Finding Balance in Turbulence

by Yunie Sutanto      

Tahun 2021 memasuki hari-hari terakhirnya. Tahun 2022 seolah sudah mengintip di ujung jalan. Nurani pun bertanya-tanya, “Hei, siapkah dikau memasuki pergantian tahun?” Bagaimana tidak? Pandemi belum usai. Varian baru masih diberitakan. Sebagian kegiatan masih dilakoni dengan prokes ketat dan terkendali. Pembelajaran dan kegiatan daring masih menjadi pilihan banyak orang. Masker dan hand sanitizer sudah menjadi gaya hidup sehari-hari. Rasa khawatir akan masa depan dibarengi rasa duka kehilangan orang-orang terkasih seolah terus membombardir pikiran kita. Sang waktu yang kejam terus berjalan tanpa menunggu kesiapan kita.

Menyadari kenyataan ini, kita diingatkan tentang doa Musa dalam Mazmur 90:12, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Kita mulai dibuat bertanya-tanya: Bagaimana supaya kita bisa seperti Musa yang bijaksana menghitung hari-harinya? Kita teringat sembrononya para murid yang takut di tengah badai dan membangunkan Yesus dari tidur-Nya. Bagaimana untuk tetap tenang di tengah terpaan badai kehidupan di akhir zaman ini? Bukankah tantangan setiap zaman itu berbeda? Daud disebut sebagi orang yang melakukan kehendak Allah di zamannya. Kita pun seharusnya meneladani Daud dan melakukan kehendak Allah di zaman kita. Damai sejahtera Tuhan yang melampaui segala akal pikiran manusiawi (Filipi 4:8) itulah sumber kekuatan kita. Bisa melihat Yesus sebagai Allah yang memegang kendali hidup kita di tengah terpaan badai merupakan sumber kekuatan kita. Bukankah angin ribut taat pada hardikan-Nya? Bukankah setiap kita dipanggil dan dipilih untuk melakukan pekerjaan baik yang telah disiapkan-Nya bagi kita?

Apa yang menjadi fokus kita di tengah turbulensi hidup? Saat Petrus berfokus pada Kristus, ia dimampukan berjalan di atas air. Saat Petrus mulai fokus pada situasi sekelilingnya, ia mulai tenggelam! Saat kita berfokus pada keadaan yang nampak, iman kita melemah. Seperti bujang Elisa yang takut saat melihat dengan matanya pasukan Aram yang demikian banyaknya. Apa yang membuat Elisa tenang? Dalam 2 Raja-raja 6:16 tertulis “Jawabnya: “Jangan takut, sebab lebih banyak yang menyertai kita dari pada yang menyertai mereka.”” Elisa menghadapi turbulensi hidupnya dengan mata iman. Penerbangan yang mengalami turbulensi hebat butuh ketenangan para awak untuk menjaga keadaan kabin tetap terkendali. Apa yang menjadi bagian kita, yang ada dalam kapasitas kita untuk dilakukan, lakukanlah sebaik-baiknya. Itulah bagian kita!

Ada tiga rahasia jitu untuk menjaga diri tetap stabil dalam kondisi turbulensi hidup. Agar makin bijak dalam menjalani hari demi hari, yuk, kita bahas apa saja tiga hal itu:

1. Me Time

Kita butuh “me time”. It is completely okay to have fun and do your hobby. Life needs a balance of work and play. Tagar #metime dan #selflove mungkin sudah tak asing lagi. Tuntutan dan tekanan hidup zaman now membuat manusia-manusia kekinian butuh waktu menyendiri untuk mengisi dirinya dengan aktivitas yang disukai. Tidak dosa, loh, jika menjadwalkan rutin diri sendiri melakukan hobi yang disukai. Ada yang me time dengan menyendiri di kafe dan baca buku favoritnya. Ada yang me time dengan nonton bioskop sendirian. Ada yang memasak, merajut, kulineran, kaligrafi, dan sebagainya. Beda orang tentu akan beda pula jenis me time-nya. Terlalu sibuk dengan tanggung jawab seringkali membuat lupa merawat diri. Melalui membiasakan diri dengan ber-”me time”, sesungguhnya kita sedang menghargai diri sendiri.

2. We Time

Kita butuh “we time”. Orang-orang yang menjuluki diri kaum introver pun butuh bersosialisasi. Bersahabat dan ngumpul dengan teman yang sevisi itu sangat menguatkan kita, karena bisa saling mencurahkan isi hati dan saling berbagi tanpa penghakiman. Kita juga bisa saling mengasihi dan memedulikan satu sama lain.

Kita butuh bertemu komunitas dan kawanan domba yang satu penggembalaan. Kita bisa sesama murid Kristus yang saling menyemangati dalam pertumbuhan ke arah keserupaan pada Kristus. Kita tentu rindu dengan ibadah komunal di gereja lokal masing-masing bukan? Ibadah komsel pun kini dilakukan secara daring. Keterbatasan ruang gerak ini menyadarkan bahwa bisa berjumpa dan berkomunitas dalam sebuah persekutuan itu adalah salah satu kebutuhan kita.

3. God Time (Alone with God)

God time merupakan kebutuhan relasi yang paling mendasar. Saat teduh pribadi yang terbangun dari rasa haus dan lapar akan kebenaran amat menentukan stamina rohani kita. Bukan keharusan yang dipaksakan orang legalisme agamawi, namun kehausan akan Firman-Nya yang menjadi penuntun hidup sehari-hari. Saat God time kita berkualitas, me time dan we time kita pun demikian. Saat itulah fokus kita terjaga dan pandangan kita terarah pada kehendak Tuhan, seperti Petrus yang dimampukan berjalan di atas air di tengah badai. Saat God time kita berantakan dan tidak diprioritaskan, fokus kita beralih kepada suara-suara lainnya. Berita pandemi yang mengkhawatirkan menjadi suara yang membuat kekuatiran tumbuh subur di tanah hati. Saat itulah kita lebih fokus pada keadaan sekitar yang dilihat mata. Kita lupa memandang pada Yesus, sang pengendali kehidupan. God Time menjadi kompas yang menentukan arah perjalanan spiritual kita. Tanpa God Time yang dijaga dengan baik, me time dan we time akan terasa kosong dan hambar. Semua kegiatan lainnya seolah tanpa makna. Hidup sekdar menjalani hari tanpa arti. Tanpa God time, kita ibarat carang yang lupa melekat pada Sang Pokok (Yohanes 15:1-8).

Kita masih menghitung hari menuju 2022. Waktu terus bergulir. Turbulensi masih akan bermunculan dalam perjalanan hidup kita. Berita baiknya, kita bisa memilih. Pilihan untuk tetap tenang ada di tangan kita. Pilihan mengatur fokus pada Tuhan juga ada di tangan kita. Apakah kita hendak menjalani hari-hari ke depan dengan bijak ataukah dengan sembrono? Pilihan ada di tangan kita. Choose wisely.  

@agendaiburumahtangga

Previous
Previous

Kasih yang Nyata

Next
Next

Tetap Berbuah