Ketika Saya Jatuh Cinta dengan Orang Lain

 by Nidya Mawar Sari 

“Waktu aku perlu bantuan, bukan kamu yang ada, tapi dia. Ya gimana ga lama-lama aku juga jadi jatuh cinta sama dia?” 

Masih ingat waktu itu saya berkata seperti ini ke pacar saya setelah membangun relasi selama 4 tahun. Saat itu, dia diterima di perusahaan audit top four di Indonesia. Pekerjaannya sebagai auditor menjadikannya pergi pagi dan pulang hampir pagi lagi. Akhir pekan pun jarang ada waktu untuk bersama-sama. Komunikasi jadi amat sangat jarang. Padahal waktu itu saya sedang mengerjakan tugas akhir kuliah dan sangat membutuhkan pertolongan, dan ta-da: Hadirlah “si dia” dalam hari-hari saya. Hampir seminggu sekali saya bertemu dengan si dia ini dalam rangka mengerjakan tugas akhir tersebut. “Si dia” ini membuka diri, jadi saya menerimanya karena tidak ada pilihan. Kata orang Jawa, Witing tresno jalaran soko kulino, yang artinya cinta tumbuh karena terbiasa bertemu. Apakah salah jika saya malah jatuh cinta dengan orang lain dalam keadaan seperti ini? Apakah saya pantas disebut tidak setia? 

--**-- 

Hal tersebut terjadi 15 tahun silam saat kami—saya dan suami—masih berpacaran. Ya, kalau jatuh cinta pada orang lain tetapi statusnya masih sebagai pacar, mungkin sedikit lebih mudah menghadapinya. Pacaran masih boleh putus, tentu saja setelah melewati pertimbangan yang matang. Namun, bagaimana kalau “si dia”-yang-menyusup-ke-hati-ini terjadi setelah kita menikah? 

Pada dasarnya, seseorang yang telah menikah memiliki ikatan yang lebih besar daripada sekadar berkomitmen untuk saling menjaga hati saat masih berpacaran. Pernikahan adalah sebuah ikatan perjanjian, antara kita, pasangan, dan—dalam Kekristenan—Tuhan. Ketika mengucapkan janji pernikahan, saya berjanji untuk setia kepada suami saya dan janji itu tidak hanya di antara saya dan suami, melainkan juga antara saya dan Tuhan. Artinya, jika mengkhianati suami saya, maka saya sama dengan melanggar janji saya kepada Tuhan. Selain itu, Tuhan juga membenci perceraian, seperti yang tertulis dalam Maleakhi 2:16a, “Sebab Aku membenci perceraian, Firman Tuhan, Allah Israel.” 

Sayangnya, pengetahuan akan hal tersebut dan status sudah menikah tidak berarti saya dan Pearlians kebal dengan hal ini. Ada beberapa hal yang membuat kita bisa saja jatuh cinta pada pria lain selain suami kita sendiri, di antaranya: 

1. Kasih yang telah menjadi hambar 

Tentu saja hal yang mendasar dalam sebuah pernikahan adalah kasih. 1 Korintus 13 sering menjadi landasan Firman Tuhan ketika ada pemberkatan pernikahan, kan (walaupun konteks sebenarnya adalah mengenai karunia rohani)? 

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. 

–1 Korintus 13:4-7 

Tanpa hikmat Tuhan, cepat atau lambat, kasih yang semula hadir dalam pernikahan itu bisa terkikis oleh sibuknya pekerjaan atau repotnya mengurus anak. Kasih juga bisa pudar karena tidak merasa dicintai karena kasih tidak disampaikan dengan bahasa kasih yang tepat. Seorang istri yang bahasa kasihnya quality time, misalnya, merasa tidak dicintai oleh suami yang sangat sibuk. Ketika ada sosok pria yang mau menemani dalam kesepiannya, maka ia merasa dicintai olehnya. Tabung kasih sayangnya diisi kembali, tetapi celakanya diisi oleh orang lain. 

2. Terbukanya “kesempatan” untuk membuka hati pada orang lain 

Setelah menikah, bukan berarti kita hanya akan bertemu suami sebagai satu-satunya pria di sepanjang hidup kita. Dalam kehidupan sehari-hari, seperti di gereja atau di tempat kerja/studi, kita masih akan bertemu dengan pria-pria lain (kecuali kalau dipingit selamanya di rumah, tentu beda cerita). Contohnya, ada seorang perempuan yang sedang long distance marriage karena suaminya bekerja di luar pulau dan hanya pulang satu tahun dua kali. Dia rindu, tetapi karir pekerjaannya yang menanjak membuatnya membatalkan niat menyusul suaminya. Kemudian, perempuan ini berkenalan dengan seorang koleganya; dari pertemuan pertama, dilanjutkan dengan bertukar nomor ponsel, dan diikuti dengan pertemuan kedua, makan siang bersama, pergi dinas bersama, dan sebagainya. Jika relasi dengan suami tidak terbina dengan baik dan keterbukaan diri bersama sang kolega itu jauh lebih mudah dilakukan, maka besar kemungkinannya rasa cinta yang terlarang dalam hati perempuan itu bertumbuh. Itulah sebabnya bagaimana sepasang suami istri yang baik-baik saja dalam pernikahan, dalam momen tertentu bisa saja mengalami hal ini. 

