Ketika Tuhan Diam - Part 2

by Leticia Seviraneta

Silakan Pearlians membaca bagian pertama pada pranala ini

Minggu lalu, kita telah belajar bahwa Tuhan tetap setia meskipun kita tidak setia di dalam menantikan diri-Nya. Hari ini, kita akan melanjutkannya dengan belajar bahwa kita punya kecenderungan untuk hanya menantikan apa yang Tuhan janjikan, bukan pribadi-Nya sendiri. Walaupun demikian, masih ada harapan bagi kita untuk membenahi diri. Kalau minggu lalu kita belajar dari Abraham dan Sara, hari ini kita akan belajar dari Daud. 

Daud mengalami masa penantian dan kesulitan yang panjang dalam perjalanannya sejak ia dinobatkan menjadi raja hingga akhirnya memerintah atas Israel. Ia harus lari dari kejaran raja Saul yang ingin membunuhnya berulang kali. Dalam Mazmur 27:13 versi New King James Version, Daud mengatakan, “I would have lost heart, unless I had believed that I would see the goodness of the LORD in the land of the living.” Daud pun mengalami pergumulan seperti yang kita alami. Walaupun demikian, Daud selalu menguatkan dirinya kembali di dalam Tuhan hingga ia dapat bertahan melewatinya. Inilah yang tercermin melalui kelanjutan mazmurnya dalam Mazmur 27:14, “Wait on the LORD; Be of good courage, And He shall strengthen your heart; Wait, I say, on the LORD!” [NKJV] 

Sama seperti Daud, mari kita mengarahkan fokus hati kita kembali kepada Tuhan yang Mahakuasa, Mahakasih, Mahahadir, yang peduli akan setiap keinginan hati kita yang membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Carilah Tuhan dan nikmatilah kehadiran-Nya, bukan hanya mencari apa yang ada di dalam tangan-Nya lalu meninggalkan-Nya setelah mendapatkan apa yang kita nantikan. Upah penantian kita yang sesungguhnya adalah pertumbuhan kita di dalam relasi yang intim bersama Tuhan, satu-satunya Pribadi yang dapat memberikan kepuasan dalam hati kita. Upah kita adalah iman kita yang makin kuat dan tidak mudah tergoyahkan, serta adanya lingkupan damai sejahtera yang melampaui segala akal apa pun situasi yang kita alami. 

Setelah mengarahkan fokus kita kepada Tuhan, masa penantian kita perlu diisi dengan hal-hal yang mempersiapkan dan mendewasakan kita untuk menerima berkat-Nya suatu saat nanti. Misalnya bagi yang lajang dan menanti pasangan hidup yang terbaik dari Tuhan: persiapkanlah dirimu untuk dapat menjadi pasangan hidup yang terbaik juga baginya. Bangunlah gambar diri yang sehat, kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik, karakter yang terpuji, sikap yang mau mementingkan orang lain daripada diri sendiri, dan mau melayani. God’s delay is also God’s preparation. Masa penundaan Daud menjadi raja merupakan masa bagi Tuhan mempersiapkan karakter dan iman Daud untuk menjadi raja yang takut dan memprioritaskan Tuhan dalam hidupnya. Bila kita menemukan makna di balik masa penantian kita, kita akan memiliki kedamaian dan sukacita menjalaninya. Kita menunggu dengan suatu tujuan dan juga suatu misi yang mempersiapkan kita untuk menerima berkat-Nya dengan cara yang ajaib dan akhirnya memuliakan nama Tuhan. 

Delay never thwarts God’s purpose; rather, it polishes His instrument.” 
–Victor Raymond Edman 

Kedengarannya manis, ya, ketika Tuhan menjawab semua keinginan dan kebutuhan kita. Namun, bagaimana jika pada akhirnya kita tidak pernah mendapatkan apa yang kita inginkan? Bagaimana jika Tuhan seolah-olah menuntun hidup kita pada situasi yang justru ingin kita hindari? Dalam situasi yang sulit itu, pengharapan seperti apa yang kita miliki kepada Tuhan? 

