Layak Dipertahankan Hingga Tetes Terakhir

28 Juni_Tabita_Layak Dipertahankan Blog.jpg

by Tabita Davinia Utomo 

“Apakah kebenaran ini (Injil) layak diperjuangkan sampai mati?”

Kalimat ini adalah bagian penutup dari buku Hanya Ada Satu Tuhan yang ditulis oleh Nabeel Qureshi, seorang apologis yang juga pernah melayani di Ravi Zacharias International Ministries—seorang yang berapologetika atau membela iman. Buku ini menjawab banyak pertanyaan “apa keunikan Kekristenan dibandingkan kepercayaan lain, sekaligus menegaskan bahwa keselamatan adalah anugerah Tuhan, dan iman juga anugerah-Nya yang membawa kita untuk percaya kepada-Nya. Menyadari hal ini, orang-orang percaya rela mempertaruhkan nyawanya demi kebenaran yang membebaskan itu, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus dalam Yohanes 8:32, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”

Bukan hanya di Perjanjian Baru, mereka rela mempertaruhkan nyawa ini telah ada sejak Perjanjian Lama—misalnya Musa, Elia, Yeremia, dan Daniel, serta tiga temannya (Hananya, Misael, dan Azarya). Setelah berlalu selama lebih dari tiga ribu tahun, para pahlawan iman itu masih terus beregenerasi hingga saat ini. Tentu renegerasi yang dimaksud bukan secara biologis, tetapi berdasarkan iman kepada Kristus, Sang Mesias. Buktinya ada di kita :) Walaupun kisah mereka (dan kita) penuh perjuangan, tidak semua perjalanan iman dari orang-orang percaya berakhir bahagia. Bahkan di antaranya ada yang meninggal dalam kesunyian, terisolasi secara sosial, atau mati terbunuh. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi ironi ini: mereka diperlakukan demikian karena dianggap menodai keyakinan yang sebelumnya, atau karena menjadi berbeda dari lingkungan mereka. Uniknya, semakin ditekan, Kekristenan justru semakin tersebar. Dari yang bermula di Yerusalem, Kekristenan telah mencapai ke pelosok bumi (meskipun belum semuanya karena medan tempuh yang tidak selalu mudah, dan faktor-faktor lainnya yang berpengaruh di sana) dalam waktu kurang lebih dua ribu tahun. Itulah sebabnya, Tertullianus berkata, “Darah para martir adalah benih gereja.”

Namun, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah Injil harus diperjuangkan hingga nyawa yang jadi taruhan?

Jawabannya adalah iya. Sejarah telah membuktikannya, kan?

Kita bisa membacanya mulai dari Kisah Para Rasul 8:1b, dan bahkan sebelum itu, tepatnya di pasal 4, Petrus dan Yohanes sudah mulai diperhadapkan dengan pengadilan karena nama Yesus yang mereka beritakan di Serambi Salomo (Kisah Para Rasul 3). Sejak saat itulah, intensitas penganiayaan terhadap para murid karena Injil semakin meningkat—dan puncaknya ketika Stefanus mati dirajam batu. Meskipun tersebar ke mana-mana, jemaat mula-mula itu tetap memberitakan Injil yang akhirnya juga sampai kepada kita hari ini. Tentu itu juga tidak terlepas dari para misionaris yang datang ke Indonesia, baik dari Eropa (yang—sayangnya—datang bersamaan dengan penjajahan, sehingga Kekristenan sering diibaratkan sebagai ancaman dari bangsa lain) maupun dari negara Asia lainnya seperti Tiongkok. Mungkin kita tidak familier dengan nama-nama seperti John Sung dan Andrew Gih, tetapi mereka juga termasuk dalam kelompok misionaris tersebut. Mereka rela meninggalkan zona nyaman yang telah mereka miliki (baik dari keluarga, gelar, maupun jabatan) agar orang lain yang tidak mereka kenal bisa mencicipi dan menerima kabar keselamatan dari Allah—seperti yang Tuhan Yesus katakan di Matius 28:19-20.

