Mendidik Anak sebagai Rekan Allah di dalam Kekudusan
by Ibu Trivena
Tuhan memberikan perintah di dalam Ulangan 6:4-9 kepada para orang tua di Israel melalui Musa beribu tahun yang lalu, dan perintah ini terus berlaku hingga sekarang. Tuhan memerintahkan kita, sebagai orang tua, untuk hidup di dalam pengenalan terhadap Dia, satu-satu-Nya Allah yang benar dan hidup, serta kita dipanggil mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan kita (Matius 22:37). Tidak berhenti di sana, Tuhan juga memerintahkan kita untuk mengajarkan hal itu kepada anak-anak kita, sehingga mereka juga mengikuti perintah tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengajarkan hal ini kepada anak-anak?
Cara mengajar seorang anak yang paling efektif adalah melalui teladan hidup. Sebagai orang tua, kita adalah contoh dan teladan pertama bagi anak-anak. Tidak saja melalui perkataan, tetapi juga sikap dan perbuatan kita sehari-hari. Disadari atau tidak, anak-anak cenderung mudah mengamati dan meniru apapun yang kita lakukan. Itulah sebabnya kita harus berhati-hati dalam kata-kata maupun tindakan kita, karena di rumahlah anak-anak melihat siapa kita sebenarnya.
Banyak hal yang saya teladani dari orang tua dan hal itu membentuk saya menjadi seperti sekarang ini. Keluarga kami adalah keluarga sederhana, orang tua saya aktif melayani di gereja. Hampir setiap hari, kami melakukan family altar bersama. Saat family altar, seringkali kami tahu apa yang dialami orang tua—sukacita, kesulitan, pergumulan, maupun kesedihan—melalui doa-doa mereka. Orang tua juga sering mengajak kami untuk pelayanan bersama (karena saat itu kami masih kecil dan tidak ada yang mengawasi di rumah). Meskipun pada saat itu belum mengerti banyak hal, saya belajar dari teladan orang tua dan responsmereka ketika menghadapi masalah. Saya melihat mereka mengandalkan Tuhan ketika mengambil keputusan, menghadapi masalah dengan jemaat, atau ketika kesulitan keuangan di keluarga. Bukan hanya melalui family altar, tetapi saya juga belajar dari gaya hidup orang tua ketika mereka terlibat dalam pelayanannya, relasi mereka dengan orang lain, dan lain sebagainya.
Seseorang yang menjadikan Allah sebagai yang terutama di dalam hidupnya yang mendasari segala sikap dan perbuatannya akan terlihat dari cara ia menjalani hidupnya.
Bila orang tua melakukan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan yang mereka ajarkan kepada anaknya, tentu dia akan bingung dengan adanya double standard. Misalnya, seorang papa yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, yang dilihat anak adalah ada bagian di dalam hidup yang ternyata tidak perlu Tuhan, toh Tuhan bukanlah yang memegang seluruh kehidupan. Ada pemisahan antara dunia yang ada Tuhan di dalamnya dan dunia yang tanpa Tuhan. Padahal bukan itu yang Tuhan kehendaki sejak awalnya Dia menciptakan lembaga yang bernama keluarga ini. Dia justru rindu agar setiap orang tua mengajar dan memperkenalkan diri-Nya kepada anak-anak melalui respons mereka terhadap setiap kejadian yang dialami, melibatkan Tuhan di dalam segala aspek kehidupan dalam keadaan yang sulit, dalam setiap pengambilan keputusan, dalam berelasi dengan sesama, mengatasi kelemahan diri sendiri, dan lain sebagainya. Dengan demikian, anak-anak dapat mengenal Tuhan melalui teladan orang tua yang berproses dan berpengalaman bersama Tuhan, menjadikan Tuhan yang terutama serta mengasihi Tuhan dengan segenap hati jiwa dan kekuatannya. Hal ini penting bagi anak-anak, sehingga ketika beranjak dewasa, mereka tetap memegang Tuhan sebagai Tuhan dan Allahnya sampai mereka tua.
