Kecil Enggak, Besar Belum
by Nidya Mawar Sari
“Anak remaja gue tu, minta ampun deh ya. Susaaah banget diajak ngobrol!”
“Nah, sama tu. Tapi kalo sama temennya, kok, kayak asik banget ya.”
“Iya. Uda gitu, buku ketinggalan terus. Jadwal ulangan juga ga peduli.”
“Tapi, kalo ditegur, malah galakan dia. Iya, kan?”
“Duh, kok kita senasib ya.”
“Iya loh. Kadang-kadang iri sama anaknya tetangga gue. Sama-sama udah remaja, tapi baik banget.”
“Udahlah, bukan rezeki lo. Hahaha…”
“Iya juga sih…”
Sekilas pembicaraan ibu-ibu yang anaknya sudah mentas remaja ini tidak asing lagi. Susah diajak ngobrol, enggak mau diatur, suka-sukanya sendiri walaupun belum bertanggung jawab, dan masih banyak keluhan lain—yang kalau ditulis bisa panjang banget. Orang bilang, “Itu mah memang masanya anak seperti itu.” Atau, yang lebih ilmiah berpendapat bahwa semua hal tersebut adalah pengaruh hormonnya yang sedang berkembang. Namun, kalau memang ada masa-masa anak-anak menjadi sangat menyebalkan dan semua itu adalah karena hormon, maka semua anak remaja akan berperilaku seperti itu. Kenyataannya, ada, loh, remaja yang baik-baik, sopan, bertanggung jawab dan semua karakter Kristiani juga ada di dalam dirinya. Pertanyaannya, apakah benar semua itu hanya “rezeki”, sementara ada orang tua yang “apes” karena anak remajanya tidak seperti itu?
Oh, tentu saja tidak. Remaja akan tumbuh sebagaimana ia dididik oleh orang tuanya. Ya, walaupun anak-anak sudah tidak perlu banyak bantuan orang tua seperti saat mereka masih anak-anak, bukan berarti tugas orang tua sudah selesai. Kalau kita amati, ada dua respons ekstrim dari orang tua saat melihat anak-anak ini beranjak remaja. Pertama, terlalu khawatir yang berakhir overprotective. Yang kedua, merasa tak berdaya yang berakhir membiarkan anak-anak sendirian menjalani masa penting ini tanpa bimbingan orang tua. Inilah sebabnya, kita perlu menyadari bahwa panggilan sebagai orang tua adalah panggilan seumur hidup bagi mereka yang dikaruniai anak—dan tidak berhenti pada satu titik saja. Amsal 22:6 mengingatkan kita:
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.
Seorang anak tidak langsung menjadi remaja, melainkan melewati satu masa yang disebut masa praremaja, dan inilah yang akan jadi fokus pembahasan kita di sini. Masa ini terjadi ketika anak berusia 8-12 tahun. Di usia inilah banyak perubahan-perubahan kecil yang seringkali tidak terlihat dan keburu berkembang jadi besar ketika anak memasuki usia remaja. Mendidik seseorang menjadi remaja yang baik adalah hal yang sulit bila dilakukan ketika ia sudah menjadi seorang remaja. Sebagai contoh, mengajarkan rasa tanggung jawab ketika anak sudah remaja akan lebih sulit ketimbang mengajarkannya ketika anak masih di usia praremaja. Nah, kalau memang usia praremaja ini sangat penting, apa saja yang harus diperhatikan oleh orang tua?
1. Rasa sayang
Tentu saja setiap orang tua sayang sama anaknya. Namun rasa sayang kepada anak yang masih kecil dan lucu akan lebih mudah ketimbang mengasihi seorang anak praremaja yang sudah tidak lucu lagi, bahkan mulai menyebalkan. Anak kecil yang lucu dan penurut itu sekarang jadi penuntut alasan mengapa dia harus taat instruksi orang tuanya. Anak praremaja yang mulai berkembang akan mulai bisa menegur atau bahkan mempertanyakan otoritas orang tuanya. Bahkan, pengalaman pribadi saya membuktikan teori bahwa di usia ini pun anak-anak praremaja sering kali mempertanyakan apologetika kekristenan*. Pertanyaan seperti “Mama tahu dari mana Alkitab itu benar?”, “Allah Tritunggal itu maksudnya gimana?”, atau “Ya, itu iman mama, kalau aku, sih, belum, ya” membuat hati kita sebagai orang tua jadi cenat-cenut. Begitulah memang pertumbuhan logika praremaja yang membuat mereka selalu mempertanyakan segala sesuatu dan menuntut alasan yang masuk akal. Dalam kondisi seperti inilah, orang tua perlu memperluas kapasitas hati untuk tetap menyayangi dan bersabar pada mereka—walaupun mereka sudah tidak lucu lagi dan mulai menyebalkan. Bukankah demikian kualitas kasih yang disebut rasul Paulus dalam 1 Korintus 13:7, “Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu dan menanggung segala sesuatu”? Inilah yang terus saya ingat dalam hari-hari saya bersama sang praremaja di rumah.
Bagian Firman Tuhan lain yang menolong kita bagaimana bersikap dengan anak praremaja adalah apa yang rasul Paulus tuliskan dalam suratnya kepada jemaat di Efesus.
Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:4)
Tentu saja ayat ini tidak hanya ditujukan pada para ayah, tetapi juga kepada para ibu. Pertanyaannya adalah apa yang membangkitkan kemarahan di dalam hati anak-anak kita? Salah satunya adalah apabila kita mempertahankan gaya komunikasi yang penuh dengan instruksi tanpa komunikasi dua arah. Ketika anak memasuki usia delapan tahun, gaya komunikasi satu arah sudah tidak cocok lagi. Instruksi satu arah bisa saja ditaati, tetapi mereka melakukannya tanpa memahami alasannya. Akibatnya, ketika orang tua lengah sedikit, anak akan mencari waktu untuk bisa melanggar aturan tersebut. Inilah sebabnya orang tua perlu sekali melibatkan praremaja dalam diskusi.
Contohnya adalah mengenai peraturan screen time. Di usia praremaja ini, anak-anak akan mepertanyakan mengapa ada aturan screen time—misalnya dua jam per hari. Sebagai orang tua, saya tidak bisa lagi menjawab, “Karena mama bilang begitu,” seperti yang saya katakan saat dia masih anak-anak. Yang saya lakukan adalah saya ajak dia duduk bersama, mencari informasi tentang hal tersebut bersama-sama. Setelah itu, saya tanyakan pendapatnya. Akhirnya kami sepakat bahwa aturan screen time hanya 2 jam sehari. Karena hal ini adalah kesepakatan kami bersama, lebih mudah bagi anak saya untuk menaatinya. Bahkan dia bisa mengontrol sendiri jatah screen time-nya setiap hari.
2. Perbedaan cara berkomunikasi dengan anak laki-laki dan anak perempuan
Dalam buku Let the Children Come Along the Middle Years Way, Ezzo dan Ezzo menyatakan bahwa anak laki-laki berkomunikasi lebih efektif dengan cara tidak langsung. Diskusi sambil mencuci mobil bersama, atau berolah raga adalah diskusi lebih efektif ketimbang diskusi one to one di meja makan. Sebaliknya, anak perempuan lebih suka berdiskusi secara langsung. Ngobrol sambil makan bakso atau minum boba milk tea, adalah momen yang sangat baik untuk bicara dari hati ke hati dengan mereka. Selain perbedaan gender, kita juga perlu memperhatikan temperamental anak. Berkomunikasi dengan anak yang lebih sensitif (perasa atau peka) memerlukan pemilihan kata yang lebih berperasaan. Teguran keras jelas membekas dalam hati mereka. Berbeda dengan anak yang easy-going dan cuek. Anak saya adalah anak yang cenderung sensitif. Sedikit kata tegas dan nada yang naik sedikit, dia sudah merasa ditegur. Ketika saya tanyakan apa perasaannya ketika saya marah dengan gaya seperti itu, dia katakan pernyataan ini; “Sebenarnya mama bisa ngomong baik-baik aja, sih.”
Tentu saja hal ini bukanlah hal yang mudah, tetapi sangat layak untuk diperjuangkan. Komunikasi yang baik adalah pintu bagi relasi yang baik bagi orang tua dan anak praremaja. Selanjutnya, relasi yang baik dengan orang tua adalah hal yang penting yang perlu dimiliki oleh anak praremaja. Relasi yang buruk mengakibatkan rasa tidak aman, tidak disayang, tidak diterima dan lain sebagainya. Dalam kondisi ini mereka akan mencari keamanan, kasih sayang dan penerimaan dari orang lain.
3. Teladan orang tua
Tidak kalah penting dari rasa kasih yang besar dan cara komunikasi yang benar, pada usia ini anak-anak lebih melihat teladan orang tua daripada instruksi-instruksi yang kita berikan. Hal sederhana—seperti menyapa orang lain terlebih dahulu—akan lebih mudah anak-anak lakukan jika mereka melihat kita sebagai orang tua juga melakukannya. Teladan seperti itu memang tidak hanya diperlukan saat anak-anak memasuki usia praremaja, tetapi di masa-masa ini, teladan kita berbicara lebih keras. Action speaks louder most of the time, right? Jangan berharap anak-anak akan dengan senang hati melepas gadget mereka apabila kita sepanjang hari menghabiskan waktu di depan gadget kita. Jika kita berharap anak-anak tenang saat menghadapi masalah, maka pastikan kita juga melakukannya. Jika kita berharap anak-anak praremaja berdoa dan rajin bersaat teduh, mari kita evaluasi kehidupan doa dan saat teduh kita sendiri. Anak-anak praremaja bisa melihat apakah orang tuanya menghidupi prinsip-prinsip yang diajarkan kepada mereka. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah quote oleh Charles Spurgeon:
Train up a child in the way he should go – but be sure you go that way yourself.
Pertumbuhan anak-anak adalah pasti. Setiap anak-anak pasti akan bertambah besar dan memasuki usia praremaja, remaja, pemuda, dan dewasa muda. Tentu saja sebagai orang tua, kita juga perlu untuk terus bertumbuh dalam kebijaksanaan kita dalam mendidik mereka. Masa praremaja ini adalah masa tanjakan terakhir. Ketika kita berpeluh, bercucuran air mata, dan berdoa tanpa putus-putusnya di masa praremaja ini, kita akan menikmati remaja-remaja kita di masa yang akan datang. Kiranya Tuhan menolong kita menghidupkan teladan yang nyata bagi anak-anak kita.
Referensi Buku:
*Buku mengenai apologetika bagi orang tua bisa didapatkan di sini, Mama Bear Apologetics.
**Ezzo, Gary and Ezzo, Anna Marie. (2002). Let the Children Come Along the Middle Years Way (Edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: Growing Families Indonesia.