Dasar Kuat Pernikahan Kristen (Part I)

19 Juli_translation_Dasar Kuat pernikahan Kristen Blog.jpg

by Sofia Tjiptadjaja, alih bahasa oleh Mekar Andaryani Pradipta

Proverbs 14:1: The wise woman builds her house, but with her own hands the foolish one tears hers down.

Benih Pemberontakan

Saya pernah iseng berkata kepada suami saya, kalau saya besar di Amerika jaman ini, mungkin saya akan jadi salah satu anak yang sangat bingung dan menjalani terapi perubahan gender. Pikiran itu muncul karena, saat ini, ide perubahan gender sudah sangat umum dan tidak lagi dianggap konyol seperti pada masa generasi sebelumnya. 

Saat saya berumur delapan atau sembilan tahun, jiwa anak-anak saya yang sederhana sudah dapat merasakan bahwa menjadi seorang pria lebih membawa banyak keuntungan daripada menjadi seorang wanita. Jadi, waktu itu saya berdandan dan bertingkah laku memirip-miripkan diri dengan Ayah saya, berharap suatu hari nanti saya pelan-pelan berubah menjadi pria.

Saya juga melakukan riset tentang perubahan jenis kelamin, khususnya tentang bagaimana seorang perempuan menjadi laki-laki. Saya bahkan bertanya pada Mama, “Apakah saya bisa melakukan operasi ganti kelamin?”

Saya ingat Mama menjawab sekedarnya, “Nak, keinginanmu itu hampir tidak mungkin. Kalau laki-laki jadi perempuan mungkin bisa, tapi sebaliknya, sulit. Mama tidak bisa membayangkan bagaimana dokter memasang kelamin laki-laki ke anak perempuan.”

Singkat cerita, jawaban Mama yang sederhana mengakhiri obrolan. Sampai waktu SMP, saya ingin menjadi biarawati karena saya tidak ingin menjadi ‘bawahan’ pria, tapi saya berubah pikiran saat SMA karena saya mulai memikirkan kemungkinan menikah dan memiliki anak. 

Konyol memang, tapi saya di umur delapan tahun itu sangat serius. Dorongan untuk menolak jenis kelamin saya itu datang dari benih dosa dan pemberontakan ditambah anggapan bahwa kepemimpinan pria sudah gagal. 

Dua hal itu membuat mayoritas wanita menjadi sulit taat, termasuk sulit menempatkan hidupnya menjadi tanggung jawab orang lain. Mempercayakan hidup kita kepada Tuhan yang baik dan sempurna saja rasanya sulit, apalagi kepada manusia. 

Tuhan mengijinkan saya untuk bergumul dengan identitas gender saya selama bertahun-tahun. Pada masa-masa awal pernikahan, suami saya mengatakan sulit rasanya memiliki “dua pria” di dalam pernikahan. Saat kedua anak perempuan kami lahir, saya merasa sedikit menyesal saat membayangkan kehidupan seperti apa yang menunggu mereka. 

Tapi dengan sabar Tuhan tetap memroses saya, membawa saya ke arah yang benar. Baru belakangan ini saya bisa menerima gender saya dan apa yang menjadi konsekuensinya. Menjadi wanita adalah kehendak Tuhan, dan karenanya saya sangat bersyukur.

Ketaatan Satu Sama Lain

Wanita yang bijak membangun rumahnya, tetapi wanita yang bodoh meruntuhkannya. Kita membangun rumah dengan memahami dan mengimani peran kita di dalam keluarga. Kita menghancurkan rumah kita dengan melangkah di luar batas dan tidak melakukan apa yang menjadi tanggung jawab kita. 

Kebanyakan wanita memiliki dua peran di rumahnya: menjadi istri dan ibu. Saya percaya bahwa menjadi orang tua yang hebat berasal dari menjadi pasangan yang hebat. Jika kita memiliki pernikahan yang baik, biasanya perjalanan menjadi orang tua juga cenderung lebih mudah. Pernikahan yang baik disini berarti memiliki dinamika hubungan suami dan istri yang sesuai dengan Firman Tuhan. 

