Serving God Through Your Marriage
by Leticia Seviraneta
Bagaimana jika Tuhan memakai pernikahanmu
sebagai sarana untuk mengenal-Nya, mengalami-Nya, mengasihi-Nya,
dan melayani-Nya lebih baik lagi?
Bagi kaum lajang, pernikahan sering digambarkan sebagai destinasi dari suatu hubungan romansa yang penuh kebahagiaan. Bahkan cerita-cerita dongeng masa kecil memiliki akhir di saat pasangan utama cerita tersebut menikah dan diakhiri dengan: “…dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya.” Namun bagi yang sudah menjalani kehidupan pernikahan, mereka tahu bahwa hari pernikahan adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh suka dan duka. Kehidupan pernikahan bukanlah satu titik destinasi akhir, melainkan awal perjalanan baru yang banyak membutuhkan kasih karunia Tuhan. Menyatukan dua insan yang berbeda tidaklah mudah. Dibutuhkan banyak pengorbanan, mematikan sifat egois, banyak kompromi dan komunikasi, banyak pengampunan ketika pasangan berbuat salah, dan kerja sama yang solid untuk menghadapi berbagai rintangan yang ada.
Pernikahan yang berhasil itu seperti apa? Pernikahan yang berhasil di mata Tuhan adalah pernikahan yang merefleksikan kasih Allah kepada dunia. Rasul Paulus menuliskan dinamika pernikahan dalam Efesus 5:22-33.
Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. – Efesus 5:31-32
Tuhan menciptakan pernikahan di mana kesatuan antara suami dan istri mencerminkan kesatuan Kristus dengan jemaat (orang percaya). Di mata Tuhan, mereka sudah menjadi satu dan tidak dapat terpisahkan lagi. Di mata manusia, dampak kesatuan tersebut dapat terasa secara efektif ketika suami mengasihi istri dan istri tunduk kepada suami.
Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. – Efesus 5:25-28
Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. – Efesus 5:22-24
Agar suami dapat mengasihi istri sebagaimana Kristus mengasihi jemaat, serta agar istri dapat tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan, dibutuhkan banyak proses pemurnian karakter masing-masing. Di sinilah terjadi berbagai gesekan, konflik, di mana bila kita meresponi dengan benar maka kita semakin mencerminkan kasih Kristus dalam hubungan kita.
Ada tiga sudut pandang yang dapat menolong kita untuk dapat mencerminkan kasih Kristus dalam pernikahan kita:
1. Pernikahan tidak bertujuan untuk membuat kita lebih bahagia, melainkan hidup lebih kudus.
Berbeda dengan pandangan dunia, pernikahan tidak bertujuan untuk menjadikan kita pribadi yang lebih bahagia. Bila kita mau diproses, pernikahan dapat menjadi sarana yang menjadikan kita lebih kudus. Di dalam kekudusan, sukacita sejati pun akan mengikuti. Pola pikir pernikahan itu bertujuan untuk menjadikan kita lebih bahagia akan membuat kekuatan kita lemah di saat masalah melanda. Apa yang akan terjadi ketika pernikahan itu sedang tidak menyenangkan atau malah membuat kita menderita? Akan lebih mudah rasanya untuk menyerah, mencari jalan pintas, atau keluar dari pernikahan tersebut. Sementara Tuhan merancang kesatuan antara suami dan istri tidak dapat terpisahkan lagi. Jadi bila tidak ada jalan keluar dari pernikahan, maka kita perlu merendahkan hati dan menjalankan pernikahan tersebut dengan cara Tuhan yang pada akhirnya menuntun kita kepada kekudusan.
Di dalam kitab Hosea, Tuhan secara spesifik meminta Hosea untuk menikahi perempuan sundal dan memperanakkan anak-anak sundal sebagai pesan bagi bangsa Israel yang telah tidak setia kepada-Nya.
Ketika TUHAN mulai berbicara dengan perantaraan Hosea, berfirmanlah Ia kepada Hosea: "Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN." – Hosea 1:2
Hosea taat dan melakukan seperti yang diperintahkannya. Ia menikahi perempuan sundal yang bernama Gomer dan dari pernikahan tersebut lahirlah tiga anak yang bukan merupakan anak Hosea sendiri.
