Melihat Yesus

by Glory Ekasari

Beberapa tahun yang lalu, saya berkesempatan pergi ke Italia, dan kota pertama yang saya kunjungi adalah Milan. Sebelum pergi, saya sudah melakukan survei dan mencari informasi. Saya sudah lihat foto-fotonya, saya sudah cari tahu tentang sejarahnya, membuat rencana perjalanan, dsb. Tempat tujuan pertama saya adalah duomo (katedral) Milan yang lokasinya persis di atas stasiun bawah tanah.

Semua berjalan seperti biasa: saya pergi ke penginapan, menitipkan koper, lalu naik kereta bawah tanah menuju pusat kota. Setelah sampai di stasiun duomo, saya keluar dari stasiun kereta bawah tanah, dan saya keluar di… tengah lapangan yang luas (yang kemudian saya tahu namanya adalah Piazza del Duomo). Lo and behold, di depan mata saya, berdiri megah katedral Milan.

Gambar 1 Duomo di Milano - https://www.yesmilano.it/en/see-and-do/venues/duomo-di-milano

Saya melongo selama sekian detik, dan setelah kesadaran saya kembali, saya berseru-seru seperti anak kecil yang melihat superhero. “Gila! Woahh! Wow! Wow! Wow! (dll dalam bahasa Jawa)!” Iya, sekeren itu. Lalu saya melongo lagi di tengah Piazza del Duomo sambil melihat bangunan gothic yang tingginya lebih dari 100 meter (!) itu. Ketika masuk, saya lebih terkesima lagi. Sungguh saya seperti anak desa yang baru pertama melihat bangunan pencakar langit.

Saat saya berdiri di depan bangunan tersebut, saya baru mengalami: saya baru mengerti mengapa bangunan itu sangat terkenal, betapa mengagumkannya, betapa besarnya, dan banyak hal lain yang tidak akan saya dapatkan hanya dengan membaca artikel atau melihat foto di internet. Ada gap yang sangat besar antara melihat bangunan itu di layar komputer dengan melihatnya secara langsung.

Namun, Piazza del Duomo hanya sebuah bangunan. Bagaimana kalau saya melihat sesuatu yang jauh lebih luar biasa? Bagaimana kalau saya melihat apa yang tidak boleh saya lihat karena terlalu kudus bagi saya? Bagaimana kalau saya melihat Allah sendiri?

Di dalam Perjanjian Lama, setiap kali ada orang yang mendapatkan pengalaman melihat Allah, mereka selalu menggambarkannya sebagai sesuatu yang menakutkan. Setidaknya ada nabi Yesaya dan Yehezkiel yang mengalami hal ini, bahkan Yehezkiel adalah imam—yang bertugas di Bait Suci. Tetapi ketika melihat Allah dalam penglihatan, mereka dipenuhi ketakutan. Mereka takut mereka akan mati karena melihat kekudusan Allah.

“Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan . . . Lalu kataku: “Celakalah aku! aku binasa!”” – Yesaya 6:1, 5

“Roh itu mengangkat dan membawa aku, dan aku pergi dengan hati panas dan dengan perasaan pahit, karena kekuasaan TUHAN memaksa aku dengan sangat. Demikianlah aku datang kepada orang-orang buangan yang tinggal di tepi sungai Kebar di Tel-Abib dan di sana aku duduk tertegun (yaitu, bengong, red.) di tengah-tengah mereka selama tujuh hari.” – Yehezkiel 3:14-15

Demikian pula ketika Manoah, ayah Simson, bertemu dengan Malaikat TUHAN, ia dengan yakin berkata kepada isterinya, “Kita pasti mati, sebab kita telah melihat Allah” (Hakim-Hakim 13:22). “Melihat Tuhan” bukan sesuatu yang menyenangkan, tetapi menakutkan, bahkan mengancam nyawa. Dia begitu kudus dan mulia, sehingga manusia yang lemah dan berdosa tidak sanggup melihat-Nya.

Namun di dalam Perjanjian Baru, kita melihat sesuatu yang sangat berbeda. Ketika orang melihat Allah yang menyatakan diri di dalam Yesus, yang mereka alami bukan ketakutan. Nama-Nya adalah Raja Damai, dan itu sungguh jelas dalam diri-Nya.

