Hai, “Rubah Kecil”, Keluarlah dari Pagar Kami: Sebuah Cerita Pendek

by Tabita Davinia Utomo 

*kesamaan nama dan peristiwa hanya kebetulan.

“Fan, menurutmu wajar, nggak, sih, kalau aku ingin pelukan sama Kak Darryl?”

Fanny mengerutkan dahi ketika mendengar pertanyaanku barusan. “Memangnya ada yang berkomentar begitu, The?” dia balik bertanya.

“Hmmm… nggak yang seblak-blakan itu, sih. Tapi, aku merasa aneh aja kalau pelukan sama dia,” jawabku sambil mendesah dan menatap embun di gelas iced lemon tea-ku.

“Aneh gimana maksudnya? Ada perasaan nggak nyaman, canggung, atau malah rasa bersalah kalau misalnya kamu peluk dia?” Fanny bertanya lebih lanjut.

Mendengar pertanyaan Fanny, aku mengangguk dan membalas, “I guess all of them.”

“Ohh…” kali ini Fanny tersenyum. “Apa yang bikin kamu merasa kayak gitu?”

“Kayaknya karena aku kebanyakan baca tulisan soal batasan fisik dalam berpacaran gitu, sih. Abisnya aku pengen bisa beneran jaga diri, nggak mau biarin orang lain asal nyentuh. Tapi aku juga pengen nunjukkin ke Kak Darryl kalau aku sayang sama dia. Huft…” Aku berhenti sejenak untuk mencari kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung Fanny—yang juga sedang mempersiapkan pernikahannya. “Aku takut dibilang punya jiwa yang memberontak kalau aku nggak ikutin prinsip jaga batasan itu…”

“Memberontak?” sela Fanny heran. “Maksudmu kalau punya keinginan untuk dipeluk terus beneran dilakukan, itu bener-bener nunjukkin kalau dirimu memberontak sama orang lain?”

“Nggak tahu, deh.” Aku menghela napas. “Menurutmu gimana, Fan?”

“Gimana ya… Jujur aja, sebenernya nggak ada standar yang baku untuk batasan fisik kalau pacaran gitu,” jawab Fanny. “Kalau kamu tanya ke orang tuamu, pasti bakal beda lagi jawabannya… Aku pun sama Kak Jojo—walaupun udah bertunangan—sempet punya pandangan yang beda, lho, soal sejauh apa kami bisa saling kasih sentuhan fisik.”

“Serius?!?” Aku mencondongkan badanku ke arah Fanny saking kagetnya. Pasangan yang kelihatannya goals bagiku ini juga pernah mengalami apa yang aku dan Kak Darryl—pacarku—alami? “Ihh, sama kayak aku, Fan! Terus gimana kalian ngadepinnya? Jadi sering ada konflik nggak, sih?”

“Hehehe… Awalnya pasti ada konflik lah, ya.. secara bahasa kasih utamanya Kak Jojo itu sentuhan fisik, sedangkan aku justru risih kalau disentuh dikit aja—apalagi sama cowok yang nggak deket sebelumnya. Tapi akhirnya, pelan-pelan kami belajar kalau ternyata bahasa kasih kita juga bisa dipengaruhi sama beberapa hal, lho.”

“Oh, ya? Apa aja, tuh?” tanyaku penasaran.

“Yahh… ini tapi dari pengalaman kami, ya, walaupun ada juga, kok, hubungannya sama teori perkembangan manusia. Kamu masih inget, kan, The?” Ah, iya. Fanny bertanya demikian karena kami adalah lulusan psikologi.

“Masih, dong. Salah satu kebutuhan manusia, kan, adanya penerimaan dan kasih sayang… dan bentuknya bisa macem-macem.”

“Bener!” Fanny mengangguk. “Nah, bahasa kasih kita itu bisa dibentuk dari karakter kita, apa yang kita sukai, plus kebutuhan yang nggak terpenuhi di masa lalu. Makanya kenapa urutan bahasa kasih kita bisa ganti-ganti, kan…”

 “Bentar, bentar…,” selaku. “Aku butuh contoh yang jelas, Bu Psikolog.” (Oh, ya. Fanny memang sudah lulus dari magister profesi psikologi, jadi sah-sah saja aku memanggilnya demikian. Hehe)

“Hahahaha… siap, Bu Guru. Nah, coba, deh… Bahasa kasihmu sama Kak Darryl apa, The?” Fanny bertanya sambil mengaduk fettucine carbonara-nya.

