Holiness in Parenting
by Nova Nathalie
Peribahasa Tionghoa kuno mengatakan, “Menegakkan sebatang pohon memerlukan waktu 10 tahun, mendidik seorang manusia dengan sukses memerlukan waktu 100 tahun.” Nah, kata “dengan sukses” di sini tentu bisa punya banyak makna, ya. Namun, apabila dilihat dari kacamata Kekristenan, mendidik anak dengan sukses berarti, “Menjalankan prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan dalam pola pengasuhan dan selalu memohon pertolongan-Nya.”
Bukan hal yang mudah pastinya, karena :
Kita, sebagai orang tua, adalah manusia yang lemah dan terbatas, bahkan setiap saat bisa secara otomatis menyimpang dari kebenaran Firman Tuhan; dan
Anak adalah seorang pribadi, unik, dan tidak dengan mudahnya dibentuk sesuai maksud kita, orang tuanya (atau mereka). Setiap anak memiliki kehendak, kemauan, sifat dasar, ketakutan, kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi.
Walaupun demikian, panggilan kita, orang tua Kristen, tetaplah sebagai anak-anak Allah yang Hidup, khususnya dalam menjalankan peran yang dipercayakan kepada kita sepenuhnya. Sepenuh hati, jiwa, raga, dan kemampuan kita.
Inilah sebuah kekudusan di dalam pola pengasuhan, yaitu ketika kita terus berusaha berada di dalam terang Firman Tuhan dan menghidupi setiap kebenaran-Nya.
Saya ingat pada satu momen ketika anak pertama saya berusia tiga tahun (sekarang hampir 10 tahun). My baby girl saat itu sedang mengalami konstipasi, karena dia (ternyata) alergi laktosa. Acara BAB pun dipenuhi drama tangisan air mata (baik dari baby girl maupun dari saya). Hingga pada suatu titik dimana saya sungguh kesal (campuran antara khawatir dan lelah), saya pun membentak my baby girl dengan sekuat tenaga, yang intinya, “Mamah capek nungguin kamu BAB! Ayolah berusaha!” Momen itu saya ingat terus hingga sekarang. Masih tergambar dengan jelas wajahnya yang kaget dan penuh ketakutan, melihat mamanya teriak-teriak. My heart broke. Seketika saya langsung minta maaf dan memeluknya. Saya merasa telah gagal sebagai seorang ibu. Bukankah seorang ibu adalah tempat yang paling nyaman bagi anaknya? Mengapa malah memunculkan ketakutan? ☹
Namun, benarkah saya gagal?
Bagaimana dengan pola pengasuhan tokoh-tokoh Alkitab? Apakah mereka sudah menjalankan kekudusan di dalam pola asuh anak-anak mereka? Mari kita sebagian di antaranya:
RIBKA
Ribka mengajarkan anaknya (Yakub) untuk berbohong. Contoh nyatanya bisa kita lihat dari perkataannya ini pada Yakub, setelah Ribka mendengar bahwa Ishak akan memberkati Esau:“Telah kudengar ayahmu berkata kepada Esau, kakakmu: Bawalah bagiku seekor binatang buruan dan olahlah bagiku makanan yang enak, supaya kumakan, dan supaya aku memberkati engkau di hadapan TUHAN, sebelum aku mati. Maka sekarang, anakku, dengarkanlah perkataanku seperti yang kuperintahkan kepadamu. Pergilah ke tempat kambing domba kita, ambillah dari sana dua anak kambing yang baik, maka aku akan mengolahnya menjadi makanan yang enak bagi ayahmu, seperti yang digemarinya. Bawalah itu kepada ayahmu, supaya dimakannya, agar dia memberkati engkau, sebelum ia mati."
Kalau melihat dari kisah-kisah sebelumnya, kita akan menemukan bahwa Ribka lebih mengasihi Yakub, dan seolah-olah dia merencanakan penipuan ini untuk “membantu” Tuhan memenuhi rencana-Nya atas hidup Yakub dan Esau. Rencana apa yang dimaksud?
“Dua bangsa ada dalam kandunganmu, dan dua suku bangsa akan berpencar dari dalam rahimmu; suku bangsa yang satu akan lebih kuat dari yang lain, dan anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda."