Ada dua pandangan yang muncul dalam diskusi mengenai hubungan suami dan istri, yaitu pandangan komplementarian dan egalitarian. Keduanya percaya bahwa pria dan wanita memiliki nilai yang setara. Tapi, komplementarian meyakini bahwa ada peran-peran tertentu yang melengkapi satu sama lain, serta ada hierarki pernikahan dimana suami adalah pemimpin dan istri adalah pengikut. Kebalikannya, dalam pandangan egalitarian, tidak ada hierarki, baik suami atau istri memiliki otoritas, kesempatan, peran dan tanggung jawab yang sama. 

Kita tidak perlu khawatir mengenai apakah kita harus menjadi komplementarian atau egalitarian. Keselamatan dalam Yesus tidak tergantung kepada salah satu dari keduanya. Banyak pernikahan, baik komplementarian maupun egalitarian, yang bahagia dan penuh.

Saya berusaha memahami dan belajar dari keduanya. Pada akhirnya saya menyimpulkan: menjadi taat bukan hanya untuk ditujukan untuk para istri Kristen, tapi juga untuk semua orang Kristen. 

 

Ketaatan pada Firman baik Bagi Suami Maupun Istri 

Kata Yahudi untuk “taat” adalah “hupotasso” yang berarti kerelaan untuk menyerah, bekerja sama, menjalankan tanggung jawab dan menanggung beban. 

Saya percaya baik suami dan istri harus memiliki ketaatan untuk bisa membuat satu sama lain bahagia. Suami dan istri harus saling taat, walaupun suami tetap menjadi pemimpin dan istri pengikut. Cara suami yang adalah pemimpin taat kepada istrinya tentu berbeda dengan cara istri sebagai pengikut taat kepada suaminya. 

Mengikuti teladan Kristus berarti menjadi taat, tidak hanya saat kita menjadi pengikut, tapi juga saat kita menjadi pemimpin atau kepala. Masih ada dinamika pemimpin dan pengikut dalam pernikahan, tapi prinsip ketaatan seharusnya berlaku satu sama lain. 

Perintah bagi para istri untuk taat pada suami dalam Efesus 5:22 dan suami untuk mengasihi dan memimpin istrinya dalam Efesus 5:25 diberikan dalam konteks saling taat dalam Efesus 5:21.

Konteks yang saling berkaitan tentang hal ini dijelaskan dalam Efesus 5:1 yaitu perintah untuk mengikuti teladan Kristus dan hidup di dalam kasih. Ajaran untuk saling taat di Efesus 5:22 sejalan dengan cara hidup dan teladan Kristus. Kita harus memimpin dengan kasih dan kerendahan hati seperti Kristus sendiri (Filipi 2:1-11).

Saat saya beranjak dewasa, saya banyak sekali dipengaruhi oleh paham feminisme. Sampai akhirnya ketika saya menjadi seorang Kristen, saya baru mengerti konsep ketaatan kepada suami. Lambat laun, saya sadar apa yang membuat pernikahan saya bertahan hingga 18 tahun adalah karena suami saya juga mempraktikkan ketaatan kepada saya. Dia memahami saya, selalu berusaha untuk membuat segala sesuatu berjalan mudah bagi saya, bertanggung jawab pada saya dan anak-anak, walaupun dia adalah pemimpin dan saya adalah penolong. 

 Ketaatan satu sama lain sebagai bentuk meneladani Yesus adalah inti dari semua hubungan Kristiani. Baik sebagai pemimpin maupun pengikut, kita hendaknya punya kerelaan, kemauan bekerja sama dan bertanggung jawab dalam menanggung beban.

Pola Kepemimpinan Tetap Berlaku

Ketaatan terhadap satu sama lain tidak memghilangkan pola kepemimpinan yang diatur oleh Tuhan untuk setiap hubungan. Allah Bapa dan Allah Anak memiliki kedudukan yang sama tinggi, namun Yesus memilih untuk menaati dan mengikuti kehendak Allah Bapa (Ibrani 5:7). Di surga maupun di bumi, Allah bekerja menggunakan pola kepemimpinan. 

