Dipanggil untuk Berespons, Bukan (hanya) Menonton
by Tabita Davinia Utomo
“Aku pengen ke gereja kenapa ga dibolehin, sih!?”
Pertanyaan itu pernah terbesit ketika saya masih berusia remaja (sedang aktif-aktifnya, Bun!) Setidaknya ada dua kali saya bertanya demikian yaitu saat ada family gathering di salah satu pantai di Semarang (kalau tidak salah) bersama rekan-rekan dosen Papa saya dan ketika liburan bersama keluarga besar di Magelang. Sebenarnya kedua tempat itu menyenangkan kalau saya menikmatinya. Namun, pertanyaan itu menggelisahkan saya karena liburan tersebut diadakan pada hari Minggu—yang berarti saya tidak bisa ke gereja. Padahal kedua orang tua saya adalah orang Kristen, tetapi (saat itu) saya berasumsi bahwa mereka tidak 100% mengasihi Tuhan karena tidak beribadah dan memilih berlibur. Sungguh idealis.
Beberapa tahun kemudian, pertanyaan yang sama kembali muncul, tetapi dengan cara yang berbeda. Selama pandemi, gereja terpaksa mengadakan ibadah secara daring untuk meminimalkan penyebaran COVID-19. Nah, sekarang (syukur kepada Allah!) gereja sudah kembali mengadakan ibadah secara tatap muka, tetapiii ada saja yang memilih untuk mengikuti ibadah daring. Dalam situasi seperti itulah, pertanyaan saya-yang-masih-labil itu terlintas kembali. Saya merenung, mengapa pertanyaan itu muncul saat keluarga saya memilih untuk berlibur dibandingkan beribadah (sementara belum ada ibadah daring di banyak gereja):
“Apakah memang saat itu saya sudah mengasihi Tuhan dengan tulus, atau sebenarnya ada hal lain yang membuat saya ingin ke gereja?”
Pearlians, berbicara mengenai ibadah daring dan tatap muka bukan hanya masalah mana yang lebih baik. Kita perlu menyadari bahwa ada situasi-situasi tertentu yang membuat kita tidak bisa mengikutinya secara tatap muka, misalnya saat baru saja melahirkan, sedang sakit atau karantina, atau sedang bertugas di tempat yang gereja saja tidak ada. Ada dua poin yang perlu kita pertimbangkan mengenai ibadah daring dan tatap muka ini:
1. Bukan (hanya) masalah caranya, tetapi masalah pemaknaan ibadah itu sendiri
Pada umumnya, ibadah memiliki sebuah tatanan atau alur yang disebut liturgi. Setiap gereja bisa memiliki liturgi yang berbeda, tetapi setidaknya ada bagian pengagungan dan penyembahan kepada Tuhan, pengakuan dosa, berita anugerah, persiapan untuk mendengarkan Firman Tuhan, respons jemaat (biasanya ada pengakuan iman rasuli, doa syafaat, persembahan), pengutusan, berkat, dan doksologi. Di dalam liturgi inilah sebenarnya kita dipanggil untuk berespons, bukan hanya menonton dan mengikuti apa yang disampaikan pemimpin ibadah. Sayangnya, sebagai jemaat, kita seolah-olah dikondisikan hanya menjadi “penonton” ibadah, menyimak apa yang disampaikan selama ibadah berlangsung tetapi tidak selalu didorong untuk melanjutkan respons atas ibadah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan mungkin kita sudah terbiasa menjadikan ibadah sebagai sebuah entertainment dan tidak diajak untuk memikirkan kehidupan pribadi dengan lebih serius: bagaimana harus bersyukur, merenungkan dan mengakui dosa, menerima anugerah pembaruan hidup, mendengarkan Firman Tuhan, dan menyerahkan diri kepada Sang Empunya hidup.
“Kalau pemusiknya bukan band A, skip ae lah!”
“Ya, namanya juga selera, to. Kalau pendetanya si Ono, males ah. Mending ke tempat lain, mumpung ada pengkhotbah favorit di sana!”
Oke, mungkin gereja kita memiliki liturgi dan khotbah yang terkesan monoton hingga kita bosan (atau tidak paham maknanya). Namun, pertanyaannya adalah seperti apa makna ibadah yang kita miliki? Apakah kita memaknai ibadah yang sejati sebagai bentuk “persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah” seperti pesan Paulus?
Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. —Roma 12:1
Ibadah yang sejati tidak hanya tampak dari seberapa besar ketulusan kita untuk mempersiapkan diri mengikuti ibadah Minggu dan menikmati kehadiran Tuhan di sana. Ibadah yang sejati juga tampak dari respons kita setelah ibadah Minggu itu berakhir. Ada seorang teman yang pernah bercanda, “Hari biasa mah enggak apa-apa, kok, bikin salah. Kan, masih bisa mengaku dosa di hari Minggu.” Well, kalau kesalahan itu memang disengaja, apakah itu menandakan bahwa kita sedang serius menghidupi ibadah yang sejati? Bahkan dalam Yesaya 1:10-20, Tuhan berfirman kepada orang Yehuda bahwa diri-Nya membenci ibadah yang tidak dibarengi dengan pertobatan yang sungguh-sungguh. Itulah sebabnya di dalam ibadah, kita tidak bisa hanya menjadi penonton karena kita dipanggil untuk berespons atas anugerah Tuhan yang melayakkan kita untuk beribadah kepada-Nya—dan salah satunya adalah melalui pengakuan dosa.
Ketika kita menyadari pentingnya sikap hati yang menghargai ibadah rutin seperti ibadah Minggu, maka seperti apa pun ibadahnya, kita bisa mendapatkan rhema tersendiri sesuai yang Tuhan singkapkan. Mungkin kita merasa sedang mendengarkan khotbah yang “itu-itu melulu” atau lagu yang dinyanyikan seperti tidak nyambung atau bahan bacaannya yang terkesan tidak sesuai dengan konteks aslinya (FYI, ini jadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa teologi, termasuk saya). Namun, tidak ada apa atau siapa pun yang bisa membatasi hikmat Tuhan berbicara kepada kita secara pribadi, bahkan dari ibadah yang dianggap tidak ideal. Semua kembali kepada sikap hati kita di hadapan-Nya saat beribadah.
2. Masih ber-Sabatkah?
Ada yang pernah beribadah sambil menyuapi anak atau membersihkan rumah? Atau mungkin kita mendengarkan rekaman ibadah sambil tetap lembur di hari Minggu? Hmm, mungkin kita perlu kembali merenungkan makna Sabat yang selama ini kita pegang. Sabat adalah persekutuan dengan Allah, dan bentuk yang paling sederhana adalah dengan berhenti dari semua pekerjaan kita untuk kemudian bersekutu dengan Allah dan tubuh Kristus—yaitu jemaat. Mengenai Sabat pun Tuhan menjelaskannya kepada bangsa Israel melalui hukum Taurat seperti ini:
Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya.
—Keluaran 20:8-11
Tuhan tidak berkata agar kita ber-Sabat kalau kita punya waktu senggang, atau “kecuali kamu lembur 24/7”, atau “kecuali kamu melayani di gereja-gereja setiap hari.” (By the way, hamba Tuhan juga punya hari Sabat sendiri, lho! Biasanya pada hari Senin karena di akhir minggu ada jadwal pelayanan). Dengan Sabat, kita justru bisa me-recharge diri sekaligus menikmati waktu istirahat bersama Tuhan dan saudara-saudari seiman setelah bekerja/belajar pada hari-hari sebelumnya. Pearlians bisa membaca artikel Kak Selvi dan menyimak penjelasan Sabat dari teman saya, Joshaviah, yang menolong kita mendalami bagian ini.
“Oke, deh. Kalau aku mau ibadah tatap muka, boleh ga aku sekalian pindah gereja?”
Di balik pertanyaan di atas, tentu ada alasannya, kan? Hehe. Jawabannya tidak ada yang hitam-putih, kok, asalkan kita kembali lagi pada bagaimana kita memaknai tubuh Kristus itu. Selama hidup di dunia yang penuh dosa, gereja tidak akan pernah bisa jadi komunitas yang sempurna. Justru di dalam ketidaksempurnaan itulah kita dilayakkan Allah untuk bersekutu dengan-Nya dan saudara-saudari seiman kita—bahkan diberikan kesempatan untuk melayani-Nya. Gereja yang tidak sempurna tentu memiliki kekurangan dan bisa memicu konflik, tetapi ada juga kelebihan dan sukacita yang Allah berikan di dalamnya.
Terlepas di mana pun saat ini sedang berjemaat, kiranya kita dimampukan Allah untuk membangun relasi yang real dengan-Nya dan tubuh Kristus karena pindah gereja, kan, ga menyelesaikan masalah (kecuali kalo gerejanya terbukti sesat). Selamat memulai kehidupan ibadah yang sejati di tahun baru ini!
Catatan penulis:
Konten seputar ibadah lainnya bisa disimak di Instagram dan Youtube Coram Deo Worship Center Studies (terima kasih buat Pdt. Budianto Lim dan Ibu Lidya Siah yang menginisiasi kanal ini!)
Rekomendasi buku kali ini adalah Arsitek Ibadah oleh Constance M. Cherry