How to Choose the Right Partner to Marry

by Leticia Seviraneta 

Hidup kita merupakan hasil dari serangkaian keputusan yang kita ambil. Ada yang pernah berkata bahwa dua keputusan yang paling mengubahkan hidup kita adalah pilihan karir yang kita tekuni dan pilihan pasangan hidup. Dalam memilih pasangan hidup, banyak yang memilih berdasarkan perasaan cinta, faktor materi, dan banyak hal lainnya. Namun, bagaimanakah cara paling bijak untuk memilih pasangan hidup yang berkenan kepada Tuhan? Melalui bukunya, The Sacred Search, Gary Thomas memberikan banyak petunjuk untuk kaum lajang agar dapat memilih dengan bijaksana sehingga dapat membangun pernikahan yang sehat dan memuliakan Tuhan.

Sebelum melangkah ke cara praktis bagaimana memilih pasangan yang tepat untuk kita nikahi, kita diingatkan kembali ke satu prinsip yang diajarkan oleh Yesus. “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33) Dari ayat ini, dapat ditarik dua nilai penting yang membuat sebuah pernikahan berhasil: tujuan dan pertumbuhan karakter. Yesus mengarahkan kita kepada apa yang membawa kepada kepuasan sesungguhnya dalam hidup kita, yaitu melayani kerajaan Allah (bukan tujuan egois kita) dan bertumbuh dalam kebenaran. Prinsip ini perlu terus kita pegang ketika kita melangkah maju dan bertemu dengan beragam calon potensial untuk pasangan hidup kita. Apakah orang ini memiliki visi yang sama untuk melayani Tuhan dalam hidupnya? Apakah orang ini memiliki karakter yang seperti Kristus dan terus bertumbuh di dalam-Nya? Temukan partner yang bersamanya kamu dapat mencari dahulu kerajaan Allah, seseorang yang menginspirasimu untuk berjalan dalam kebenaran, dan ketika kamu menemukannya maka “semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”

Mari kita lihat kisah hamba Abraham yang berdoa meminta petunjuk Tuhan dalam menentukan pasangan hidup bagi anak Abraham, Ishak.

Lalu berkatalah ia: “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham. Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya terjadilah bergini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan unta-untamu juga akan kuberi minum—dialah kiranya yang Kautentukan bagi hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu.”

Yang didoakan hamba Abraham itu sebenarnya adalah perihal karakter dari sang perempuan, bukan hanya meminta tanda sesederhana pakaian yang dikenakan atau “kebetulan” yang diharapkan terjadi. Untuk menawarkan minum bagi unta-untanya juga di saat sang hamba hanya meminta minum untuk dirinya sendiri menggambarkan karakter yang sangat baik dan murah hati. Setiap unta dapat minum sampai 25 galon air, dan sang hamba membawa 10 unta! Terlebih lagi si perempuan perlu menimba secara manual air tersebut dari sumur. Bukan hanya membutuhkan energi yang banyak tetapi juga waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Dari kisah ini dapat kita tarik satu pelajaran yang sangat berharga, yaitu: pilihlah seseorang dengan karakter yang bersinar dari yang lainnya.

Pilihlah seorang yang dewasa dalam imannya kepada Tuhan. Setiap kita yang percaya kepada Kristus berada dalam beragam tahapan pertumbuhan. Namun, yang perlu kita cari dan harus ada dalam diri kita dan pasangan kita untuk membangun pernikahan yang berhasil adalah kedewasaan. Kita tidak berharap seorang berumur 21 tahun untuk memilki semua elemen ini dalam bentuk yang sudah matang, tetapi kita sudah dapat melihat fondasi dari elemen-elemen kedewasaan ini. Seorang yang dewasa secara rohani menunjukkan tanda terhubungnya dirinya kepada Tuhan melalui doa, membaca firman-Nya, dan melayani-Nya. Seorang yang dewasa rohani juga pada akhirnya akan menunjukkan buah karakter sebagai berikut:

1)    Rendah Hati

Humility is not thinking less of yourself, it is thinking less about yourself. Seorang yang rendah hati bukanlah menilai dirinya sendiri rendah, melainkan lebih sedikit memikirkan tentang dirinya sendiri dan mengutamakan orang lain. Orang yang rendah hati adalah seseorang yang seperti Yesus, percaya bahwa ia ada bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Markus 10:45). Orang yang rendah hati menyadari akan dosanya, bahwa ia masih memiliki banyak ruang untuk bertumbuh setiap hari, dan menaruh pengharapan mereka kepada kasih karunia Tuhan. Dalam hubungannya dengan pasangan, ia menjadi seorang yang terbuka akan masukan akan apa yang perlu ditingkatkan dalam dirinya dan mau mengambil langkah konkrit untuk memperbaiki kesalahannya serta memiliki tujuan untuk terus dapat melayani dengan lebih baik. Ketika terjadi perbedaan pendapat, seorang yang rendah hati dapat mempertimbangkan kemungkinan bahwa ia mungkin salah dan ia akan berusaha mengerti sudut pandang pasangannya. Sebaliknya, seorang yang tinggi hati akan sulit melihat kesalahannya dan menuntut pasangannya yang harus berubah. Tiga kali dalam Alkitab mencatat, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” (Amsal 3:34; Yakobus 4:6; 1 Petrus 5:5). Hal ini menunjukkan seberapa pentingnya karakter ini di mata Tuhan. Kerendahan hati adalah fondasi dasar karakter dan hubungan yang intim dan bertumbuh.

