Blog Majalah Pearl
Sambil meminum secangkir teh,
selamat membaca artikel-artikel kami!
Dating Apps: Yes or No?
Dulu, bila ada yang bertanya, “Kamu bertemu pasanganmu di mana?”, jawaban yang umum adalah “di gereja”, “dikenalin teman atau saudara”, “di sekolah”, “di tempat kerja”, dsb. Di kalangan Kristen sendiri, mungkin ada yang agak malu-malu atau sungkan bila menjawabnya dengan “dating apps”. Seperti masih ada paradigma yang kurang baik tentang dating apps itu sendiri. Hmm.. adakah Pearlians yang mengalaminya? Lalu, benarkah stigma demikian masih dipertahankan dalam era perkembangan teknologi seperti sekarang? Yuk, mari kita bahas.
Ketika Tuhan Diam - Part 2
Minggu lalu, kita telah belajar bahwa Tuhan tetap setia meskipun kita tidak setia di dalam menantikan diri-Nya. Hari ini, kita akan melanjutkannya dengan belajar bahwa kita punya kecenderungan untuk hanya menantikan apa yang Tuhan janjikan, bukan pribadi-Nya sendiri. Walaupun demikian, masih ada harapan bagi kita untuk membenahi diri. Kalau minggu lalu kita belajar dari Abraham dan Sara, hari ini kita akan belajar dari Daud.
Ketika Tuhan Diam - Part 1
Tidak ada yang suka menunggu. Tidak ada yang suka penundaan. Namun baik menyukainya atau tidak, menunggu merupakan bagian dari kehidupan yang pasti kita alami. Seorang lajang menunggu pasangan hidup agar ia dapat menikah; pasangan suami-isteri menunggu untuk memperoleh anak; seorang ibu menunggu perkembangan janin sampai kelahiran anaknya selama sembilan bulan; seorang anak menunggu dan bersekolah selama 21 tahun sampai ia dianggap dewasa, dst. Bahkan di restoran pun kita perlu menunggu sampai pesanan kita siap disajikan, memanaskan makanan di rumah pun perlu periode waktu untuk menunggu. Kita semua senantiasa menunggu akan sesuatu atau seseorang di setiap musim kehidupan kita… dan sering kali kita merasa lelah menunggu…
Serving God Through Your Marriage
Bagi kaum lajang, pernikahan sering digambarkan sebagai destinasi dari suatu hubungan romansa yang penuh kebahagiaan. Bahkan cerita-cerita dongeng masa kecil memiliki akhir di saat pasangan utama cerita tersebut menikah dan diakhiri dengan: “…dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya.” Namun bagi yang sudah menjalani kehidupan pernikahan, mereka tahu bahwa hari pernikahan adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh suka dan duka. Kehidupan pernikahan bukanlah satu titik destinasi akhir, melainkan awal perjalanan baru yang banyak membutuhkan kasih karunia Tuhan.
How to Choose the Right Partner to Marry
Hidup kita merupakan hasil dari serangkaian keputusan yang kita ambil. Ada yang pernah berkata bahwa dua keputusan yang paling mengubahkan hidup kita adalah pilihan karir yang kita tekuni dan pilihan pasangan hidup. Dalam memilih pasangan hidup, banyak yang memilih berdasarkan perasaan cinta, faktor materi, dan banyak hal lainnya. Namun, bagaimanakah cara paling bijak untuk memilih pasangan hidup yang berkenan kepada Tuhan? Melalui bukunya, The Sacred Search, Gary Thomas memberikan banyak petunjuk untuk kaum lajang agar dapat memilih dengan bijaksana sehingga dapat membangun pernikahan yang sehat dan memuliakan Tuhan.