“Aku sama Kak Darryl sama-sama quality-time person, sih. Jadi itu udah nolong banyak banget buat kami bisa kenal satu sama lain, karena banyak obrolan yang ˆdan intens—bahkan sejak awal kami masih temenan. Cuma, bahasa kasih dominan keduanya, nih, yang beda… Aku orangnya suka banget kalau dapet kata-kata pujian dan penyemangat, sedangkan kebutuhannya dia justru minim banget di situ. Tapiii dia suka banget buat dapet sentuhan fisik, sementara aku canggung banget kalau harus sentuh dia. Kayak… grogi gitu. Takut salah, nanti dia malah kayak kepancing buat minta lebih, kan, repot…”

Fanny mengangguk paham. “I see… Iya, makanya kita butuh teges juga, sih, buat jagain pagar-pagarnya biar nggak rusak karena pengen buat nyenengin pasangan.”

“Itu diaaa… Aku bingung, Fann…” keluhku.

“Ngomongin soal pagar, aku jadi inget sama istilah yang dipakai sama konselor kami. Thea pernah denger istilah “rubah-rubah kecil” yang ada di Kidung Agung, nggak?”

Aku menggeleng. “Kidung Agung itu kitab yang enggak banget buat aku. Isinya soal pernikahan gitu… Aku agak nggak nyaman bacanya.”

“Ohh… Iya, sih. Nggak banyak gereja yang bahas juga kali, ya, jadi bisa ada mindset kayak gitu,” balas Fanny. “Tapi sebenernya menarik, lho, kitab itu… karena di situ aku sama Kak Jojo jadi belajar kalau batasan fisik—dan emosi—itu bisa jadi “rubah-rubah kecil” kalau nggak ada kesepakatan yang jelas. Jangankan pas udah nikah; masih pacaran pun kita perlu hati-hati, lho…”

“Hmm… kenapa rubah, ya? Aku masih nggak ngerti,” kataku sambil mengerucutkan bibir.

“Nih, kita baca Kidung Agung 2:15 dulu, ya,” Fanny mengajakku membuka bagian Alkitab tersebut:

Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu, rubah-rubah yang kecil, yang merusak kebun-kebun anggur, kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga!”

Sambil menyuap fettucine-nya, Fanny melanjutkan, “Rubah itu bisa dibilang kayak “hama”, The. Mereka sering ngerusakkin tanaman orang, termasuk kebun-kebun anggur ini—yang ngegambarin relasi pria dan wanita yang jadi tokoh di dalam Kidung Agung. Nah, kamu bisa kebayang, kan, kira-kira “rubah-rubah” kecil ini, tuh, misalnya apa?”

Aku berpikir sejenak, mencoba mencerna penjelasan Fanny. Kemudian, aku berujar, “Kayak… prinsip kekudusan dalam berpacaran gitu, Fan? Kalau misalnya nggak dibahas sampai ke background masa lalu kita, ujung-ujungnya bakal berantem melulu karena nggak ada yang mau ngalah. Apalagi kalau bahasa kasih kita beda dari pasangan, terus kita merasa mereka nggak memahami kita.”

Fanny mengangguk. “Iya. Walaupun—aku harus bilang apa adanya, ya—relasi kita yang ada sekarang ini belum tentu akan berlabuh di dalam pernikahan, tapi pacaran ini jadi konteks yang Tuhan kasih biar kita bisa mempersiapkan diri untuk memasukinya, kan? Termasuk gimana kita menghadapi “rubah-rubah kecil” itu…”

“Oke, deh… Yang soal “rubah-rubah kecil” itu aku paham, sih. Intinya, kalau ada masalah yang dibiarin aja, lama-lama bisa jadi “hama” yang bisa bikin relasi jadi rusak parah, kan?” aku menyimpulkan penjelasan Fanny tadi.

“Benerrr. Nah, sejauh ini, kalau kamu sama Kak Darryl sendiri, gimana kalian kalau ada yang butuh pasangannya buat “memenuhi” kebutuhan bahasa kasihnya?”

“Duh, kadang-kadang bisa berantem, Fan..,” jawabku dengan salah tingkah. “Aku nggak berani bilang ke Kak Darryl kalau aku pernah merasa hina karena minta peluk ke dia sebelum kami mulai pacaran… Makanya abis itu aku nggak mau lagi; aku takut dinilai jadi cewek murahan sama orang lain… Padahal…” Aku menghela napas panjang, lalu melanjutkan, “Dulu aku jarang banget dipeluk sama Papaku. Aku juga jarang dipuji secara langsung sama keluarga sendiri… Mungkin itu kali, ya, yang bikin aku butuh kata-kata yang nguatin dan muji aku… tapi sekaligus jadi nggak terbiasa kalau meluk orang lain—eh, meluk cowok, lebih tepatnya. Anehnya, aku merasa kadang-kadang juga pengen dipeluk… Gimana, tuh, Fan? Apa aku labil, ya?”

“Rasa labil itu bisa aja muncul, kok, The,” jawab Fanny. “Tapi ini yang jadi peganganku: Selama yang dilakuin Kak Jojo ke aku—dan sebaliknya—emang didasari oleh kasih Kristus, aku perlu percaya kalau itu bukti kasih kami satu sama lain—bukannya didasari hawa nafsu semata.”

