Ezer Kenegdo
by Yunie Sutanto
“Penolong itu harus lebih kuat dari yang ditolong.”
“Jadi perempuan itu harus serba bisa.”
“Jadi wanita itu harus jago multitasking.”
Suara-suara serupa umum terdengar terkait peran perempuan. Tuntutan peran sebagai perempuan memang semakin kompleks. Seorang “wanita super”dijuluki oleh sahabat-sahabatnya dengan sebutan si Gatot Kaca “versi perempuan.” Alasannya? Ototnya seolah terbuat dari baja seperti Gatot Kaca sehingga tidak mengenal lelah. Perempuan-perempuan yang hidup di era kekinian pun secara tak sadar menghidupi nilai-nilai ini. Wanita menolak stigma dianggap sebagai kaum lemah. Girl power menjadi jargon yang digaungkan. Kesetaraan gender memang membuka lebar pintu-pintu kesempatan di area pendidikan, lapangan pekerjaan dan kesetaraan di pelbagai bidang bagi kaum perempuan. Tokoh wonder woman sebagai superhero menjadi ikon bagi para wanita-wanita setrong.
Mungkin Pearlians mengenali beberapa wanita dalam komunitas yang mirip dengan sosok wanita perkasa ini. Well… salah satunya adalah wanita luar biasa yang disebutkan di dalam Amsal 31. Urusan rumah tangga begitu piawai ditanganinya. Urusan profesional pun tak kalah hebring-nya, seolah kedua tangannya itu punya sentuhan emas seperti raja Midas! Apa saja yang dikerjakannya berhasil. Cakap mengurus rumah tangga, cakap pula urusan cari duit. Pokoknya serba bisa! Perfecto! Wanita yang excellent ini menimbulkan rasa kagum orang-orang yang mengenalnya, meskipun di sisi lain tak jarang rasa terintimidasi juga bisa timbul jika kita merasa tak bisa totalitas serba bisa sepertinya. Jangan-jangan kita pun sudah salah kaprah ingin menjadi figur wanita super tersebut, atau malah kita stres bukan main ingin bisa menjadi wanita “super” semacam itu tetapi tidak kesampaian? Tuntutan hidup di zaman now bagi kaum Hawa mungkin berbeda dengan di zaman purba. Ya, iyalah! Namun, kebenaran Firman Tuhan tak lekang oleh masa. So, sebenarnya menjadi penolong menurut Firman Tuhan itu bagaimana, sih?
Jika mengacu pada desain awal Allah saat menciptakan kaum Hawa, sebetulnya apa gerangan peran sebagai penolong yang dimaksudkan-Nya?
Mengutip Kejadian 2 ayat 18b dalam Alkitab versi Bahasa Jawa, “Ora prayoga manungsa iku yen ijen bae; Sunkaryakne rowang kang sembada dadi jodhone.” Jodoh Adam memang diciptakan Tuhan setara. Made for each other. Sembada itu patut, sepadan, dan setara. Tidak ada kesenjangan dan inferioritas antara wanita dan pria. Tertulis dalam Kejadian 2:18b (versi TB) bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia. Kata “penolong yang sepadan” ini berasal dari dua kata Ibrani yakni ezer kenegdo. Alkitab versi bahasa Inggris memakai kata helpmeet yang artinya “pasangan yang seimbang”. Komentator Alkitab yang bernama Matthew Henry berkata, “Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, tidak diciptakan dari kepala untuk memerintahnya, tidak pula diciptakan dari kaki untuk jadi pelayannya, tetapi dari tulang rusuk di samping untuk jadi sejajar dengannya, dari bawah lengan tangannya untuk dilindungi dan dekat hatinya untuk dikasihi.” Artinya, penolong yang sepadan bisa saling bekerja sama dan saling menolong dalam menjalani panggilan hidup.