2)    Mampu Memaafkan

“Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.” (Yakobus 3:2)

Dalam pernikahan, akan ada saat-saat dimana kita mengecewakan pasangan, ketika kita membuat keputusan finansial yang salah kemudian menyulitkan pasangan kita, ketika kesehatan menurun dan membutuhkan dukungan dari pasangan yang akan menyita lebih banyak waktunya, dsb. Oleh karena itu, pengampunan menjadi faktor yang sangat esensial. Banyak pasangan yang bisa bertahan menghadapi perselingkuhan, sakit kronis, kebangkrutan, dan tragedi-tragedi lainnya—namun pernikahan tidak akan mampu bertahan bila  tidak ada kemauan untuk mengampuni.

Bagaimana bisa mengetahui orang yang kita kasihi mampu mengampuni atau tidak? Orang tersebut menyadari akan kebutuhannya sendiri akan pengampunan dan bergantung penuh pada kemurahan hati dan kasih karunia Tuhan dalam kesehariannya. Hanya orang yang telah menerima pengampunan dari Tuhan yang dapat meneruskan pengampunan tersebut kepada manusia yang bersalah kepadanya. Bila seseorang sulit mengampuni di masa pacaran, maka ia akan jauh lebih sulit mengampuni di dalam pernikahan.

Pengampunan bukan berarti ketiadaan konsekuensi dosa. Bila selama berpacaran, pacar kita berselingkuh, kita perlu mengampuninya, tetapi tidak perlu melanjutkan hubungan tersebut sampai ke pernikahan. Demikian juga bila pacar memukul kita dengan kasar (apalagi sampai melempar barang yang berisiko melukai) selama masih berpacaran, kita perlu mengampuninya, tetapi hubungan tersebut harus dihentikan. Kita harus dapat membedakan tindakan mana yang sudah menjadi bagian dari karakter yang buruk dari orang tersebut dan mana yang dapat ditoleransi tanpa berdampak besar dalam sebuah hubungan.

3)    Menangani Konflik secara Sehat

Dalam hubungan pasti akan ada konflik. Namun, bagaimana kita akan meresponsnya? Apakah kita dapat bertumbuh lebih dekat karena konflik tersebut, atau malah semakin menjauh? Segala bentuk kekerasan baik berupa ancaman, teriakan, kekerasan fisik—adalah cara yang tidak sehat dalam menangani konflik. Jangan menoleransi karakter pemarah dalam seseorang. Kita harus selalu memiliki pola pikir: segala keburukan karakter yang kita lihat di masa pacaran, akan bertambah 100 kali lipat di masa pernikahan. Bila dibayangkan, dapatkah kita bahagia di saat keburukannya sekarang ini bertambah 100 kali lipat?

4)    Mampu Berkomunikasi dengan Baik

Keintiman dibangun melalui keterbukaan, kepercayaan (trust), saling mendengarkan, pengertian (understanding), dan diskusi terhadap masalah yang ada. Jika seseorang tidak suka berbicara atau menolak untuk berbicara, keintiman akan menghadapi jalan buntu. Salah satu pola hubungan yang berbahaya adalah silent treatment atau stonewalling. Banyak orang yang menolak untuk mengungkapkan apa yang mengganjal di hatinya, dan ketika ia melakukannya ia juga menolak untuk terhubung. Mengabaikan masalah atau sakit hati tidak akan membuat masalah tersebut hilang, melainkan malah mengaktifkan masalah tersebut dan berpotensi berkembang menjadi kepahitan. Ada yang membutuhkan waktu untuk memproses apa yang kita pikirkan dan rasakan akan masalah yang ada. Namun selama kita pada akhirnya mau kembali ke pasangan untuk membicarakannya, itu bukanlah stonewalling. Terlepas dari temperamen orang itu ekstrover atau introver, masing-masing perlu belajar untuk dapat mengkomunikasikan masalah dan memecahkannya secara sehat.

Tuhan telah memperlengkapi kita dengan hikmat untuk memilih pasangan yang tepat untuk kita nikahi. Ingat kembali kepada prinsip dasar: “Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33) Utamakan selalu kesamaan visi dalam melayani Tuhan dan karakter Kristus dalam diri orang tersebut. Kemudian, carilah yang telah bertumbuh dalam karakter esensial serta keahlian dalam berhubungan (relational skills). Ini semua akan menjadi fondasi kuat dalam pernikahan kelak. Plus, kita juga harus menempatkan diri di tempat di mana kita bisa temukan (tidak hanya di gereja, tetapi juga di sekolah/kampus, tempat kerja, lembaga sosial, dsb.). Tuhan tidak membawakan pasangan hidup tepat ke depan pintu rumahmu. Perluas lingkaran pergaulanmu, bangunlah karaktermu dan hubunganmu. Di waktu yang tepat, maka Tuhan—yang membentuk kita dan (calon) pasangan—akan mempertemukan kita dengan cara-Nya yang ajaib. Kiranya dari perjalanan iman ini pun, kita makin mengenal Tuhan yang misterius itu dan menerima penyingkapan diri yang diutuhkan oleh anugerah-Nya.

Previous
Previous

Can We Back Off?

Next
Next

Hai, “Rubah Kecil”, Keluarlah dari Pagar Kami: Sebuah Cerita Pendek