Selagi saya menceritakan tentang pengalaman saya di Milan, saya jadi ingat seseorang yang mengalami hal yang serupa-meskipun-lebih-menakjubkan. Dia sudah mendengar tentang kedatangan Mesias, dia menanti-nantikannya, dia pasti mempelajari Kitab Suci tentang Mesias yang dijanjikan itu… dan kemudian, dia melihat-Nya. Orang bernama Simeon itu menggendong bayi Yesus dan berkata,

“Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.”
– Lukas 2:29-32

Yohanes membuka Injilnya dengan menjelaskan identitas Yesus: Dia adalah Firman yang menjadi manusia dan diam di antara kita, dan… “kita telah melihat kemuliaan-Nya” (Yohanes 1:14). Kemuliaan Allah yang besar dan dahsyat itu ada di dalam Yesus, namun kita tidak mati saat melihat-Nya! Bukan hanya tidak mati, tetapi kita mendapatkan kasih karunia ketika kita memandang Dia; seperti Simeon yang berkata bahwa ia justru mengalami damai sejahtera setelah melihat Juruselamat yang Allah berikan.

Ketika Zakheus berusaha melihat Yesus dari atas pohon ara, yang terjadi justru Yesus berhenti… dan memandang dia. Ketika mata Yesus tertuju pada Zakheus, Dia berkata, “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu” (Lukas 19:5). Yesus memandang Zakheus dengan kasih karunia, dan Zakheus mengalami perubahan hidup pada hari itu.

Ketika Yesus disalib, salah satu orang yang melihat Yesus pada saat kematian-Nya adalah seorang kepala pasukan Romawi. Bukan orang Yahudi dan tidak tahu perihal Mesias, namun ketika itu dia memandang Yesus dan berkata, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Markus 15:39). Bahkan orang yang jauh dari Allah pun bisa melihat bahwa Yesus bukan manusia biasa.

Dan ketika Yesus bangkit, Ia pertama kali menampakkan diri kepada Maria Magdalena. Kesaksiannya sederhana namun kuat: “Aku telah melihat Tuhan!” (Yohanes 20:18). Ketika Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya, mereka bersukacita melihat Dia (Yohanes 20:20). Dan di setiap kehadiran-Nya, ia menyampaikan salam yang khas: “Damai sejahtera bagi kamu!” Damai sejahtera mendengar suara Tuhan, dan pergi menetap dalam hati para murid.

Setelah Yesus naik ke surga, murid-murid-Nya tidak lagi melihat Dia. Sampai suatu hari di pulau Patmos, Yohanes melihat Yesus lagi–tetapi bukan lagi dalam wujud yang dikenalnya dahulu: ia melihat Yesus di dalam kemuliaan-Nya. Dan Yohanes bersaksi: “Ketika aku melihat Dia, tersungkurlah aku di depan kaki-Nya sama seperti orang yang mati” (Wahyu 1:17). Tetapi kata-kata yang dulu sering diucapkan Yesus pada murid-murid-Nya terdengar kembali di telinga Yohanes: “Jangan takut!” dan ia berdiri kembali.

Sampai sekarang, Yesus masih dan akan terus mengubahkan hidup orang-orang yang memandang Dia, dan (harapannya) ini pula yang kita alami. Mungkin pada awalnya, kita melihat Tuhan dengan ketakutan, seperti orang-orang dalam Perjanjian Lama. Kita sadar bahwa kita orang berdosa dan tidak layak memandang Allah yang kudus. Kemudian kita melihat Tuhan Yesus, Anak Allah yang penuh kasih karunia dan kebenaran, dan kita menyadari bahwa Dia mengasihi kita dan mengampuni segala dosa kita. Kita melihat Dia dalam kebangkitan-Nya, lalu sukacita dan damai sejahtera memenuhi hati kita. Kita memandang-Nya sebagai “jembatan” yang memulihkan relasi diri sendiri, sesama, dan—tentunya—Allah.

Di mana kita melihat Yesus, Sang Anak Allah yang hidup itu? Memang bukan dengan mata jasmani kita, tapi dengan iman. Kita mendengar tentang Dia dari Alkitab, kita percaya dan menyerahkan hidup kita kepada-Nya, dan kita yakin pengharapan itu tidak mengecewakan.

Suatu hari kelak, kita akan melihat Dia dalam kemuliaan-Nya, dan kita disadarkan kembali bahwa kita bisa berdiri di hadapan-Nya tanpa ketakutan karena Dia telah menebus kita dengan darah-Nya. Kisah terakhir di Alkitab adalah tentang orang-orang yang tinggal bersama Tuhan selama-lamanya. Firman Tuhan berkata:

“Takhta Allah dan takhta Anak Domba akan ada di dalamnya (Yerusalem baru, red.) dan hamba-hamba-Nya akan beribadah kepada-Nya, dan mereka akan melihat wajah-Nya, dan nama-Nya akan tertulis di dahi mereka.” – Wahyu 22:3-4

Dan pada saat itu, saya tidak akan terkesan lagi dengan duomo, karena wajah Yesus lebih indah dari apapun yang bisa dilihat manusia.

Previous
Previous

Jaminan Keselamatan

Next
Next

Kasih yang Nyata