A Fresh Start
Menuju di akhir tahun 2021 ini, kita sering kali dianjurkan untuk melihat ke belakang sejenak untuk mengevaluasi apa yang sudah atau belum kita lakukan. Bahasa kerennya adalah resolusi. Ketika melakukannya, kita dapat teringat pada—bukan hanya—hal-hal yang patut kita syukuri, tetapi juga hal-hal yang kita sesali. Ada suka, ada duka. Evaluasi seperti ini tentu saja baik. Hanya saja, kita perlu ingat bahwa seindah-indahnya masa lalu, semuanya telah berlalu. Demikian juga seburuk-buruknya masa lalu, semuanya juga telah berlalu. Janganlah tinggal di masa lalu, Pearlians. Tuhan kita adalah Tuhan yang selalu melakukan sesuatu yang baru. Kenyataan ini memampukan kita untuk memiliki pengharapan yang baru akan esok. Kegagalan di masa lalu dapat digantikan dengan kesempatan yang baru untuk melakukannya dengan lebih baik lagi. Our God is a God of second chance. Bukankah itu luar biasa?
The Opened Book
Memberitakan Injil sering kali dikatakan sebagai tugas pendeta, guru Injil, pengkhotbah, dsb. Mungkin di antara teman-teman ada yang beranggapan memberitakan Injil sama dengan berkhotbah, harus sekolah Alkitab dahulu, atau pandai bicara di depan umum. Eits.. tetapi ternyata memberitakan Injil adalah mandat bagi seluruh orang percaya. Ya, aku dan kamu tidak terkecuali.
Yohanes Pembaptis - Pelari Garis Depan Raja
Peristiwa kelahiran Yohanes Pembaptis dalam Lukas 1:5-80 merupakan penggenapan dari nubuat yang telah ada sebelumnya. Peristiwa kelahiran itu sendiri adalah sebuah mujizat, karena dia lahir dari pasangan Zakaria dan Elisabet yang mandul dan keduanya telah lanjut umur. Mereka merupakan keturunan Harun, yang dikhususkan untuk menjadi imam besar dari seluruh suku Israel. Ketika Yohanes telah lahir, Zakaria menjadi penuh dengan Roh Kudus dan bernubuat…
God’s Love Language
Gary Chapman, penulis buku “The 5 Love Languages”, menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki bahasa kasih—cara yang menunjukkan bagaimana seseorang merasakan bahwa dia dikasihi. Bahasa kasih dari buku Gary Chapman ini digolongkan menjadi lima jenis: kata-kata yang membangun, menghabiskan waktu berkualitas bersama, memberikan hadiah, melayani, dan sentuhan fisik.
Delayed Obedience
Pada pelayanannya di bumi, Yesus menunjuk 12 orang untuk menjadi murid-Nya dengan sebuah ajakan, “Mari, ikutlah Aku...” (Mat 4:19). Dalam versi terjemahan Bahasa Inggris, ayat yang sama berbunyi, “Come, follow me…” Sejak itu, mereka yang dipanggil oleh Yesus meninggalkan pekerjaan dan keluarganya lalu mengikuti-Nya (Mat 4:22). Pada zaman itu, belum ada istilah “Kristen”. Orang-orang yang mengikuti Yesus, dikenal dengan sebutan para pengikut Kristus (Christ’s followers) atau para murid (Christ’s disciples). Seorang murid akan mengikuti guru (rabbi) mereka ke mana pun ia pergi, menirukan cara hidupnya, cara bicaranya, bahkan sampai ke cara ia makan. Pada intinya, tujuan hidup seorang murid adalah menjadi sama atau serupa dengan gurunya. Mereka mendedikasikan seluruh hidupnya untuk itu.
WHAT MATTERS MOST
Bila sudah lama menjadi orang Kristen (yang lahir baru, bukan hanya Kristen KTP), kita akan terbiasa dengan kutipan-kutipan ayat Alkitab, isi khotbah, ritual kebaktian, bahkan juga kesibukan pelayanan di gereja. Tanpa disadari, semua hal baik yang kita terima dan lakukan tersebut terkadang menjadi sekedar rutinitas (atau jadi beban tersendiri?) hingga kita melupakan alasan mengapa kita melakukannya. Ketika kita melupakan “the why” di balik apa yang kita lakukan, kita menjadi kehilangan arah serta tujuan. Akibatnya, “the why”—yang merupakan hal penting—ini sering tergusur urutan prioritasnya oleh hal yang terlihat “urgent” atau mendesak.