Adam membutuhkan penolong yang sepadan dengannya, meskipun sudah ada binatang-binatang beraneka macam di Taman Eden. Seekor anjing bisa menjadi hewan peliharaan yang menolong majikannya dalam berbagai hal. Ada anjing yang terlatih menuntun orang buta menyebrang jalan. Ada anjing yang dilatih mengambilkan paket di pintu depan untuk sang majikan yang lumpuh. Selain itu, hewan ternak pun bisa membantu manusia, seperti lembu yang membajak sawah dan kuda untuk transportasi. Sayangnya, posisi binatang tidaklah sederajat, melainkan lebih rendah dari manusia sehingga tidaklah mungkin kebutuhan Adam akan sebuah relasi terpenuhi. Adam membutuhkan pasangan yang sepadan dengannya, yang nantinya akan menjadi rekan kerja (bahkan lebih!) untuk menggenapi mandat budaya Tuhan. Itulah alasan Hawa diciptakan, supaya Adam tidak sendirian mengerjakan kehendak Tuhan dan menikmati-Nya dalam persekutuan yang intim.
Menjadi penolong bukan berarti selalu kuat senantiasa. Ada kalanya si penolong pun berada di posisi sebagai orang yang lemah dan butuh pertolongan. Yaps, penolong yang ditolong oleh Roh Kudus juga dimampukan-Nya untuk mengandalkan tuntunan hikmat-Nya dalam setiap aspek kehidupannya (baca: jadi bukan hanya ketika beribadah di gereja saja). Sebagai wanita (pria juga, sih), kita adalah manusia biasa yang saling membutuhkan satu sama lain. Justru dalam komunitas tubuh Kristuslah tangan yang lemah dan lutut yang goyah itu dikuatkan. Mengutip Galatia 6:2, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Dalam persekutuan hidup suami dan istri, “saling menolong menanggung beban hidup” itu adalah cermin dari kasih Kristus. Bukankah tali tiga lembar tidak mudah diputuskan, kata Pengkhotbah 4:12b?
Sebagai pasangan yang bersama-sama mewarisi kasih karunia, mari kita—bersama suami—senantiasa berserah di dalam anugerah Tuhan untuk dilayakkan-Nya saling menolong satu sama lain dalam mengerjakan keselamatan. Bagi yang belum menikah, kita dapat melatih diri untuk memberikan pertolongan (dan mengizinkan orang lain untuk menolong) dalam berbagai konteks kehidupan. Tidak perlu sok kuat secara rohani dan menganggap diri tidak butuh pertolongan. Di akhir zaman, kasih yang dimiliki kebanyakan orang akan menjadi dingin. Tipikal manusia akhir zaman akan menjadi pribadi-pribadi individualis yang egois. Pribadi-pribadi yang demikian menjadi sangat sulit ditolong (baca: sulit merendahkan diri untuk menerima pertolongan), apalagi jika malah merasa dirinya pihak yang lemah jika menerima bantuan. Kita tidak mau menjadi serupa dengan dunia ini, bukankah kita warga Kerajaan Allah?
Berada di dalam komunitas tubuh Kristus akan mendorong kita untuk membangun budaya tolong-menolong. Komunitas orang percaya menjadi sarana mempraktikkan kasih persaudaraan terhadap sesama. Dalam dunia yang serba independen dan saling tidak peduli satu sama lain, meminta pertolongan mungkin dianggap tidak populer. Prinsip hidup “Lu-Lu, Gue-Gue” yang mencerminkan ketidakpedulian dan egoisme jelas berlawanan dengan prinsip mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:39). Meminta pertolongan ketika memang sedang butuh ditolong menandakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain. Kita tidak sok kuat. Kita sadar kita sedang lemah dan butuh bantuan, juga sebuah tanda bahwa hidup kita tidak dikuasai oleh gengsi dan keangkuhan diri. Melatih kepekaan dalam menolong orang lain dimulai dari kerendahan hati untuk bersedia juga ditolong. Mari, kita menjadi penolong yang senantiasa ditolong oleh anugerah Allah melalui penyertaan Roh Kudus semata.
Sebagai bacaan tambahan: https://majalahpearl1.blogspot.com/2018/01/diciptakan-untuk-peran-khusus.html