Hidup Adalah Kristus
by Benita Vida
Hai, Pearlians! Bagaimana kabar kalian? Aku berdoa Pearlians dalam keadaan sehat dengan tetap berpegang teguh pada Tuhan, ya; buat yang sedang menjalani isolasi mandiri, semoga segera pulih; buat yang masih berjuang—entah sebagai tenaga medis atau dalam pekerjaan lainnya—doaku juga turut beserta. Kiranya dalam situasi apapun (khususnya selama PPKM berlangsung), kita tetap percaya bahwa penyertaan Allah sempurna untuk anak-anak-Nya. Buktinya, kita sudah memasuki bulan ke tujuh sekalipun keadaan pandemi yang sangat serius di luar sana.
Di tengah-tengah kondisi kritis ini, kita banyak mendengar berita dukacita, baik dari orang yang tidak dikenal secara dekat hingga dari orang terdekat kita. Walaupun sudah berdoa agar setiap anggota keluarga yang kehilangan dikuatkan, tetapi keadaan ini juga mengingatkan kita pada satu pertanyaan Allah ketika nanti tiba waktunya untuk menghadap diri-Nya:
Sudahkah hidupmu menunjukkan citra-Ku?
Iya, sih, hidup di dunia ini tidaklah selama yang kita pikirkan, dan sebagai anak-anak Allah, kita diminta agar menjadi dampak bagi orang lain yang Dia hadirkan bagi kita. Namun, kadang-kadang kita pun bertanya-tanya, “Apakah kita mampu menjadi dampak?” Ada juga pikiran yang terselip bahwa kita tidaklah sehebat orang lain; kita bukan seperti Daud yang bisa membunuh Goliat, atau kita juga tidak sepintar Najwa Shihab maupun Maudy Ayunda yang dicari oleh semua orang. Tidak banyak mata yang melihat atau memperhatikan kita. Well, Pearlians, percayakah kalian bahwa Allah pasti memberikan “bekal” sesuai kebutuhan kita? Ini juga yang disampaikan Yesus dalam perumpamaan tentang talenta yang dituliskan di Kitab Matius 25 : 14-30.
Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya.
(Matius 25:15)
Yes, setiap orang diberikan talenta (kemampuan melakukan sesuatu/keahlian, bukan “talenta” seperti yang dimaksud dalam bacaan di atas), tetapi bisa saja jumlahnya tidak sama satu sama lain. Walaupun demikian, ingatlah bahwa talenta atau “bekal” kita diberikan menurut kesanggupan kita. Jadi, jangan mengukur kemampuan diri kita berdasarkan kemampuan orang lain karena kesanggupan dari masing-masing kita tidaklah sama.
Talenta yang kita miliki diberikan secara gratis oleh Allah sendiri, tetapi kita wajib mengelolanya sesuai dengan kehendak-Nya. Pada waktunya nanti, kita harus mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah dipercayakan Allah sebagai Sang Pemilik kehidupan. Namun, kalau melanjutkan bacaan tadi, di bagian akhir perumpamaan ini kita tahu bahwa ada satu orang hamba dengan satu talenta yang tidak mengerjakan bagiannya dan hanya menyimpan talenta tersebut. Padahal di zaman itu, satu talenta sama dengan 6.000 dinar, setara dengan upah seorang pekerja selama 6.000 hari (kira-kira selama 16 tahun)!! Tidak heran jika sang tuan menjadi marah dan menghukum hamba tersebut. Pernahkah terlintas pertanyaan dalam benak Pearlians, “Kenapa sang tuan jahat, ya? Kan, sebenarnya bukan si hamba yang meminta satu talenta. Mungkin kalau sang tuan memberikan lebih banyak talenta, hamba itu akan lebih rajin.” Well, jawabannya ini:
Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.