Being A Disciple Maker
Ketika ada seorang yang kita kasihi bangkit dari kematian dan memberikan pesan terakhir kepada kita, kita akan menganggapnya penting bukan? Bangkit dari kematian sendiri sudah merupakan hal yang supernatural, sebuah mujizat. Terlebih lagi ketika yang bangkit dari kematian tersebut memberikan mandat atau perintah terakhir untuk kita lakukan. Sebelum perpisahan, kita pada umumnya hanya menitipkan pesan yang sangat penting. Demikianlah halnya yang terjadi ketika Yesus bangkit dari kematian dan sebelum naik ke Sorga, ia memberikan mandat bagi para murid. Sebuah perintah yang terpenting bagi Tuhan Yesus untuk kita lakukan.
As Sweet As Honeycomb
Perkataan ibarat sebuah lift. Ia dapat membawa orang-orang di dalamnya ke atas maupun ke bawah. Perkataan dapat dipakai untuk membangun, namun juga dapat dipakai untuk menjatuhkan. Perkataan dapat dipakai untuk mendatangkan penghiburan, namun juga dapat dipakai untuk menyakiti. Yakobus menuliskan bahwa lidah, anggota kecil dalam tubuh, seperti kemudi yang mengendalikan seluruh badan kapal yang besar. Lidah pun dapat diibaratkan seperti api kecil yang dapat membakar hutan yang besar.
How to be Kind
Kita telah belajar bahwa kebaikan merupakan tindakan nyata yang baik dan dapat dirasakan oleh orang lain. Kebaikan secara mutlak membutuhkan subjek penerima. Kebaikan dirasakan melalui bagaimana cara kita memperlakukan sesama manusia: Apakah kita menghargai mereka? Apakah kita memandang mereka dengan hormat? Apakah kita mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama? Mungkin sebagian kita merasa ‘jleb’ karena banyak yang tersentil ternyata kita selama ini belum sebaik standar yang Tuhan inginkan. Hey, it’s okay! Dengan menyadarinya sekarang, kita memiliki ruang untuk bertumbuh dan berkembang lebih baik lagi. Yuk kita gali lebih dalam lagi tentang bagaimana caranya untuk menjadi baik.
Lebih Dari Sekedar Baik
Bila kita ditanya, “Kriteria orang seperti apa yang kamu inginkan menjadi pasangan kamu?” Kita biasa dengan spontan menjawab, “Orang yang BAIK.” Bagi yang sudah percaya Yesus maupun yang belum, jawaban tersebut cukup sering dilontarkan. Kita sebagai manusia secara natural tertarik dengan kebaikan. Tidak akan ada yang menjawab ingin berteman atau memiliki pasangan hidup yang jahat, bukan? Nah, namun pengertian baik yang disebutkan itu seperti apa? Apakah baik itu saja cukup? Jawabannya adalah ya dan tidak, tergantung dari definisi kebaikan yang kita pahami. Banyak yang mengartikan kebaikan sebagai keinginan berbuat baik atau sudah menjadi tindakan baik kepada orang lain. Definisi ini tentu tidak salah. Namun kebaikan belum menjadi kebaikan sampai itu menjadi sebuah tindakan nyata. Demikian juga halnya dengan pihak yang menerima kebaikan itu sendiri. Bila seseorang hanya baik kepada yang baik kepadanya, maka kebaikan belumlah menjadi kebaikan yang sesungguhnya.
Being A Trustworthy Woman
“When there is no trust, there is no relationship.”
