalam suratnya untuk menggambarkan betapa Allah mencintai manusia dan Ia adalah Sang Cinta itu sendiri. Kekuatan cinta memberikan dorongan yang kuat kepada manusia untuk melakukan sesuatu demi cinta itu. Sebegitu cintanya orang tua kepada anak, maka mereka rela bekerja keras agar kebutuhan anaknya tercukupi. Sebegitu cintanya pasangan sehingga ia rela bersabar merawat dan mendampingi pasangannya yang sakit. Cinta dapat menjadi dorongan kuat yang menghasilkan tindakan yang baik bagi orang yang menerimanya. Namun, cinta yang kuat itu juga dapat menghasilkan tindakan yang merugikan orang lain. Lalu, bagaimana agar kita dapat mencintai supaya menghasilkan relasi yang baik dengan orang lain, terlebih dengan pasangan?

Jika kita ingin mendapatkan air yang segar, tentu kita akan mencari mata air yang alami, bukan comberan yang kotor dan bau. Jika kita ingin mendapatkan cinta yang murni, tentu kita akan mencari sumber cinta yang juga murni, bukan yang ternodai. Sumber cinta yang murni itu tidak lain dan tidak bukan adalah Tuhan kita sendiri. Jika kita ingin dapat mengekspresikan cinta yang membangun relasi, kita dapat melihat contoh dari Sang Cinta yang memberikan diri-Nya bagi umat yang dicintai-Nya. Jika kita ingin belajar mencintai, kita dapat belajar dari Sang Cinta itu sendiri.

Mencintainya untuk Mencintai-Nya

Di dalam bab ini, Gary Thomas menuliskan sebuah kalimat yang mengingatkan kita demikian:

“Sekali kita memasuki gerbang pernikahan, kita tidak dapat lagi mencintai Tuhan tanpa mencintai pasangan kita.”

Paulus juga mengingatkan jemaat di Kolose untuk melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, dan saya rasa hal ini termasuk mencintai (Kol. 3:23). Ketika mencintai orang lain, kita perlu mengingat bahwa kita mencintai mereka seperti kita mencintai Tuhan. Hal ini terutama sangat benar dalam relasi suami-istri dalam pernikahan. Cinta dalam pernikahan juga harusnya menjadi persembahan yang dikuduskan untuk Tuhan sebagai ekspresi cinta kepada Tuhan.

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu,” demikianlah bunyi Markus 12:30 yang menunjukkan salah satu hukum yang terutama. Mencintai Tuhan membutuhkan seluruh aspek diri kita: hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan. Hati adalah pusat kehendak manusia, yang darinya memancar kehidupan (Ams. 4:23). Jiwa kita memuat dorongan-dorongan yang diwujudkan melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan kita. Akal budi memampukan kita berpikir tidak hanya secara logis, tetapi juga moral. Kekuatan adalah aspek fisik atau ketubuhan kita yang menjadi alat untuk melakukan segala sesuatu yang terdapat dalam hati, jiwa, dan akal budi. Dengan demikian, mencintai Tuhan berarti menyerahkan segenap diri dan kehidupan kita sebagai ekspresi cinta kepada Tuhan.

Masalahnya, manusia yang tercemar oleh dosa memiliki respons alami untuk melakukan yang jahat daripada yang baik. Manusia cenderung otomatis mengekspresikan kebencian daripada cinta. Apabila respons otomatis ini tidak dikendalikan, manusia jelas akan berbuat jahat kepada sesamanya. Lalu, bagaimana mungkin manusia yang seperti itu dapat mengekspresikan cinta menggunakan seluruh aspek dirinya?

Sebagai tanggapan-Nya terhadap keadaan kita, Tuhan—melalui Yehezkiel—mengatakan bahwa Ia memberikan hati dan roh yang baru, yaitu hati yang taat dan Roh yang memampukan kita untuk mematuhi hukum-Nya (Yeh. 36:26-27). Artinya, Tuhan sendirilah yang akan memampukan kita untuk menaati hukum-Nya, yaitu hukum untuk mencintai-Nya dengan segenap diri kita. Ini adalah anugerah yang tak ternilai dan begitu mengagumkan! Manusia berdosa yang sudah ditebus dibebaskan dari jerat maut dan dosa, dijanjikan keselamatan, dan menerima Roh Kudus yang berdiam dalam dirinya untuk menuntun kehidupannya. Jika kita menerima tuntunan Roh Kudus dalam hidup kita dan membiarkan hati kita terus-menerus disucikan, kita akan dimampukan untuk semakin mencintai Tuhan dari hari ke hari.

Dengan mengingat bagaimana kita dapat mencintai Tuhan, kita juga dapat sekaligus mengingat untuk mencintai pasangan kita. Seperti mencintai Tuhan, kita juga dapat mencintai pasangan kita dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan kita. Hati, yang adalah pusat kehidupan, harus kita jaga dengan penuh kewaspadaan akan apa saja yang masuk ke dalam maupun keluar darinya. Kita juga harus melatih untuk mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam jiwa kita agar apa yang terwujud melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan dapat memancarkan cinta bagi pasangan kita. Akal budi harus kita pakai ketika memberikan keputusan maupun mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan kita. Kekuatan fisik dapat kita pakai dalam melakukan tindakan untuk melayani pasangan, seperti melakukan pekerjaan rumah, ataupun memberikan diri untuk menyentuh pasangan, seperti memeluk dan menggandengnya. Ekspresi cinta kepada pasangan selain merupakan ekspresi cinta kepada Tuhan, juga akan melatih bagaimana kita dapat mengekspresikan cinta kita kepada Tuhan.

Sekarang, setelah belajar bahwa mengasihi Tuhan adalah menyangkut seluruh aspek kehidupan kita (termasuk relasi dengan pasangan, khususnya di dalam pernikahan), apa yang perlu menjadi follow-up kita? Bukankah dalam relasi pun pun kita berpotensi melukai pasangan kita? Mari, kita temukan jawabannya minggu depan. See you, Pearlians!

Previous
Previous

Loving Your Spouse 101 #Part 2

Next
Next

Can We Back Off?