--**--

Saat ini, menurut Open Doors International, ada 340 juta orang di seluruh dunia yang mengalami penganiayaan karena iman mereka kepada Kristus. Sepuluh negara yang berada di peringkat teratas adalah Korea Utara, Afghanistan, Somalia, Libya, Pakistan, Eritrea, Yemen, Iran, Nigeria, dan India. Walaupun daftar tersebut menunjukkan persebaran yang  ada di Asia dan Afrika,  bukan berarti di belahan dunia lain tidak terjadi hal serupa. Sebagian orang percaya yang mengalami penganiayaan (atau setidaknya yang kebebasan beragamanya terhambat) di antaranya adalah orang-orang yang berpindah keyakinan, tetapi mereka tinggal di lingkungan yang sangat berbahaya untuk mengakui iman mereka “yang berbeda” dari yang telah ditetapkan. Ada juga negara yang sangat membatasi kebebasan berekspresi rakyatnya, termasuk untuk beribadah. Ingat: Indonesia JUGA termasuk dalam 50 negara di mana orang Kristen mengalami penganiayaan—meskipun cenderung dalam bentuk pengucilan sosial. Di antaranya adalah pengucilan bagi mereka yang berpindah keyakinan, atau sulitnya mendapatkan izin pembangunan tempat ibadah (seperti di GKI Taman Yasmin Bogor dan di tempat-tempat lainnya).

Graphic by Open Doors International

 

Masih ada beberapa sumber lainnya yang bisa Pearlians simak untuk mendapatkan berita terbaru mengenai penganiayaan-karena-Injil ini. Misalnya dari Joshua Project, Prayercast, OMF International, Voice of Martyrs, dan WEC International (kalau ada tambahan, boleh langsung comment, lho!).

Sekadar sharing, dulu saya juga tidak terlalu memedulikan tentang kondisi Kekristenan di dunia. Apalagi ketika masih remaja (tepatnya pada tahun 2014), saya merasa aman-aman saja tinggal di lingkungan saya sebagai orang Kristen. Bukankah sampai hari ini agama Kristen masih mendominasi di dunia? Namun, singkat cerita, pandangan saya terhadap isu ini jadi berubah (kisahnya bisa dibaca di sini dan di sana). Kekristenan yang selama ini saya anggap baik-baik saja ternyata tidaklah demikian. Sejak saat itu, saya mulai mencoba membiasakan diri untuk mendoakan orang-orang yang mengalami penganiayaan karena iman mereka. Kadang-kadang, waktu overthinking malam-malam, saya buka website mengenai negara-negara yang termasuk dalam World Watch List itu. Memang sih, saya tidak selalu untuk melihat bagaimana penganiayaan yang sedang terjadi. Namun, dari video-video itu saya menemukan fakta bahwa negara-negara itu masih memiliki harapan untuk berjumpa dan dimenangkan oleh Kristus. Tugas kita, saudara-saudari seiman dari tiap orang percaya di berbagai belahan dunia ini, adalah menguatkan dan mendukung mereka melalui apapun yang bisa kita lakukan. Entah itu memberikan dana, mendoakan mereka (secara umum maupun dengan pokok doa yang spesifik), atau bahkan terjun ke lapangan secara langsung untuk melayani dan memberitakan Injil di sana. Tidak hanya itu, dengan kecanggihan teknologi yang ada saat ini, kita bisa menggunakannya untuk menjadi berkat bagi mereka yang sedang bergumul dalam iman, “Apakah aku masih dapat mempertahankan imanku di tengah-tengah tekanan ini karena mengikut Kristus?”

 

They are not strangers. They are not a statistics. They are brothers and sisters.

–Open Doors International

 

Memberitakan Injil bukan hanya tugas para hamba Tuhan, melainkan juga kita—yang memiliki beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Iya, ada kalanya kita mempertanyakan keberadaan Tuhan ketika apa yang kita imani tidaklah selalu memberikan kebahagiaan yang kita bayangkan. Sebagai manusia, siapa yang mengharapkan pengucilan dan penolakan—apalagi karena kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan penerimaan atas diri ini apa adanya? Namun, saat tekanan hidup datang silih berganti, ingatlah bahwa iman kita adalah benih gereja yang—suatu hari nanti—akan membuahkan hasil, dan ada orang-orang yang dengan setia mendoakan kita.**

Kiranya Roh Kudus menguatkan kita untuk bertahan di dalam iman kepada Kristus, karena Injil yang tersemai di hati kita layak untuk dipertahankan hingga tetes darah terakhir.

 

*Jika ada pokok doa yang ingin didoakan bersama Pearlians, silakan tulis di kolom komentar, ya. Namun, kalau ada pokok doa yang ingin didoakan secara pribadi, silakan kirim DM ke Instagram saya (@tabita_phinia). Dengan senang hati, saya akan berdoa bersama Pearlians :)

**Bacaan lain yang saya rekomendasikan untuk menemani perenungan dari artikel ini adalah I am N dari Voice of Martyrs

Previous
Previous

Hidup Adalah Kristus

Next
Next

Membangun Karakter, Kapasitas dan Kapabilitas Dalam Persekutuan