Setiap hubungan yang kita bina memiliki satu fondasi yang sama: rasa percaya satu sama lain. Baik di dalam hubungan dengan Tuhan, lingkungan keluarga, pernikahan, gereja, pekerjaan, dsb, rasa percaya yang terjalin antar individu di dalamnya akan sangat menentukan kualitas dari hubungan tersebut. Namun banyak yang tidak menyadari seberapa pentingnya rasa percaya ini sampai saat mereka kehilangan rasa percaya tersebut dari orang lain. Banyak yang menganggap rasa percaya itu sebagai sesuatu yang biasa saja dan take it for granted. Mereka tidak menjaga kepercayaan yang diberikan dan menghancurkannya. Bila rasa percaya hancur—ibarat sebuah fondasi yang rapuh, akan mengakibatkan hubungan menjadi retak, renggang, dan bahkan terputus sama sekali.
Search My Heart, O Lord
Kita mungkin sering mendengar pengajaran mengenai menjaga hati, seperti beberapa bulan ini kita sudah belajar bagaimana musuh sering menyerang hati serta pikiran kita dan betapa pentingnya kita untuk memakai perlengkapan perang rohani. Ya, hati dan pikiran kita adalah medan perang di mana kita dapat dengan mudah terlena memikirkan hal-hal yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Raja Salomo menuliskan nasihat yang sarat dengan kebenaran di Amsal 4:23 yaitu “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Di dalam terjemahan Alkitab Yang Terbuka ayat tersebut berbunyi: “Di atas segala-galanya hati-hatilah terhadap yang kaupikirkan karena pikiranmu mengendalikan hidupmu.” Wow... betapa dahsyat peranan hati dan pikiran kita bukan? Melalui hikmat Salomo, Tuhan berkata bahwa hati kita adalah sumber dari kehidupan. Apa yang ada di dalam hati kita sangat berperan penting menentukan arah hidup kita. Nah, bila hati dan pikiran kita biarkan melalang buana ke tempat yang tidak seharusnya, hidup kita pun berarti akan “nyasar” dari tujuan yang Tuhan sediakan bagi kita.
God’s Purpose For Women
When purpose is not known, abuse is inevitable – Myles Munroe
Belum lama ini, media publik tersita perhatiannya oleh pernikahan Pangeran Harry dengan Megan Markle. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah kata “taat” kepada suaminya yang dilewatkan oleh Megan ketika mengucapkan janji pernikahan—yang bersifat tradisional itu. Pangeran Harry dan Megan hanya masing-masing berjanji untuk mengasihi, menghibur, menghargai, melindungi, dan setia satu sama lain. Bagian “taat” yang dilewatkan Megan juga dilakukan oleh Lady Diana dan Kate Middleton. Di era modern saat ini, banyak yang berpendapat bahwa kata “taat” sudah tidak sesuai dengan perubahan status wanita di mata masyarakat. Terlebih lagi dengan latar belakang seorang feminis yang memperjuangkan persamaan hak pria dan wanita, tidaklah mengherankan bagi seorang Megan Markle untuk juga melewatkan bagian itu.
The Unfaded Beauty
Pernahkah teman-teman mendengar kalimat “beauty is in the eye of the beholder”? Kalimat yang seringkali dikutip ini ternyata telah diyakini ada sejak abad ke-3 dalam bahasa Yunani. Arti dari kutipan tersebut adalah kecantikan bersifat subjektif; orang dapat memiliki opini yang berbeda-beda tentang apa yang menurutnya cantik atau tidak. Pada akhirnya, sejarah pada akhirnya membuktikan bahwa standar kecantikan seorang wanita berubah-ubah dari masa ke masa.
When Your Life Seems Better than Mine
Waktu masih kecil, kita familiar dengan peribahasa seperti, “Rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput sendiri.” Artinya, kehidupan atau kepunyaan orang lain cenderung kita lihat lebih indah daripada milik kita sendiri.