Jika membaca keseluruhan Alkitab, kita akan menemukan bahwa tidak semua para tokoh iman melihat secara langsung penggenapan janji Tuhan. Contohnya adalah Abraham dan Sara. Seumur hidup mereka, Abraham dan Sara hanya pernah melihat Ishak sebagai satu-satunya keturunan mereka yang sah. Mereka tidak pernah melihat keturunan mereka yang jumlahnya “seperti bintang di langit dan pasir di lautan” seperti yang dijanjikan-Nya dalam Kejadian 22:17. Namun dalam beberapa ratus tahun kemudian, ada sebuah bangsa yang dikenal sebagai bangsa Israel yang bangkit dan mereka semua berasal dari keturunan Yakub yang merupakan anak Ishak (belum termasuk bangsa lain yang menggabungkan diri ketika mereka keluar dari Mesir (Keluaran 12:37)). Bahkan saat ini, keturunan Abraham tidak hanya secara biologis, tetapi juga secara iman kepada Tuhan Yesus Kristus (Roma 4:17, Galatia 3:7). 

Ada pula Musa yang tidak memasuki tanah Kanaan karena dia gagal menghormati kekudusan Allah di Meriba (Bilangan 20:1-13), Yesaya yang menerima janji hadirnya Imanuel tetapi diri-Nya baru lahir 700 tahun kemudian, dan sebagainya. Terlepas Tuhan menggenapi janji-Nya pada masa kehidupan para tokoh iman ini atau tidak, kita belajar satu hal: Hanya karena iman yang dianugerahkan kepada merekalah yang memampukan mereka tetap berharap dan percaya kepada Tuhan. Bahkan sekali pun banyak di antara mereka yang tidak mengalami apa yang Tuhan janjikan, perjalanan iman mereka justru menjadi teladan bagi kehidupan kita (selengkapnya ada di dalam Ibrani 11:39-40). 

Kita perlu memeriksa relasi pribadi kita dengan Tuhan setiap hari: masihkah kita rindu untuk terus melekat kepada-Nya di dalam anugerah? Dengan kekuatan sendiri, kita tidak akan sanggup untuk menantikan Tuhan yang seolah-olah diam, padahal mungkin kitanya yang sudah telanjur menginginkan-Nya menjadi seperti Doraemon yang sanggup mengabulkan semua keinginan kita. 

Tidak semua hal baik yang kita harapkan dan usahakan memang berasal dari Tuhan. Sebagai manusia dengan logika yang terbatas, wajar saja jika kita mengalami keraguan dengan keputusan yang diambil. Karena itu, ketika ragu dan bertanya, “Benarkah ini jalan Tuhan? Benarkah ini yang Tuhan mau?” berhentilah sejenak. Hampiri Tuhan dan bertanyalah kepada-Nya. Mintalah hikmat-Nya. Jangan andalkan kepandaian kita sendiri. Tuhan pasti akan menunjukkan jalan-Nya kepada kita step by step sesuai kesiapan dan kesanggupan kita. 

“You never gain by getting ahead of the Lord, and you never lose by waiting upon Him.” –Charles F. Stanley 

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;” – Amsal 3:5-7 [TB] 

Kita dapat menantikan Tuhan lebih dari segala janji-Nya dengan sukacita bila kita memiliki pengenalan yang dalam akan karakter-Nya dan percaya akan kebaikan-Nya dalam hidup kita. Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:16), Allah itu setia (Mazmur 119:90), Allah itu baik (Mazmur 145:9), dan masih banyak lagi. Seluruh Alkitab bersaksi bahwa Allah kita begitu setia, Ia akan memenuhi setiap janji-Nya, Allah akan memberikan yang terbaik bagi yang mengasihi-Nya, Ia dapat diandalkan di tengah kesesakkan. Jadi, jangan menyerah dalam masa penantianmu, karena, “Ya, semua orang yang menantikan Engkau (Tuhan) takkan mendapat malu;” (Mazmur 25:3). 

Selamat berproses dalam menantikan Tuhan melebihi segala objek yang kita inginkan dalam hati kita! 

Previous
Previous

Kesibukan Natal 

Next
Next

Ketika Tuhan Diam - Part 1