“Gimana bedainnya?” tanyaku penasaran.

Fanny menatapku, lalu menjawab, “1 Korintus 13, The. Itu jadi dasar kami untuk saling mengasihi.”

“Tapi itu bukannya konteksnya dalam persekutuan, ya, Fan?”

Mendengar jawabanku, Fanny meringis. “Hehehe.. bener, sih. Pasal sebelum dan setelahnya, kan, ngebahas tentang karunia rohani, ya. Tapi sebenenernya kasih itu kudu diterapin di mana aja, khususnya dalam relasi pribadi. Apalagi nanti kalau udah nikah, kasih Kristus itu yang harus jadi pondasi—karena pernikahan itu adalah salah satu pilar gereja. Bayangin kalau pilarnya nggak dipelihara terus jadi rusak, lama-kelamaan gereja juga bakal hancur,” dia menjelaskan dengan panjang lebar.

“Ohh… I see. Kalau pakai kasih Kristus, harusnya nggak boleh egois, aku dan Kak Darryl harus mau merendahkan hati, tapi juga berani tegas kalau udah mulai nyentuh batas kewajaran, ya.”

“Iya.” Fanny mengangguk. “Ada orang yang nganggep pelukan itu sesuatu yang wajar dan nggak bikin dia ke-trigger untuk ngelakuin yang lebih. Tapi ada juga yang begitu pegangan tangan, pikirannya udah ke mana-mana. Makanya kenapa aku selalu tanya ke diri sendiri tiap kali mau nyentuh Kak Jojo, “Kira-kira dia butuh sentuhan kayak gimana biar tahu kalau aku sayang sama dia? Melampaui batas, nggak, ya?”,” tambahnya.

Aku melongo, membayangkan betapa kompleksnya manusia dengan semua keunikannya. “Ya ampun, jadi itu yang bikin beda-beda, ya, Fan… kompleks banget, dah.”

“Itu dia, The. Makanya aku sama Kak Jojo sepakat buat nggak cium sampai sebelum nikah—bahkan di dahi. Karena kami nganggep ciuman itu jadi sesuatu yang beneran intim. Kami baru berani pelukan itu pas dia ngelamar aku… Tapi ada juga yang cium dahi sama pipi, kok, dan itu emang dilakuin karena kasih yang tulus. Oh, ya. Di sini poinnya kita beneran butuh kasih Kristus untuk mengasihi orang yang kita pilih secara sadar, ya. Kalau kita jadi merasa terpaksa buat mengasihinya, kita perlu tanya ke diri sendiri kenapa bisa kayak gitu.”

“Nanya gimana?” Aku memiringkan kepala.

“Salah satunya ini, sih… “Apakah relasi ini patut untuk diperjuangkan?” Kan, relasi itu harus dipelihara terus-menerus, ya. Makanya membangun cinta itu butuh seni, karena setiap orang punya keunikannya masing-masing… Aku juga sering diskusi sama Kak Jojo, apakah kami bertumbuh di dalam relasi yang sedang dijalani? Makin kenal diri sendiri—dan Tuhan, tentunya—dari relasi ini? Kalau nggak, mungkin itu juga yang bisa menghambat cara kami dalam mengasihi satu sama lain.”

Entah karena melihatku masih merasa bersalah atau memang ingin menghiburku, Fanny menepuk-nepuk tanganku dan berkata, “Nggak ada kata terlambat untuk berubah, kok, The. Selama kamu dan Kak Darryl bisa menunjukkan kasih sayang dengan tanggung jawab di dalam Kristus, lakuin aja. Takutlah kalau itu bikin kita jadi berdosa di hadapan-Nya.”

“Gitu, ya?” gumamku. “Jadi… wajar, ya, Fan, kalau aku atau Kak Darryl punya kebutuhan untuk memeluk dan dipeluk?”

Fanny mengangguk. “Makin deket sebuah relasi, makin besar juga keinginan untuk nunjukkin kasih ke pasangan, kan?” dia balik bertanya lagi, dan aku balas dengan anggukan. “Coba aja buat bahas itu sama Kak Darryl baik-baik. Ceritain aja pergumulanmu, in case kamu masih ada perasaan bersalah soal pelukan itu. Tuhan yang menolong kalian buat bisa tetep saling mengasihi di dalam “pagar” intervensi-Nya, ya.”

Mendengar penjelasan Fanny, akhirnya aku tersenyum lega. “Thank you, Fanny. Doakan aku, ya, biar bisa mempertanggungjawabkan bahasa kasihku, dan nggak biarin “rubah-rubah kecil” itu nongol melulu dalam relasi kami…”

“Anytime, Thea. Makasih juga, ya, kamu udah mau cerita dengan jujur.” Fanny membalas dengan senyum pula.

“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan;”
(1 Korintus 13:4-8a)

Previous
Previous

How to Choose the Right Partner to Marry

Next
Next

Purity in Sexuality