Ketika Suami Kurang Menjadi Pelaku Firman
by Yunie Sutanto
Pearlians tentunya punya ekspektasi atau harapan ketika memasuki dunia pernikahan: Berharap memiliki rumah tangga yang langgeng dan diberkati Tuhan, bisa mesra dan rukun sampai tua, and the list goes on. Menua bersama, istilah gombalnya kalau di film-film. Apalagi jika kita berpikir sudah memilih pasangan yang seiman dan takut akan Allah, tentu ada sebuah standar keimanan yang berharap dimiliki oleh suami. Berharap suami bisa menjadi imam yang memimpin kehidupan rohani keluarga. Berharap suami bisa jadi teladan rohani dalam keseharian. Berharap hidup suami menghasilkan buah-buah Roh sebagai orang percaya yang sejati. Umumnya wanita ingin suami bisa mengayomi istri dan menjadi figur ayah yang hadir bagi anak-anak.
See? Ada banyak harapan yang istri miliki. Ini wajar banget. Manusiawi banget. Semua orang tentulah menginginkan yang terbaik untuk pernikahan yang “once in a lifetime”. Kita ingin punya pasangan yang menjadi pelaku Firman. Kita ingin punya pasangan yang ranum buah rohaninya. Namun, bagaimanakah hidup rohani yang berbuah itu sebenarnya?
Buah Roh adalah pekerjaan Roh Kudus yang mengubah orang percaya menjadi semakin serupa dengan Kristus, menjadi manusia baru. Manusia baru kita terus bertumbuh menjadi semakin serupa Kristus yaitu memiliki kasih, penuh sukacita, sabar, murah hati dan mampu menguasai diri seperti yang tertulis dalam Galatia 5:22-23. Hidup yang berbuah juga berarti segala pikiran, perkataan dan perbuatan berpadanan dengan Injil Kristus. Betapa limpahnya sukacita kita ketika hidup bersama suami yang senantiasa berpikir, berucap dan bertindak dalam kebenaran karena menghidupi Injil Kristus! Hidup yang berbuah itu juga berarti memiliki kuasa untuk menahan dan mematikan semua hasrat dosa.
Kabar baiknya adalah bahwa kehidupan rohani yang berbuah itu adalah kehendak Allah bagi semua orang percaya. Jadi bukan hanya para istri yang menginginkan suaminya menjadi pelaku firman yang hidupnya berbuah. Allah sendiri juga menghendaki agar hidup suami kita berbuah. Dalam beberapa bagian firman Tuhan (Filipi 1:10-11 dan Kolose 1:22) Yesus Kristus bekerja untuk menggenapkan kehendak Bapa bagi umat-Nya dengan membuat mereka bertumbuh dan berbuah. Sayangnya, realitas kehidupan ini justru menunjukkan bahwa ada banyak suami yang (kelihatannya) tidak menunjukkan kehidupan yang berbuah. Mari berkaca dari kehidupan kita sehari-hari! Siapa yang lebih banyak terlibat dalam pelayanan—baik di gereja maupun tempat-tempat lainnya: suami, atau istri? Di rumah, siapa yang lebih banyak melibatkan diri untuk mengajarkan Firman Tuhan dan melakukannya bersama anak-anak: suami, atau istri?
Oke, mungkin dua pertanyaan di atas tidak cukup untuk menggambarkan setiap suami kita. Namun, bagaimana sikap kita seharusnya ketika melihat kenyataan bahwa suami cenderung tidak memiliki kehidupan yang berbuah—bahkan merindukan Tuhan pun tidak?
1. Berhikmat menuntun suami kepada kebenaran
Tidak mudah hidup dengan suami yang masih belum hidup dalam kebenaran. Abigail pun memiliki suami yang tidak menjadi contoh. Boro-boro berbuah secara rohani, Nabal sang suami sangat kedagingan. Nabal bukan suami yang berpikir panjang. Ia egois dan hanya memikirkan kedagingannya sendiri (kisah selengkapnya ada di dalam 1 Samuel 25). Tidak mudah menjalani hidup sebagai istri Nabal. Abigail tahu bahwa Daud marah akibat abainya sang suami. Dengan berhikmat, ia pun bertindak untuk keselamatan seisi rumah tangganya. Ia bersujud memohon kemurahan hati Daud. Daud pun yang tadinya berikhtiar jahat mengurungkan niatnya karena memandang Abigail.
Dalam 1 Korintus 7:13-14, Paulus berkata, “Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.” Seperti Abigail yang tetap melakukan apa yang ia tahu benar, sebagai istri kita pun demikian. Tetaplah melakukan apa yang benar karena dengan demikian kita menuntun suami kepada kebenaran.
Gusti mboten nate sare, sebuah ungkapan Jawa yang menunjukkan betapa Allah itu Maha Tahu, Sang Penjaga kita tidak tertidur. Ia melihat bahkan saat tidak ada orang yang melihat. Apa yang kita lakukan dalam gelap pun tak tersembunyi dari mata Allah. Teruslah menjadi teladan iman yang setia melakukan kebenaran dalam rumah tangga. Mari kita belajar bersama untuk mengimani bahwa pemulihan keluarga yang kita inginkan itu adalah bagian dari pekerjaan Tuhan dalam hidup kita.