(Kejadian 25:23)Walaupun tujuan Ribka adalah agar Yakub mendapat berkat kesulungan (yang begitu berharga) bahkan untuk “memenuhi” rencana Tuhan, tetapi dilihat dari kacamata pola asuh Kekristenan, tentu kebohongan ini tidak sejalan dengan kekudusan Allah. Belum lagi ketika Ribka berkata, “Akulah yang akan menanggung kutukan itu, anakku,” pada Yakub yang khawatir jika rencana tersebut tersingkap.
YAKUB
Karena sudah diajarkan dalam kebohongan, Yakub juga harus menerima kebohongan dari Laban pamannya (perihal Rachel dan Lea) dan dari anak-anaknya selama 20 tahun (mengenai kematian Yusuf). Yakub juga terlalu mencintai satu anak dibanding anak yang lainnya, yaitu Yusuf—yang menimbulkan iri hati dari saudara-saudaranya. Ini juga tentu tidak sejalan dengan menjalankan firman Allah.IMAM ELI
Dalam 1 Samuel 2:12-17, Alkitab merinci kejahatan-kejahatan anak-anak imam Eli, yaitu Hofni dan Pinehas yang juga merupakan imam di Silo. Hofni dan Pinehas sungguh bercela di hadapan Allah, perbuatan-perbuatan mereka sungguh keji karena tidak menghormati kehadiran-Nya yang mahakudus. Hingga di ayat 29 Allah bertanya, “Mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku?” Sungguh ironis karena imam Eli yang adalah seorang imam dalam Bait Suci justru tidak sanggup menjaga kekudusan melalui pengasuhan pada anak-anaknya.
Alkitab mencatat kegagalan-kegagalan umat pilihan-Nya dalam mendidik anak-anak mereka. Hal ini menjadi sebuah peringatan keras bagi kita, bahwa hal mendidik anak bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Mengapa? Karena menjadi orang tua adalah sebuah tugas panggilan yang membutuhkan ketaatan untuk terus menjaga kekudusan di hadapan Allah.
Dan tentunya saling menjaga kekudusan di antara suami-istri.
Suami istri yang saling percaya, satu prinsip dalam menjalankan pola asuh, merupakan kunci utama “keberhasilan” dalam mendidik anak. Berhasil di sini tentu bukanlah berhasil dalam artian semua berjalan dengan mulus, anak yang taat dan selalu kooperatif. Berhasil di sini dalam arti kita—sebagai orang tua—dapat membentuk anak yang tumbuh menjadi pribadi yang mencintai Allah dan sesamanya. Kita dimampukan Tuhan untuk mendidik anak (atau anak-anak) yang memiliki karakter Kristus dan senantiasa berusaha hidup kudus, serta menjadi pribadi yang terus mendengarkan dan mentaati panggilan-Nya.
Puji Tuhan, sekarang sudah banyak tools yang tersedia untuk menolong kita mencapai cita-cita tersebut. Well, Alkitab memang tidak memberikan panduan lengkap dan rinci mengenai “how to be good parents” serta setiap peristiwa yang dapat terjadi. Namun, Allah memberikan hikmat kepada para psikolog, konselor, dan teolog yang terpanggil di bidang family ministry.
Ada begitu banyak buku tentang pola asuh Kristiani.
Ada begitu banyak buku tentang tahap-tahap perkembangan anak.
Ada begitu banyak video dan sosial media yang membahas tentang dunia pola asuh dari A hingga Z.
Gereja-gereja juga sudah makin berlomba-lomba mengadakan seminar-seminar mengenai pola asuh di dalam keluarga.
Terserah kitanya yang mau terus belajar atau tidak.
Belajar tidak hanya dari segi pengetahuan yang terus diperlengkapi, tetapi berlatih terus-menerus untuk memiliki pola asuh yang sehat dan memberikan teladan kekudusan hidup bagi anak-anak. This is a lifelong process, so we need God’s wisdom to keep our integrity living in His holiness.
Oh, ya. Setelah peristiwa BAB dari anak perempuan saya tadi, pada akhirnya saya bisa berdamai dengan diri sendiri, yaitu tidak menganggap diri sebagai ibu yang gagal (hanya) karena lepas kendali. Hal itu sungguh manusiawi untuk saya rasakan dan alami. Yang penting adalah saya belajar dari peristiwa itu untuk lebih mengendalikan diri, lebih banyak belajar lagi, dan selalu memohon pertolongan Tuhan yang telah mengaruniakannya (serta my baby boy) pada saya dan suami. :)
Kiranya Tuhan Yesus menolong kita semua.