When Hope Came Down*
by Poppy Noviana
Sebuah artikel di kompas.com membahas mengenai perubahan pola hidup masyarakat (khususnya di APAC atau Asia Pasifik), yang menyebabkan efek samping kesulitan dalam menjaga pola tidur yang cukup untuk Kesehatan tubuh dan imunitas. Hasil riset ini menunjukan bahwa kelebihan waktu yang tersedia untuk tidur bahkan tidak mempengaruhi kualitas tidur seseorang; contohnya adalah masyarakat di lingkup APAC melaporkan bahwa mereka tidur lebih banyak dengan rata-rata durasinya selama 7,2 jam per malam (dibandingkan 7,1 jam pada studi di 2020), tetapi 1 dari 4 (41% dari partisipan) merasa tidak puas dengan kualitas tidur mereka. Efek samping dari masa jaga jarak fisik yang sudah menjadi aturan baru akibat pandemi merupakan suatu realita hidup yang perlu diterima, mulai dari hal sederhana yaitu kesadaran pada hal-hal yang dapat menolong kita untuk enak tidur.
Hal-hal yang membuat kita bisa tidur nyenyak tidak hanya membutuhkan waktu untuk beristirahat, tetapi juga pengelolaan hati dan pikiran. Apa saja yang dibutuhkan untuk tidur? Selain suasana yang mendukung seperti suhu dingin, pencahayaan redup, selimut yang tebal (atau setidaknya nyaman untuk dipakai), kita juga membutuhkan suasana hati dan pikiran yang dilingkupi rasa aman, nyaman, dan pengharapan terhadap masa depan.
Rasa aman bukan berarti kondisi baik-baik saja, tetapi lebih kepada menaruh kepercayaan kita pada Seorang pribadi yang berkata “Jangan Takut” dalam beberapa peristiwa berikut:
(Lukas 8:50) Tetapi Yesus mendengarnya dan berkata kepada Yairus: "Jangan takut, percaya saja, dan anakmu akan selamat."
(Kisah Para Rasul 18:9) Pada suatu malam berfirmanlah Tuhan kepada Paulus di dalam suatu penglihatan: "Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam!
(Lukas 1:30) Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.
(Lukas 5:10) demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia."
Mungkin saat ini kita masih berkutat dalam keputusasaan dan ketidakberdayaan akan banyak hal, misalnya pekerjaan, penampilan fisik, kekhawatiran mengenai pasangan hidup, kondisi keluarga yang makin dingin, dan sebagainya. Namun, Alkitab juga mengisahkan beberapa tokoh yang juga menghadapi ketakutan dan sebenarnya beralasan untuk menjadi putus asa seperti Yairus yang bergumul untuk anaknya, Paulus dalam menjalankan misi dan pilihan hidupnya, Maria karena menghadapi kenyataan yang tidak biasa dan rentan memperoleh penolakan dari lingkungan sosialnya sebab ia istimewa dan berbeda, dan Simon untuk panggilannya. Begitu juga kita semua, yang memiliki pergumulan pribadi yang tidak dapat dimengerti seutuhnya oleh seorang pun, bahkan sulit bagi diri sendiri untuk dapat memahami apa keinginan dan kebutuhan diri sendiri yang sesungguhnya.
Adakah di antara Pearlians yang saat ini merasa berada pada kondisi tersebut?
Tidak ada yang salah, kok, jika ada kalanya kita mengalami keputusasaan, tetapi bukan berarti kita dapat beralasan untuk menjadi pahit hati kepada Tuhan atas naik-turunnya hidup yang terjadi. Meskipun dalam situasi yang berbeda-beda, setiap orang (termasuk Pearlians dan saya) juga mengalami pergumulan dalam perjalanan untuk menemukan kepuasan hati yang terdalam. Namun satu hal yang pasti, pengenalan akan Yesus yang melakukan karya penebusan di atas kayu saliblah yang akan memberi rasa aman dan kebutuhan terdalam kita sebagai manusia. Melalui keselamatan dan jaminan hidup kekal yang kita terima dari-Nyalah ada tempat teraman dalam hidup yang tidak bisa diambil oleh siapapun, sebab Dia adalah gunung batu yang kokoh, dan tidak akan tergantikan oleh siapa pun serta apa pun yang dunia tawarkan.
Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.
(Mazmur 73:26)
Kebanyakan orang merasa nyaman bila menemukan dirinya bisa hidup berada sesuai pilihannya. Hidup dengan selera gaya hidupnya, selera makanannya, selera pemikirannya, dan semua yang hanya berfokus tentang dirinya. Namun, bukan berarti hal tersebut terbaik baginya, sebab yang baik sering kali justru menjadi musuh dari yang terbaik. Mungkin kita berharap bahwa kenyamanan menjadi kondisi yang dapat membuat diri kita dapat mengeluarkan potensi terbaik dari dalam dan menjadi versi terbaik yang pernah ada. Kenyataannya, pertumbuhan justru selalu datang dari rasa luka, tekanan, dan masalah yang diizinkan Tuhan hadir di dalam kehidupan kita melalui orang-orang terdekat kita. Nah.. tapi menariknya, jika kita memahami bahwa Allah itu setia hadir dan beserta kita, serta memberikan damai sejahtera yang melampaui segala akal, hal ini cukup untuk menolong kita berpikir tenang dan merasakan damai dari-Nya—sekalipun persoalan kehidupan tak kunjung mereda. Walaupun demikian, ketika kita menaruh pengharapan hanya di dalam Tuhan, Dia akan menghadirkan pengharapan yang kekal dan memampukan kita untuk menjalani kehidupan yang senantiasa dikuduskan-Nya melalui perjalanan di hidup ini. Inilah rasa nyaman yang tidak dikenal oleh dunia, tapi dialami oleh orang-orang yang percaya kepada-Nya.
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
(Yohanes 3:16)
Menjadi pribadi yang terbaik bagi Pencipta merupakan cita-cita setiap ciptaan. Namun yang terbaik tidak bisa kita dapatkan tanpa arahan Dia yang menciptakan kita, yang merupakan Penasihat Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal, dan Raja Damai (Yesaya 9:5) yang memberikan nasihatnya dari berbagai perspektif. Eh, kita juga perlu mengingat bahwa sering kali Tuhan seolah-olah absen ketika kita merasa gelisah, tetapi percayalah bahwa Dia adalah Pribadi yang mahatahu dan mahapeduli, sebab Ia tahu secara pasti dan berdaulat di masa kini dan nanti, Alfa dan Omega. Dia juga yang dapat memastikan kebutuhan kita tercukupi dan tempat mengadu yang andal (bahkan ketika kita sulit mengimani hal ini), serta kehadiran-Nya merupakan sumber pengharapan bagi kita agar kuat untuk menghadapi kondisi yang makin tidak menentu. Pengharapan ini merupakan sesuatu yang diberikan, bukan sesuatu yang bisa dicapai seperti penghargaan/prestasi. Ketika kita memiliki kesempatan untuk mengenal Kristus dan menerimanya sebagai Juru Selamat pribadi, itu hanya karena anugerah-Nya yang mewujudkan pengharapan yang turun dari sorga dan berarti bagi kita secara kekal.
Mari, di tahun 2022 kita, kita kembali menyambut undangan Tuhan yang merengkuh kita untuk berharap hanya kepada-Nya, menyerahkan mimpi dan cita-cita yang terserakkan itu untuk dipulihkan-Nya dengan cara dan kehendak-Nya, karena dari situlah Dia sedang membentuk kita dengan kasih.
(Artikel ini terinspirasi dari lagu When Hope Came Down yang ditulis oleh Kari Jobe)