Jaminan Keselamatan
by Yunie Sutanto @agendaiburumahtangga
“Ma, itu kartu apa?” tanya si bocah pada mamanya saat ia melihat kartu yang bisa mengeluarkan sejumlah uang dari mesin ATM setelah beberapa tombol ditekan. Bagi sang bocah, kartu itu ajaib. Ia pun ingin memiliki kartu ajaib yang bisa memunculkan beberapa lembar uang jika dimasukkan ke mesin ATM.
“Aku juga pingin punya kartu itu. Biar bisa ambil uang sebanyak yang aku mau!”celetuknya dengan senyum yang merekah membayangkan aneka mainan dan camilan yang bisa dibelinya.
“Ini kartu ATM, Nak. Bukan kartu ajaib seperti yang kau pikirkan itu. Kartu ini bisa ditarik uangnya asalkan Mama punya saldo uang simpanan di bank. Jika tidak ada saldonya, tidak bisa ditarik juga uangnya,” jawab mamanya.
“Memangnya uang Mama dan Papa ada berapa banyak, sih? Kok, malah dititipin di bank itu? Emangnya Mama dan Papa kenal baik sama bank itu? Kalau uangnya papa mama dihilangin sama bank itu gimana?” tanya si bocah dengan lugu, ia masih belum puas berdiskusi tentang kartu ajaib. Akhirnya, rasa ingin tahu si bocah membuka kesempatan bagi sang Mama untuk membicarakan tentang iman.
“Menurut kamu, kenapa Mama bisa yakin bahwa saldo uang itu pasti bisa ditarik saat Mama butuh dan uangnya tidak akan hilang?”
Si bocah pun penasaran memikirkan jawabannya.
Pertanyaan ini memantik sang mama memikirkan lebih lanjut tentang rasa “percaya”. Rasa percaya akan kredibilitas bank tentunya memberikan jaminan bahwa uang di bank tidak akan raib. Mengapa nasabah bisa seyakin itu menitipkan uangnya pada bank dengan hanya ditukar sebuah kartu ajaib (plus buku tabungan)? Tentunya karena nasabah yakin dengan kredibilitas bank bersangkutan, bukan? Tentu tak sembarang instansi bisa disahkan sebagai bank. Harus terpercaya dan terjamin reputasinya, serta diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—entahlah apa istilah ekonomi yang tepat untuk hal ini.
“Siapapun tentu tak akan mau menitipkan uang pada investasi bodong bin abal-abal,” lanjut sang Mama sambil membukakan pintu bagi Mbok Sami, sang pembantu cuci gosok yang datang untuk bersih-bersih dan menyetrika. Si Bocah melirik sebal ke arah si Mbok.
“Ya, Ma. Sama kayak Mbok Sami yang sering bohong. Bilangnya janji mau mampir beliin rujak tapi sudah dua kali Mbok lupa beliin. Aku ga percaya lagi apa kata Mbok Sami.” Mamanya hanya bisa tertawa saja menyaksikan relasi-relasi yang terbentuk dalam benak bocah cilik ini. Ternyata si Mbok pernah melakukan “wanprestasi” pada si bocil perkara rujak. Rusak sudah reputasi Mbok karena rujak! Rasa percaya bocil luntur pada janji-janji Mbok. “Kalo si Mbok jadi bank, pasti ga laku!” tambah sang anak.
Seringkali masalah kepercayaan ini amat menentukan saat kita memutuskan berinvestasi dalam bisnis A atau B. Saat memilih agen asuransi A atau B, kita melihat dulu reputasi agennya dan rekam jejaknya. Apalagi jika urusannya berkaitan keselamatan kekal. Tentunya kita tidak bermain-main dengan keyakinan iman kita. “Mengapa kamu memeluk agama ini?” “Mengapa keyakinan imanmu ini?” Banyak alasan yang cukup ragam terlontar saat menjawab pertanyaan ini:
“Karena keluarga sudah turun temurun, sih, agamanya ini.” Agama warisan tentunya tidak masuk kategori beriman.
“Karena calon suami beragama itu, mau tidak mau masuk agama itu.” Biar tidak repot mengurus pernikahannya. Mengekor agama pasangan juga tidak masuk kategori beriman. Ke surga toh tak bisa boncengan.
“Karena saya merasa suka dengan lagu-lagu rohani dari agama itu.” Aransemen musiknya keren. Merasa terhibur dan gandrung pada musik rohani ataukah nge-fans sama artis band rohani juga belum bisa dikategorikan beriman. Musik keren toh tak bisa menyelamatkan.