(Matius 25:29)
Dari situ, kita bisa menangkap bahwa untuk menerima upah, maka kita harus mengerjakan apa yang telah dipercayakan kepada kita. Ketika kita malah bermalas-malasan dan sibuk menyesali keadaan yang tidak seperti orang lain, kita sedang menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan pada kita dan kita akan kehilangan semua itu pada akhirnya. Lagipula, bukankah Allah memercayakan sesuatu sesuai kesanggupan kita? Dia ingin agar kita tetap setia dalam perkara kecil; kalau kita sudah dinilai-Nya siap diberi perkara besar, percayalah bahwa Dia juga akan memberikan kemampuan yang sesuai dengannya. Yes, Allah tidak ingin kita bermalas-malasan—apalagi membandingkan talenta satu sama lain. Mengapa kita masih memelihara kebiasaan untuk saling membandingkan jika kita memiliki talenta dan beban kepercayaan dari Allah sesuai dengan kesanggupan kita? Plus, Allah ingin agar kita fokus pada apa yang kita miliki dan mengerjakannya sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal karena hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan bagi orang percaya (Filipi 1:21).
Pertanyaan adalah apa, sih, “hidup adalah Kristus” itu? Sederhananya, hidup kita hanya untuk Tuhan, apapun yang kita lakukan, putuskan, dan kerjakan, semua untuk kepentingan Kerajaan Allah serta penggenapan rencananya atas hidup kita. Salah satu cara untuk bisa menghidupi judul artikel ini adalah dengan mengerjakan kepercayaan Allah di hidup kita, karena dengan bertanggung jawab dengan apa yang Allah percayakan, maka kemuliaan Tuhan akan dinyatakan melalui kita.
“Loh, sulit, Ben. Gimana caranya?”
Betul, sangat sulit, apalagi kita hidup di tengah-tengah dunia yang tidak mendukung. Kalau mau jujur, nih, jika kita mau hidup untuk Tuhan… sepertinya terlalu idealis dan tidak masuk akal. Bagaimana bisa kita bertahan hidup untuk Kristus di tengah dunia yang hancur karena dosa ini? Pearlians, tetap kerjakan bagianmu dan berikan yang terbaik darimu, biar the rest-nya menjadi bagian Allah. Percayalah, Allah tidak akan meninggalkanmu sendiri dalam perjalanan hidupmu. Mungkin sulit dan sakit jika kita justru sedang berada dalam titik terendah kehidupan ini, bahkan kadang-kadang kita menerima kritikan pedas dari orang-orang terdekat kita. Namun, ingatlah bahwa apa yang kita kerjakan dengan giat sekarang adalah untuk kepentingan Allah dan bukan manusia. Saatnya akan tiba nanti, Allah akan mengangkat dan memuliakan kita sebab Allah tidak akan membiarkan kita dipermalukan. Mungkin bukan saat ini (bahkan bisa saja sampai seumur hidup kita tidak melihatnya), tetapi percayalah bahwa adalah lebih penting untuk memperoleh penghargaan dari Allah dalam kekekalan daripada menuai pujian dari manusia tetapi nol di mata-Nya.
Mari kita mengelola talenta yang sudah Allah percayakan pada kita dengan giat, sehingga jika tiba saatnya nanti menghadap Allah (yang bisa terjadi kapanpun tanpa menunggu kesiapan siapapun), kita mampu memberi pertanggungjawaban dengan keyakinan. Dari sini, kita juga bisa mengerti mengapa “mati adalah keuntungan “bagi orang percaya. Lah, iya, kan? Siapa, sih, yang mau berlama-lama hidup di dunia yang sudah bobrok ini? Ironisnya, banyak orang yang takut untuk mati karena mereka tidak tahu ke mana mereka akan pergi setelah kematian. Namun bagi kita, anak-anak Allah (dan jelas, sudah percaya kepada Tuhan Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan), kita telah memiliki jaminan untuk masuk ke dalam kehidupan kekal bersama Allah Bapa di Surga nanti. Jika memang setelah mati kita akan ke Surga yang jauh lebih indah, nyaman, enak, dan menyenangkan daripada dunia ini, bukankah artinya mati menjadi sebuah keuntungan bagi kita? (Well, siapa yang rindu untuk melihat “surga yang turun” sebagai bentuk pemulihan bumi secara utuh dan sempurna?)
Karena itu, mari kita bertanggung jawab atas hidup beserta talenta yang dipercayakan kepada kita, sebab hidup kita adalah untuk Kristus dan untuk kemuliaan nama-Nya saja, bukan untuk mencari kemegahan diri. Tuhan memberkati!