How to be Holy, when We Feel We are Not

by Rebecca Laiya

Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu. Sama seperti Dia yang kudus yang telah memanggil kamu,
(1 Petrus 1:15)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kudus adalah “suci dan murni”. Kalau dibilang bahwa sebagai orang percaya kita adalah orang-orang kudus, maka itu berarti Tuhan memanggil kita untuk menjadi suci dan murni. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat menjadi kudus? Sepertinya kualifikasi menjadi kudus sangat jauh dari kita. Apalagi kalau kita masih jatuh bangun dengan dosa-dosa tertentu. Apakah memang benar menjadi kudus artinya sudah terbebas dari seluruh dosa-dosa kita? Bukankah sebagai orang berdosa, tidak ada seorang pun yang benar di mata Tuhan (Roma 3:10-12)?

Dalam bahasa Ibrani, kata “kudus” (qadosh) berarti “terpisah atau tidak bercampur dengan lainnya”. Artinya, hidup kudus adalah hidup yang memisahkan diri dari segala hal yang dapat menghalangi hubungan kita dengan Allah. Contoh nyatanya adalah Abraham, yang dikuduskan untuk menjadi bapa orang beriman, dan kelak memiliki keturunan berupa orang Israel. Mereka dipilih bukan karena kehebatan dalam peperangan, melainkan semata-mata karena kasih karunia Tuhan, sehingga mereka dilayakkan untuk menjadi umat Allah—berbeda dari bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal-Nya (Pearlians bisa membaca kisah selengkapnya dari Keluaran hingga Maleakhi). Bahkan bangsa Israel memiliki segepok peraturan yang sangat ketat untuk membedakan kehidupan mereka dari bangsa-bangsa penyembah berhala (bagian ini dibahas di dalam Keluaran hingga Ulangan). Sayangnya, bangsa Israel adalah bangsa yang tegar-tengkuk. Saking bebalnya mereka terhadap kebenaran Firman Allah, Dia membuang mereka ke Babel hingga akhirnya baru kembali “dibebaskan” 70 tahun kemudian. Nah, apakah ini artinya Allah salah memilih umat-Nya? Kalau kita yang ada di posisi bangsa Israel, belum tentu kita akan memiliki sikap hati yang mau untuk dikuduskan, kan?

Dengan bangsa Israel yang tidak mampu menggambarkan umat pilihan Allah, maka Dia mengutus Yesus Kristus, Anak-Nya yang Tunggal, untuk menjadi “penggenapan” Israel yang kudus. Dia sendiri adalah Pribadi yang kudus, tidak berdosa, dan tidak bercacat. Perfecto pokoknya. Namun, Yesus juga mengalami hal-hal yang tidak mudah selama tinggal di dunia ini. Yesus pernah dicobai oleh Iblis (Matius 4:1-11), ditolak oleh bangsa-Nya sendiri, bahkan kematian-Nya sangat tidak layak karena diri-Nya disalibkan—dan ini menandakan bahwa diri-Nya “dikutuk” oleh Allah dan manusia. Walaupun demikian, Yesus—yang telah bangkit dan naik ke surga—adalah Perantara kita yang memahami pergumulan kita sebagai orang berdosa, hanya saja Dia tidak berdosa (Ibrani 4:15). Artinya, Dia juga memahami kelemahan kita di dalam menjalani kehidupan yang kudus, karena pengudusan itu tidak akan pernah mudah untuk dilalui. Akan ada keinginan diri yang harus dipangkas, hati yang dihancurkan demi menggenapi rencana Allah (meskipun saat ini kita tidak dapat melihatnya), dan sebagainya.

Kita dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi kudus, tetapi bukan berarti kita sudah secara otomatis dapat langsung menjadi kudus sepenuhnya.

Pengudusan memerlukan proses, yang mendorong kita perlu menjalin hubungan yang makin erat dengan Tuhan, sehingga dari hari ke hari kita akan belajar menjadi kudus sama seperti Tuhan yang kudus. Proses menjadi kudus memerlukan latihan dari hari ke hari. Namun, ada kalanya kegagalan demi kegagalan menghampiri kita. Kadang-kadang kita merasa gagal menjadi istri, ibu, atau anak yang baik. Kita merasa bersalah dan tidak bisa move on, sehingga membuat proses pengudusan kita menjadi terhalang. Bahkan mungkin saja kita meyakini bahwa menjadi kudus sama saja dengan (meminjam perumpamaan Yesus, walaupun beda konteksnya) memasukkan unta ke dalam lubang jarum: sangat mustahil. Namun, bersyukurlah! Anugerah Allah yang berbelas kasihan melayakkan kita memiliki hidup yang kudus—berjalan selaras dengan kehendak Tuhan walaupun ada lika-liku—melalui bimbingan Roh Kudus. Jika kita mengaku telah percaya kepada-Nya, maka kita juga perlu mengasah kepekaan terhadap suara Roh Kudus yang membimbing dan menguatkan kita.

Menurut pengalaman pribadi saya, memendam rasa bersalah tanpa menanganinya dengan baik justru kita akan jauh dari proses menjadi kudus. Lalu, bagaimana? Salah satu cara yang saya lakukan untuk mengatasinya adalah dengan berusaha mempelajari ilmu lain selain Alkitab dan teologi, ilmu lain yang tentunya mengarahkan kita pada terang-Nya yang ajaib (all truth is God’s truth, kalau kata Arthur F. Holmes). Saya mempelajari ilmu fisiologi, psikologi, dan neuroscience yang membantu saya  untuk mampu berproses menjadi kudus. Tentu saja, saya memohon tuntunan Roh Kudus. Meskipun belum sempurna, saya sudah dapat berdamai dengan diri sendiri. Dengan pertolongan-Nya, saya belajar untuk tidak menyalakan diri sendiri atau orang lain, melainkan berusaha memahami segala sesuatu sesuai kenyataan yang ada.

Proses menjadi kudus bukanlah sesuatu yang gampang, penuh lika-liku dan ini bukanlah proses yang  terjadi secara instan. Maukah kita berjuang di dalam anugerah Tuhan untuk memiliki hidup yang dikuduskan ini?

Kiranya Tuhan menolong kita.

Previous
Previous

Fear Of Missing Out

Next
Next

God is Holy, So What?: Ulasan Buku “Holier than Thou”