 Jadi, rantai komando tetap berlaku, demikian pula dengan status pemimpin dan pengikut. Allah masih menetapkan otoritas yang akan mewakili Dia dan nilai-nilai-Nya, seperti pemerintah dengan rakyat, orang tua dengan anak, atasan dan bawahan, juga gereja dan jemaat (Kolose 3:18-23; I Petrus 5:5, Titus 3:1).

Ketaatan satu sama lain tidak hanya berlaku dalam pernikahan dan keluarga, melainkan juga gereja, tempat kerja dan konteks-konteks hubungan yang lain. Perbedaannya, pernikahan adalah hubungan antar manusia yang paling dekat, sebuah perjanjian kehidupan, sehingga keintiman yang dibutuhkan untuk taat di dalam pernikahan berbeda levelnya dengan ketaatan pada konteks hubungan lain.

Kita diminta untuk menyerahkan diri, bekerja sama dan bertanggung jawab terhadap orang-orang di hidup kita, kecuali mereka terang-terangan tidak menaati Tuhan dan melanggar batas-batas yang dibuat Allah. 

Petrus meminta pada jemaat mula-mula untuk taat dalam semua hubungan sosial mereka, sehingga mereka dapat menjadi saksi Injil bagi orang-orang yang tidak percaya dan bahkan memenangkan mereka bagi Kristus (I Petrus 2:11-3:7). Petrus ingin orang percaya hidup kudus dan benar dengan menjadi taat, karena saat mereka taat mereka menyinarkan Kristus bagi dunia.

Pria dan wanita memiliki nilai yang sama di mata Allah (Galatia 3:28), tapi Firman Tuhan menyatakan bahwa suami ditetapkan menjadi kepala bagi istri sebagaimana Kristus menjadi kepala bagi gereja. Menjadi kepala seperti Kristus sama sekali tidak berarti menguasai, mendominasi, atau bahkan memanfaatkan pengikutnya seperti yang dilakukan oleh banyak pemimpin dunia (Markus 10:42-45, I Petrus 5:2-3).

Dulu saya selalu melihat kepemimpinan dan otoritas dengan pikiran yang curiga, dan menganggap wanita pada pernikahan patriarkal adalah korban. Salah satu penyebabnya karena banyak pria yang tidak menjadi pemimpin seperti yang Tuhan kehendaki. Tapi ketika saya mencoba membaca perintah Tuhan untuk suami dan istri secara objektif, saya menyadari bahwa tugas seorang pria memang sulit sekali. 

Menyerahkan hidup bagi orang lain adalah bentuk tertinggi dari ketaatan, dan itulah yang Tuhan ingin para suami lakukan (Efesus 5:25). Menurut saya, para suami memang memiliki tanggung jawab dan beban yang lebih berat dalam hubungan pernikahan. Perintah untuk para suami di Efesus 5 pun lebih panjang (10 pasal), dibandingkan perintah untuk para istri (3 pasal).

Menjadi kepala dengan roh yang taat seperti Kristus, berarti mau berkorban untuk melayani, memberikan hidupnya, dan memberi semangat tanpa memaksa, menindas dan membebani.

Pada akhirnya saya berani berkata bahwa saya beruntung mengenal banyak pria yang melakukan tugas kepemimpinan itu, mengikuti Kristus dalam peran mereka sebagai suami. Kita, para istri, dapat menolong suami kita dengan memberi mereka ruang dan karunia untuk tumbuh serupa Kristus, yang kadang juga membutuhkan penyangkalan diri kita. 

Nah, seperti apa ketaatan yang alkitabiah itu? Bagaimana caranya agar kita punya hati yang taat, dan apakah kita harus tetap taat saat keadaan tidak sesuai harapan? Kita lanjutkan lagi artikel bagian II nanti ya.

Previous
Previous

Dasar Kuat Pernikahan Kristen (Part II)

Next
Next

Penderitaan Untuk Kemuliaan