“Karena dari dulu di sekolah saya sudah mendapatkan pelajaran tentang agamanya itu.” Bagaimana pun, beragama karena terbiasa dengan liturgi maupun pendidikannya juga bukanlah beriman. Liturgi dan pengajaran toh tidak menyelamatkan.
Lantas, apa tolok ukurnya saya beriman?
Beriman adalah—dalam keadaan sadar penuh—saya memilih dan meyakini penuh apa yang saya pilih tersebut. Tidak ada rasa malu saat mendeklarasikan pengakuan iman percaya dengan lantang, karena saya meyakininya. Tidak ada rasa malu mengakui diri sebagai murid Kristus. Ibrani 11:1 versi ITB mendefinisikan iman sebagai dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Versi AVB 2015 menyatakan, “Iman adalah kepastian akan perkara-perkara yang diharapkan, keyakinan akan perkara-perkara yang tidak dilihat.” Ada keyakinan bahwa apa yang saya yakini ini benar. Roh Kudus membukakan mata orang-orang pilihan-Nya untuk melihat kebenaran Kristus.
Pertanyaan menggelitik berikutnya muncul di benak: Apa bedanya beriman pada Yesus Kristus dengan kepercayaan lainnya? Mengapa saya memilih untuk mengikut Yesus Kristus? Karena saya yakin keselamatan jiwa saya terjamin (hanya) dalam Kristus. Hanya Dialah Juru Selamat manusia. Di bawah kolong langit ini tidak ada Nama lain yang olehnya manusia berdosa beroleh selamat. Hanya melalui nama Kristus, keselamatan dianugerahkan. Kembali ke ilustrasi bank tadi, sebagai seorang nasabah, saya bisa begitu yakin bahwa uang simpanan saya di bank akan aman—bahkan berbunga (sesuai janji bank). Saya meyakini semua harta yang tersimpan di bank itu dijamin keamanannya. Saat memutuskan menyewa deposit box, pasti juga meyakini dokumen penting yang termiliki akan aman berada di bank. Rasa percaya nasabah bisa saja goyah saat terjadi resesi ekonomi dan terjumpai serbuan penarikan dana. Nasabah merasa tidak yakin pada bank-bank tertentu yang terendus tidak sehat laporan keuangannya dan lantas menarik dananya.
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
(Yohanes 3:16)
Jika Allah saja merelakan Anak-Nya demi menebus dosa seisi dunia, mengapa saya ragu bahwa keselamatan saya terjamin di tangan Kristus? Dalam salah satu khotbahnya, Pdt. Timotius Arifin berkata, “Banyak manusia mau menjadi tuhan, tetapi hanya ada satu TUHAN yang mau menjadi manusia”. Inilah yang menjadi titik terang dan membedakan. Bukan manusia berdosa yang menggapai Allah, tetapi Allahlah yang turun menghampiri manusia berdosa. Seorang ningrat yang rela turun kasta demi membebaskan umat-Nya yang terbelenggu ikatan dosa. Jika manusia bisa kagum dan memuji figur pemimpin yang merakyat, yang rela turun ke jalanan dan blusukan, terlebih lagi jika Tuhan di atas segala tuhan yang rela turun ke dunia! Saya jadi ingat film Titanic yang menunjukkan lokasi tempat makan yang berbeda sesuai dengan tiket yang dimiliki para penumpangnya: hanya pemilik tiket kelas VIP yang bisa makan di ruang makan mewah itu. Uniknya, Jack—sang penumpang kelas tiga—beroleh “anugerah” makan malam bersama di ruangan makan VIP. Kok, bisa? Karena dia dipersilahkan dan diundang oleh orang VIP. Demikian pula manusia berdosa tak mungkin lagi memasuki Eden. Surga tertutup bagi pendosa sejak kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa karena pemberontakan mereka, dengan memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan jahat! Hanya lewat undangan Pemilik Surga semata, si manusia berdosa dilayakkan untuk kembali memasuki Eden. Ada penebusan dosa yang dibayarkan oleh-Nya dengan darah Anak-Nya. Itulah mengapa kita yakin bahwa hanya melalui iman percaya kepada Kristus semata, kita beroleh anugerah keselamatan kekal. Bisa memercayai kebenaran ini pun hanya karena anugerah Allah. All glory to Jesus.