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.
(Amsal 22:6)
Teladan yang diberikan bukan hanya “satu kali untuk selamanya”, tetapi Allah memerintahkan orang tua agar mengajarkannya secara berulang-ulang. Ulangan 6-9 mengatakan, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”
Tuhan memerintahkan orang tua untuk mengajar anak-anaknya perintah ini, yaitu mengenal bahwa Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa dan mengasihi Tuhan dengan segenap hati jiwa dan kekuatan, dengan cara membicarakannya berulang-ulang didalam keseharian hidup kita. Kata-kata kerja yang berlawanan ini menunjukkan bahwa Tuhan menekankan pentingnya memperkenalkan diri-Nya melalui Firman-Nya maupun konteks kehidupan yang ada setiap saat dan setiap kesempatan yang ada. Artinya, orang tua dipanggil untuk mengajak anak melihat Tuhan di dalam segala aspek hidup yang mereka jalani—di dalam hal-hal yang sederhana atau bergumul berat, ketika sedang santai atau di dalam berbagai emosi negatif. Hal seperti itu perlu diusahakan dan dilatih oleh orang tua karena perintah ini bukan hanya membangun relasi antara orang tua anak, tetapi juga menolong anak mengenal siapa Tuhan yang mengasihi mereka dan yang mereka percayai.
Sebagai orang tua di masa sekarang (bahkan mungkin sejak dulu), mengajar dan mendidik anak-anak bukanlah hal mudah karena ada banyak tantangan; bukan hanya dari pola asuh mereka, tetapi juga dari lingkungan anak-anak. Pengaruh pergaulan dan lingkungan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keluarga, juga tontonan dan media sosial juga ikut mempengaruhi perkembangan anak. Dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini, anak kecil pun bisa mengakses dan melihat semua informasi yang tersaji di layar gadget dengan cepat. Disadari atau tidak, mereka terlatih untuk segera menyerap semua informasi yang ada. Sebagai orang tua, kita perlu berhati-hati memilih tontonan bagi anak-anak kita, karena tanpa sadar, tontonan yang dilihat seringkali bisa menggiring mereka kepada pemikiran yang jauh dari kebenaran, bahkan memasukkan konsep-konsep duniawi yang kelihatannya mirip dengan Firman Tuhan (padahal justru menjerumuskan. Ingat, kita hidup di dalam dunia yang telah tercemar dengan dosa). Itulah sebabnya kita juga harus dengan cermat memperhatikan dan membandingkannya dengan Firman Tuhan, menyaring konten yang diakses anak-anak berdasarkan kebenaran-Nya dan bukannya mengandalkan kekuatan diri sendiri.
Suatu ketika anak perempuan saya menceritakan pergumulannya untuk memilih jurusan perkuliahan yang sebaiknya diambil. Ia sering menceritakannya kepada teman-teman, dosen dosennya, dan mereka memberikan nasehat yang kedengarannya baik sekali, “Pilihlah yang sesuai dengan kata hatimu, apa yang kamu sukai dan membuat kamu happy.” Tidak ada yang salah dalam pernyataan tersebut. Namun ketika dipikirkan ulang, apa yang menjadi dasar kamu membuat keputusan berdasarkan kata hatimu, semua yang menyenangkan buat hatimu, yang membuat kamu happy? Padahal sejak jatuh ke dalam dosa, hati manusia itu licik… Lalu, di mana Tuhan di dalam keputusan yang kita buat itu? Apakah yang kita putuskan sudah sesuai dengan yang Tuhan mau? Apakah yang kita putuskan itu memuliakan Tuhan? Kita perlu berlatih untuk selalu mengevaluasi diri melalui pertanyaan-pertanyaan di atas, sehingga kita juga bisa menemani perjalanan iman anak-anak ketika mereka mengalami hal yang sama.
Banyak pemikiran yang ternyata membawa kita hanya berfokus pada kesenangan diri sendiri, bukan berfokus kepada Tuhan yang menjadi pusat. Ketika kita tidak mengenal kebenaran yang sejati yaitu Firman Tuhan, kita akan mudah terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran palsu dunia.
Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.
(Mazmur 119:9)
Kedua anak saya adalah homeschooler, sedari kecil mereka bersekolah dan belajar di rumah bersama orang tua sebagai pendidiknya. Ketika sudah menyelesaikan SMA, mereka keluar dari rumah untuk kuliah di Amerika. Mereka berpindah dari lingkungan rumah yang aman bersama orang tua menuju lingkungan dengan budaya yang berbeda, nilai-nilai yang berbeda, dan hidup sendiri—jauh dari orang tua. Seringkali ketika seorang anak mulai besar dan mulai merasa bisa memutuskan segala sesuatunya seorang diri (tanpa meminta pertimbangan orang lain), relasi orang tua dan anak mulai berkurang. Oleh karena itu, relasi kita bersama anak-anak juga perlu dipupuk sejak mereka kecil, agar orang tua (bersama anak-anak) terus melatih dan mengusahakan agar relasi mereka tetap terjalin dengan baik.
Jujur saja, ketika anak-anak jauh dari rumah, awalnya saya cukup khawatir dan takut.
Saya khawatir dengan iman mereka. Bagaimana mereka bisa mempertahankan iman mereka ketika di sekeliling mereka ada banyak pemikiran, konsep-konsep yang berbeda atau yang kelihatan mirip dengan firman Tuhan? Belum lagi mereka dikelilingi oleh orang-orang ateis, pelaku seks bebas, kaum LGBT, dan teman-teman yang memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan mereka. Bagaimana mereka bisa menjadi garam dan terang di tengah-tengah lingkungan tersebut, dan masih tetap berteman serta mengasihi orang-orang yang berbeda 180o tetapi tidak kompromi dengan dosa-dosa yang ada? Namun, Tuhan mengingatkansaya, bahwa ketika anak dapat mempertahankan kekudusan atau imannya, itu semata-mata adalah anugerah Tuhan—bukan karena kehebatan orang tuanya dalam mendidik dan mengajar. Tuhanlah yang menjaga anak-anak kita. Tuhanlah yang mengingatkan kembali Firman yang pernah ditanamkan orang tua ketika anak-anak masih kecil, sehingga Firman-Nya menolong mereka untuk dapat bertahan di jalurnya: mempertahankan kelakuan dan imannya.
Pernah suatu ketika anak saya mengatakan, “Sekarang aku mengerti apa yang Mama ajarkan dulu ketika aku masih kecil.” Dari situ saya sadar, bahwa kesadaran ini di luar kendali orang tua. Tugas orang tua hanyalah taat melakukan perintah Tuhan, yaitumenjadi teladan dan mengajarkan perintah Tuhan setiap saat. Penginjil Inawati Teddy pernah mengatakan bahwa anugerah Tuhan tidak menghilangkan tanggung jawab kita. Tanggung jawab kita, sebagai orang tua, adalah menabur; Tuhanlah yang memberi pertumbuhan sesuai dengan waktu-Nya, dan—jika Tuhan berkehendak—pada saatnya kita bisa melihat buah-buah manis yang dihasilkan.
Terkadang kita merasa yang kita tanamkan belum ada hasilnya, belum ada buahnya. Namun, bersabar dan percayalah, apa yang kita tabur tidak sia-sia. Alkitab mengatakan segala sesuatu ada waktunya, jadi sebagai orang tua, kita hanya bisa menyerahkan anak-anak kepada Tuhan, karena ada saatnya Firman yang kita ajarkan akan berbicara kepada mereka secara pribadi.
Teruslah berjuang untuk menghidupi Firman, menjadi teladan yang nyata bagi anak-anak kita, mengajar, mendidik, memberi arahan, dan membimbing anak-anak kita dengan konsisten. Tidak perlu mengkhawatirkan pertumbuhan mereka selama kita juga telah melakukan bagian kita, karena Tuhanlah yang memberi pertumbuhan. Ingatlah… semua semata-mata karena anugerah-Nya.