2. Bertekun dalam doa dan terus bertumbuh dalam iman
Terus menjadi tiang doa,
meski keadaan tidak enak,
meski dipandang sebelah mata,
meski keadaan seolah tidak berubah.
“Ah, susah kali ini! Capek aku doa buat suami tapi dia kagak berubah!”
Benar, rasanya melelahkan ketika kita tidak kunjung melihat perubahan dari suami, bahkan mungkin sudah berulang kali ingin menyerah. Namun, di dalam situasi seperti ini kita perlu mengingat kembali alasan kita ingin menikah dengannya. Meskipun ada kalanya kita mempertanyakan pernikahan yang sedang dijalani, kita perlu belajar percaya bahwa Tuhan berdaulat di dalamnya. Terlepas ada kekecewaan terhadap suami atau tidak, kita perlu belajar melihat dari kacamata lain, yaitu bahwa pernikahan yang (mungkin) tidak seideal ekspektasi kita pun Tuhan mau pakai untuk mengasah iman kita. Salah satunya adalah melalui doa. Sering kali, doa kita bukanlah untuk mengubahkan orang lain, tetapi justru diri kita sendiri. Itulah sebabnya kita membutuhkan anugerah Tuhan dalam mengarahkan fokus hati dan hidup kita pada-Nya, bukannya pada setiap daftar ekspektasi kita.
Selain itu, kita juga perlu mengingat bahwa pertumbuhan iman seseorang bukan tergantung dari keadaan atau tindak tanduk orang lain. Ya, pertumbuhan iman kita adalah seberapa sanggup diri ini melihat hal-hal lewat kacamata Tuhan dan belajar dari apa pun itu yang diizinkan terjadi dalam hidup kita. Segala hal mendatangkan kebaikan untuk orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Namun, “kebaikan” ini tidak melulu berarti hal enak dan nyaman; hal yang tak enak dan tak nyaman pun mendatangkan kebaikan, tergantung perspektif yang kita gunakan untuk melihatnya!
3. Bertekun di dalam ajaran sehat
Pengajaran yang sehat dari Firman Tuhan, sumber kebenaran, akan menolong diri kita mengawasi pertumbuhan diri sendiri sekaligus peka untuk melihat pertumbuhan suami kita. 2 Timotius 3:15 mengatakan bahwa kitab suci memberi kita hikmat untuk menuntun orang kepada keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus. Bukti bahwa seseorang beriman kepada Yesus adalah dari buah Roh yang dihasilkan. Saat mendapati suami kita belum mengalami perubahan hidup, masih pemarah, tidak dapat menguasai diri, dan kehilangan sukacita, kita perlu terus bertekun dalam pengajaran firman kebenaran untuk membawa suami kita sungguh-sungguh mengalami pertobatan sejati. Dalam perjalanan menuntun suami kita kepada kebenaran, kita pun harus sering memeriksa diri kita sendiri, sudahkah kita menghasilkan buah Roh dalam kehidupan rohani kita? Mungkinkah ada pengalaman masa lalu dari keluarga asal kita yang memengaruhi pola komunikasi kita dengan suami—dan sebaliknya? Perlahan tetapi pasti, pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab ketika kita tetap bertekun di dalam Firman Tuhan yang diiringi dengan kerendahan hati untuk belajar berproses bersama Roh Kudus, khususnya untuk menjadi sarana Allah memenangkan suami kita.
Kesabaran Allah adalah kesempatan kita untuk berbuah, yaitu waktu yang Allah berikan hingga kita dan suami kita dipanggil Tuhan atau saat Tuhan Yesus datang kedua kalinya. Akankah didapati hidup kita berbuah?
Menutup artikel ini dengan kembali mengingat janji pernikahan kita:
“Saya menerima suami saya…”
Dalam keadaan yang seperti apa?
Saat senang, kaya, enak, dan nyaman?
Semua yang sesuai harapan memudahkan kita untuk menerima pasangan kita. Namun, janji nikah itu pun kita ucapkan bahwa kita menerima pasangan saat dalam keadaan sakit, miskin, susah, dan tidak nyaman. Ada kata-kata sifat yang bertolak-belakang di dalamnya, menunjukkan bahwa kita berjanji untuk mengasihi pasangan dalam setiap musim kehidupan. Dengan demikian, dalam keadaan suami tidak menjadi pelaku Firman, masihkah sanggup seorang istri yang takut akan Tuhan mengasihi, tunduk dan menerima suaminya? Hanya anugerah yang besar dari Tuhan saja yang memampukan kita sebagai istri melalui titik terendah dalam pernikahan kita. Tali tiga lembar tidak mudah putus, sebab kasih Allah yang besar (baca: Agape) adalah fondasi pernikahan di dalam Kristus. Tanpa kasih agape, tidak akan ada yang bertahan dalam keadaan sulit. So, Pearlians, mari kita berjuang bersama melekat pada Sang Sumber Kasih karena Dialah sumber kekuatan kita!