Tentang anak-anaknya, Aku tidak menyayangi mereka, sebab mereka adalah anak-anak sundal. Sebab ibu mereka telah menjadi sundal; dia yang mengandung mereka telah berlaku tidak senonoh. Sebab dia berkata: Aku mau mengikuti para kekasihku, yang memberi roti dan air minumku, bulu domba dan kain lenanku, minyak dan minumanku. – Hosea 2:3-4
Walaupun demikian, Allah memerintahkan Hosea untuk menebus istrinya dan mencintainya kembali meski ia tidak setia kepada Hosea. Adapun perzinahan istrinya masih berlangsung saat itu.
Berfirmanlah TUHAN kepadaku: "Pergilah lagi, cintailah perempuan yang suka bersundal dan berzinah, seperti TUHAN juga mencintai orang Israel, sekalipun mereka berpaling kepada allah-allah lain dan menyukai kue kismis." – Hosea 3:1
Hosea diperintahkan untuk mengasihi, meskipun sulit dan pasangannya tidak layak untuk dikasihi. Tuhan memerintahkan Hosea melakukannya untuk merefleksikan kasih Tuhan kepada umat Israel yang juga telah berlaku tidak setia kepada-Nya. Allah tetap setia, meskipun umat-Nya tidak setia. Inilah jenis pernikahan yang tidak bertujuan untuk sekedar bahagia, namun memiliki visi dan misi yang lebih besar dari kehidupan kita yaitu merefleksikan kasih Tuhan kepada dunia. Tentu tidak mudah, sehingga kita sangat membutuhkan kasih karunia dan kekuatan dari Tuhan untuk menjalaninya. Berdoalah dan terus terhubung dengan Tuhan sebagai sumber kasih tersebut agar kita dimampukan untuk tetap setia dalam setiap keadaan.
2. Pernikahan merupakan sarana melayani Tuhan di bumi
Pernikahan tidak akan berhasil selama kita berfokus kepada diri kita sendiri. Pernikahan memang dirancang sedemikian rupa sehingga ketika pasangan dan Tuhan kita diutamakan, maka sukacita sejati lahir dari padanya.
karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. – Filipi 2:2-4
Keindahan pernikahan justru ketika kita diperhadapkan dengan keegoisan kita dan membutuhkan kita untuk melayani 24 jam sehari. Saat kita paling lelah, paling merasa butuh dikasihani, kita justru diberikan kesempatan untuk menghadapi rasa ingin dikasihani tersebut, bangun, dan melayani pasangan kita. Bila memiliki pola pikir melayani pasangan sama seperti sedang melayani Tuhan, maka kita akan terdorong untuk memberikan yang terbaik terlepas dari apa pun respons pasangan kita.
3. Pernikahan merupakan sekolah karakter terbaik untuk kita hidup berbuah
Pernikahan bukanlah tentang kehidupan suami dan istri itu sendiri. Pernikahan yang berhasil memiliki misi yang lebih besar dari keberadaan mereka. Pernikahan kita dapat menjadi sumber berkat bagi orang lain ketika kita turut aktif dalam proses pembentukan karakter yang terjadi di dalamnya dan pada akhirnya berbuah.
Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. – Galatia 5:22-24
Setiap konflik yang ada dapat menjadi sarana kita untuk menyalibkan kedagingan kita dan mempraktikan karakteristik dari buah Roh. Tidak ada yang menentang kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Ketika kita mempraktikkan itu, dunia tidak bisa tidak terkagum karenanya. Di situlah pernikahan kita menjadi kesaksian hidup akan kasih Allah kepada umat-Nya.
Pernikahan yang sesuai rancangan Allah memang sulit dan mustahil untuk dicapai dengan kekuatan kita sendiri. Kita membutuhkan Roh-Nya untuk memampukan kita hari demi hari agar kita dapat meresponi setiap situasi dengan kasih. Dan kabar baiknya adalah Roh-Nya sudah tinggal di dalam kita! Kita hanya periu taat dan percaya, bahwa rancangan-Nya indah bagi setiap pernikahan kita. Jalanilah kehidupan pernikahanmu dengan tujuan untuk mengenal-Nya, mengalami-Nya, mengasihi-Nya dan melayani-Nya dengan melakukan apa yang benar bagi pasangan kita.