Jatuh cinta itu memang misteri, datang dan perginya terkadang tidak dapat diprediksi. Namun, seorang teman mengatakan, “Jatuh cinta itu alamiah, tetapi mencintai itu keputusan.”(1) Apakah kita bisa jatuh cinta (okelah, setidaknya ada ketertarikan) dengan orang lain ketika kita sudah memiliki pasangan? Tentu saja bisa, tetapi kita juga bisa memutuskan apakah kita mau melanjutkan rasa itu atau menyudahinya. Yang mana menjadi pilihan kita? Kalau kita melanjutkan rasa itu, maka kita bisa terjerumus dalam dosa perzinahan. 

Oh, ya. Mencintai bukan hanya mengenai perasaan kita terhadap seseorang, tetapi juga kebutuhan untuk memiliki satu sama lain dalam hubungan seksual. Perzinahan adalah salah satu hal yang dibenci Tuhan, bahkan Dia sendiri yang menuliskannya dalam hukum Taurat, “Jangan Berzinah” (Keluaran 20:14), dan Tuhan Yesus memperluas pengertian perzinahan itu dalam Matius 5:27-28

“Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.”  

Bagaimana supaya kita tidak terjebak dalam sebuah perasaan cinta yang salah itu? Kita perlu terus mengerjakan pernikahan kita dan memelihara cinta dalam pernikahan supaya tetap tumbuh. Caranya? Kita perlu mulai membiasakan diri punya waktu berdua dengan suami seperti waktu pacaran dulu (tenang, ini bukan berarti kita jadi seperti ABG dulu), dan secara konsisten belajar mengenal dirinya serta menunjukkan kasih dalam bahasa kasihnya yang tepat. Selain itu, hindarilah pergi berdua atau mengobrol dengan rutin tentang hal-hal pribadi dengan laki-laki mana pun. Apabila rasa yang tidak biasa mulai muncul, kita perlu memohon kekuatan dari Tuhan agar mampu menyudahi perasaan jatuh cinta itu dan memutuskan untuk tidak melanjutkannya. Kita perlu pertolongan Tuhan, karena kenikmatan saat jatuh cinta dengan orang lain itu terkadang membuat kita tidak berdaya.  

Bagaimana kalau sudah kadung mencintai orang lain? Kita perlu mencari pertolongan profesional, misalnya ke psikolog atau konselor, karena sering kali masalah ini bisa berawal dari unfinished business kita di masa lalu (istilahnya, masih ada PR yang kita bawa dalam pernikahan). Kemudian, jika sudah siap dan memang kita ingin membicarakannya pada pasangan, kita perlu berdoa agar Tuhan mempersiapkan hati dan pikirannya dan kita pun dimampukan untuk membuka diri. Tentu ini tidak mudah, karena masing-masing dari pasangan suami istri perlu memiliki kerendahan hati untuk mengungkapkan dan menerima kesalahan kita. Ah, iya. Kita perlu waktu yang tepat di saat kita dan pasangan dalam keadaan tenang. Bantuan seorang mediator apabila diperlukan juga akan membantu. Seorang sahabat yang tidak memihak siapa pun, seorang hamba Tuhan yang kita percayai, atau psikolog/konselor bisa menolong menjadi mediator dalam pembicaraan dari hati ke hati ini. 

Akhirnya, ketika semua hal ini sudah kita lakukan, ambillah satu komitmen untuk terus setia dan mengerjakan pernikahan kita. Diskusikanlah dengan pasangan kita, apa yang bisa dilakukan supaya tangki cinta masing-masing dari kita tetap terisi penuh sehingga tidak ada celah buat orang lain untuk mengisinya, sambil menjaga hati kita masing-masing seperti yang Amsal nasihatkan bagi kita: 

“Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena dari sanalah terpancar kehidupan” (Amsal 4:23

 

1) Deddy Suliantoro @Gepembriyouth_kgp dalam unggahan berikut  https://www.instagram.com/reel/CkA5eJ3Oe4l/?igshid=MDJmNzVkMjY= 

 

Bacaan tambahan di Majalah Pearl: 

Janji Nikah Istri Ayub oleh Sarah Eliana dan Tuhan, Aku Mau Cerai!!! oleh Nurliana Afryanti 

Previous
Previous

Ketika Suami Kurang Menjadi Pelaku Firman

Next
Next

Melatih Iman melalui “Diamnya” Tuhan